Minggu, November 24, 2024

Pemilihan Umum 2019 dan Aroma “Konfrontasi”

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna
- Advertisement -

Pemilihan Umum (Pemilu) beserta turunannya menjadi bagian dari prosedur demokrasi, diadakan secara periodik untuk mendudukkan sejumlah warga bangsa “terbaik” sebagai penyelenggara negara. Hajatan politik negara ini sering dianggap sebagai tolok ukur demokrasi—meskipun tentu bukanlah satu-satunya—karena melibatkan seluruh warga negara.

Indonesia sejak kemerdekaannya pada 1945 telah menyelenggarakan sebelas kali Pemilu, yakni pada 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014. Pemilu pertama 1955 diselenggarakan dengan dua kali pemungutan suara; pertama untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan kedua untuk memilih anggota Konstituante. Meskipun proses penyelenggaraan Pemilu pertama dinilai cukup demokratis, namun dalam kenyataan stabilitas politik sesudahnya tidak seperti diharapkan.

Pemilu kedua sampai dengan ketujuh berlangsung di era kepemimpinan Orde Baru, yang secara umum proses penyelenggaraannya dinilai “penuh rekayasa.” Pemilu kedelapan berlangsung dalam suasana transisi setelah Soeharto lengser menyusul desakan reformasi yang memaksanya berhenti dari jabatan presiden.

Jika kita menoleh ke belakang sejak reformasi bergulir, polarisasi kepentingan para insan politik cenderung bergerak “liar,” dan tak kunjung mengkristal untuk bersenyawa dengan “kepentingan besar” bangsa dan negara. NKRI seperti tak punya haluan, berjalan zig-zag, mengarung jeram.

Tak pelak, Indonesia mengakhiri abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 dengan kondisi agak terhuyung. Hantaman krisis ekonomi yang melanda dunia global kala itu diikuti gonjang-ganjing ekonomi-politik-hukum dalam negeri yang terus gaduh hingga hari ini.

Meski demikian, mulai Pemilu 2004 untuk pertama kali dalam sejarah bangsa Indonesia diadakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung—sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih melalui sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selain itu, diadakan pula pemilihan untuk suatu badan baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mewakili kepentingan daerah secara khusus—sebelumnya disebut Utusan Daerah dan menjadi bagian dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pemilu 2004, 2009, dan 2014 berlangsung cukup dinamis. Kontestasi politik di era reformasi ini menampilkan kompetisi hangat antar para insan politik, yang tampak memberikan harapan bagi masa depan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tak dinafikan, setiap pelaksanaan Pemilu dengan segala pencapaiannya telah menorehkan sejarah perkembangan politik bangsa ini. Perubahan sistem dari masa ke masa bisa dipahami sebagai upaya mencari sistem yang cocok untuk Indonesia masa depan.

Aroma “Konfrontasi”

Pemilu 2019 merupakan hajatan politik bangsa ini untuk kali keduabelas; kali kelima setelah masa reformasi 1998; kali keempat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPD secara langsung; dan kali pertama diselenggarakan secara serentak—sebelumnya pemungutan suara untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan dengan waktu terpisah.

Ada beberapa kesan aromatik-dramatis yang bisa dicermati terkait pelaksanaan Pemilu 2019, khususnya dalam proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang tidak saja menampilkan kontestasi dan kompetisi di permukaan, tetapi juga menyemburkan aroma “konfrontasi.”

- Advertisement -

Pertama, Pilpres 2019 menjadi duel politik “lanjutan” dari duel sebelumnya pada Pilpres 2014, karena hanya ada dua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang ikut berlaga, dan capres dari keduanya adalah orang yang sama dengan capres pada Pilpres sebelumnya. “Duel lanjutan” ini seperti mengukuhkan konfrontasi dan rivalitas politik antara keduanya, yang sudah terpolarisasi demikian rupa sejak “duel pertama” berlangsung.

Joko Widodo sebagai petahana ingin “terus” melanjutkan kekuasaan, menjadi capres dengan nomor urut 01 didampingi cawapres pasangannya, KH Ma’ruf Amin. Mereka diusung oleh gabungan partai politik lama: PDIP, Nasdem, PKB, PPP, dan Hanura plus Partai Golkar serta didukung oleh tiga partai politik baru, yakni Perindo, PSI, dan PKPI.

Sedangkan Prabowo Subianto sebagai penentang sekaligus penantang “tetap” ingin berkuasa. Didampingi cawapres pasangannya, Sandiaga Salahudin Uno, ia menjadi capres dengan nomor urut 02, diusung oleh gabungan partai politik lama: Gerindra, PAN, dan PKS plus Partai Demokrat, dan didukung oleh dua partai politik baru, Partai Garuda dan Partai Berkarya.

Kedua, sejak awal polarisasi para pendukung di kedua capres berembus aroma sentimental—istilah lain untuk ungkapan “saling antipati.” Jika ditelisik lebih mendalam, akumulasi dukungan terhadap Jokowi maupun terhadap Prabowo tidak sepenuhnya didasari keyakinan bahwa yang didukung adalah “lebih baik” dari lawannya, melainkan bahwa lawan “tidak lebih baik” alias “lebih buruk” dari pesaingnya. Artinya dukungan diberikan bukan kepada kandidat yang “lebih baik” apalagi “terbaik,” tetapi kepada kandidat yang “tidak lebih buruk” dari keduanya.

Aroma sentimental ini menyuburkan konfrontasi dan propaganda negatif untuk saling menjatuhkan. Di antara buahnya: ujaran kebencian, hoaks, fitnah, caci maki, kampanye negatif dan bahkan kampanye hitam berkembang merajalela.

Ketiga, momok afiliasi dan stigmatisasi terhadap masing-masing kubu mencipta jurang perpecahan dan memperlebar jarak perbedaan, alih-alih membangun persatuan. Dengan ini, aroma konfrontasi seperti terus diembus-embuskan.

Terhadap Jokowi, misalnya, momok afiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan jaringan komunisme internasional—yang jelas-jelas sudah bangkrut—serta antek asing dan stigma liberal, pro LGBT, anti-Islam, dan lain-lain kerap dirangkai-rangkai.

Sebaliknya terhadap Prabowo, momok Orde Baru (Orba) dan pro Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)—yang jelas-jelas sudah dibubarkan secara sepihak oleh negara karena dinilai merongrong NKRI—atau Front Pembela Islam (FPI)—yang dalam dasawarsa terakhir banyak mewarnai wajah Islam Indonesia—serta stigma “kejam,” penculik, dan intoleran kerap dikait-kaitkan.

Keempat, Pilpres ini diselenggarakan untuk meloloskan satu pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkuasa memimpin pemerintahan Republik Indonesia periode 2019-2024. Sementara pasangan lainnya harus menerima kenyataan dengan rela atau terpaksa (?). Di sini, sila “Persatuan Indonesia” dan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dihadapkan pada tantangan yang muskil (?).

Jika proses Pemilu 2019 ini berlangsung fair, masing-masing pihak berlaku jujur dan adil, mematuhi aturan dan etika berdemokrasi, mengedepankan semangat persatuan dan kebersamaan, langkah menuju Indonesia maju, adil dan makmur mengayun ke depan.

Sebaliknya, bila kecurangan yang dioperasikan, keculasan yang “dikaryakan,” hipokrisi dan oportunisme yang dijalankan, egoisme politik dan syahwat kuasa yang diperturutkan, dan perbedaan yang terus digelorakan, bukan tak mungkin aroma konfrontasi itu akan menyeruak keluar dan memuntahkan bola-bola api perpecahan.

Mari becermin…!

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.