Hiruk pikuk kontestasi Pemilu 2019 kini telah menjadi sorotan. Hal tersebut mengingat bahwa panggung politik akhir-akhir ini telah menampilkan realitas politik yang cukup menguras energi dan mengundang emosi publik.
Panasnya kontestasi menjelang Pemilu 2019 tidak terlepas dari adanya rivalitas antar aktor politik yang pernah berkompetisi sebelumnya. Pencalonan kembali Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 menunjukkan bahwa panggung politik saat ini masih di dominasi oleh muka lama. Sehingga semua pikiran, perasaan, dan diskursus ruang publik politik kini tertuju pada mereka.
Rivalitas antara Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi semakin mempertegas bahwa politik tidak lain adalah arena perebutan kekuasaan. Seorang pemikir politik, Bertrand Russel (1988: 23) pernah mengatakan dorongan atau motivasi seseorang untuk berbuat sesuatu bukanlah atas dorongan seks, akan tetapi dikarenakan dorongan untuk memperoleh atau memegang kekuasaan. Kompetisi politik yang terjadi antara Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi secara eksplisit “membenarkan” peryataan tersebut.
Dualisme antar pasangan calon (paslon) Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019 pada gilirannya menyebabkan polarisasi dalam masyarakat karena adanya perbedaan pilihan politik. Hal tersebut merupakan suatu kewajaran dalam sistem demokrasi yang notabenenya memberikan jaminan kebebasan bagi setiap individu untuk menentukan sikap dan hak politiknya tanpa ada intervensi dari pihak manapun.
Kontestasi Pilpres yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan dan program yang di kemas dalam visi misi agar dapat menawarkan solusi atas persoalan bangsa, justru masih jauh dari harapan. Kompetisi politik Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi hingga kini belum sepenuhnya merepresentasikan substansi dari hakekat pelaksanaan Pemilu itu sendiri.
Rakyat justru di jejali dengan isu-isu hoax yang bertendensi menjadi cikal bakal pemecah belah bangsa, penggunaan hate speech (ujaran kebencian), dan masifnya kampanye hitam yang di balut dengan sentimen isu SARA sebagai strategi politik dengan tujuan untuk menjatuhkan lawan politik satu sama lain. Pada saat yang bersamaan kedua paslon telah mereduksi substansi dari esensi demokrasi itu sendiri. Padahal rakyat sebenarnya sudah jenuh oleh segala bentuk akrobatik politik penguasa di negeri ini. Rakyat menginginkan adanya agenda perubahan dalam kehidupan mereka.
Kepentingan Politik
Mendekati pelaksanaan Pemilu 2019, rakyat adalah kata yang paling sering dihembuskan dan diwacanakan dalam ruang publik untuk mencapai kepentingan politik para aktor politik. Baik paslon Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi, keduanya sama-sama memposisikan diri sebagai pasangan yang paling mampu mengatasi segala persoalan rakyat.
Namun, harus di akui bahwa realitas politik yang terjadi selama ini hanya menempatkan rakyat sebagai objek politik menjelang Pemilu, akan tetapi gagal menjadi subjek politik setelah mendistribusikan hak pilihnya pasca Pemilu. Sehingga dalam hal ini rakyat kehilangan representasi politiknya ketika kekuasaan telah berpindah kepada para pemburu kursi kekuasaan.
Adanya distorsi terhadap hakekat politik juga seringkali tersandera oleh politik transaksional. Partai politik sebagai wadah rekrutmen politik dalam kehidupan demokrasi pada praktiknya masih tersumbat oleh kepentingan-kepentingan politis yang bersifat pragmatis.
Segala keputusan politik terkesan hanya didasarkan atas pertimbangan kalkulasi untung-rugi, dan peran partai politik sebagai pengawal aspirasi rakyat justru cenderung terabaikan. Tidak heran kemudian paslon yang memenangkan kontestasi Pemilu akan memberikan “politik balas budi” kepada partai pengusung.
Sehingga kondisi yang demikian menjadi potensi terjadinya hubungan resiprositas (timbal-balik) yang bersifat negatif berupa adanya pemberian kursi jabatan bagi masing-masing partai pendukung. Hal tersebut kemudian mempertegas bahwa dalam politik yang abadi hanyalah kepentingan. Begitu pula seperti kata pepatah, dalam politik there is no free lunch (tidak ada makan siang yang gratis).
Perlunya Jiwa Negarawan
Di tengah kegaduhan politik dan carut-marut persoalan bangsa saat ini, sudah semestinya kita memerlukan adanya sosok politisi yang memiliki jiwa negarawan. Artinya bahwa setiap negarawan adalah seorang politisi, tetapi tidak semua politisi adalah seorang negarawan. Untuk itu, keberadaan politisi yang mempunyai mental negarawan diyakini mampu memberikan pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat.
Seorang politisi yang dapat mendorong semangat kebangkitan dan perubahan secara menyeluruh. Bukan hanya mementingkan dirinya, kelompok dan partai pengusungnya. Politik bukan dijadikan sebagai alat untuk memperkaya diri dan mempertahankan kekuasaan, tetapi sebagai jalan untuk menegakkan keadilan dan kedaulatan tertinggi yang berada di tangan rakyat itu sendiri.
Politisi yang berjiwa negarawan dalam mengambil setiap keputusan politik tidak semata-mata tunduk pada keinginan partai politik pendukung dan harus bebas dari tekanan pihak manapun. Itu semua dilakukan sebagai wujud untuk menghindari tindakan politik amoral yang dapat merugikan bangsa dan negara.
Oleh karena itu, pilihlah politisi yang sedikit bicara namun banyak bekerja, politisi yang memiliki kualitas dan kapabilitas sebagai seorang pemimpin bukan sebagai penguasa, serta memiliki visi misi yang mampu menjawab semua persoalan rakyat. Pertanyaannya, apakah kita dapat melahirkan pemimpin yang berjiwa negarawan pada Pemilu 2019 mendatang ? Semoga.