“Saya percaya bahwa ada perbedaan mendasar antara hunian sebagai komoditas dan emas sebagai komoditas. Emas bukan termasuk hak asasi, tapi hunian/rumah adalah hak asasi.” — Leilani Farha, Penulis Laporan Khusus PBB Mengenai Bidang Hak Asasi Hunian Global.
Satu hingga dua dekade terakhir banyak sekali penawaran untuk hunian-hunian dengan promosi murah, terjangkau, dan lain sebagainya. Terutama beberapa tahun ini marak iklan di media sosial mengenai hunian untuk kaum milenial di pinggiran kota sebagai respon akan makin menipisnya ketersediaan hunian di tengah kota alih-alih menggesernya ke area sub urban atau bahkan banyak yang memilih menyewa daripada membeli hunian.
Padahal, memiliki tempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak setiap warga negara yang wajib dipenuhi oleh pemerintah, tak terkecuali para milenial yang tidak semua memiliki kemampuan ekonomi untuk membeli rumah.
Banyak masalah karena bertentangan dengan sistem ekonomi pemerintah yang lebih condong ke pasar bebas sehingga jika dipertimbangkan dari sudut pandang hak asasi manusia, pengambilan keputusan dan penilaian dari kebijakan yang berkaitan dengan perumahan dan keuangan tidak mengacu pada perumahan sebagai hak asasi manusia.
Jika hal ini terus terjadi maka hunian haya akan dinikmati sebagai investasi padahal selayaknya bisa ditempati sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi, atau akan banyak terjadi pembengkalaian hunian seperti yang terjadi pada data di berlin. Harga sewa naik tak teratur, padahal 86% warga tinggal di hunian sewaan. Dalam kurun lima tahun terakhir saja, harga sewa hunian di Berlin sudah meningkat sebanyak 46%. Bahkan, Berlin yang sempat digelari sebagai kota terbaik bagi milenial pada 2018 lalu berpotensi menjadi kota yang tak bisa memberikan hunian layak dan terjangkau bagi muda-mudinya. Cengkeraman tuan tanah raksasa membuat harga hunian meroket ugal-ugalan dan sulit dikontrol oleh negara.
Pemahaman Konsep Hunian Sebagai Hak Asasi Manusia dan Aturan-aturan yang Melingkupinya
Rumah sebagai kebutuhan hak asasi manusia memang perlahan tersingkirkan dari pemahaman budaya masyarakat kota, kenyataanya di kota besar seperti Surabaya anggapan seperti rumah sebagai investasi seperti pasar modal lebih menguat.
Hukum Indonesia sesungguhnya telah banyak menjamin rumah sebagai hak asasi, dimana itu artinya pemenuhan tersebut merupakan juga tanggung jawab negara. Peraturan perundang-undangan dibawah menjabarkan semunya:
UUD NRI 1945
Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
Pasal 11 ayat (1): “Negara-negara Peserta Perjanjian ini mengakui hak setiap orang akan suatu standarpenghidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian danperumahan yang cukup dan perbaikan kondisi penghidupan yang terus-menerus. Negara-negara Peserta akan mengambil tindakan yang tepat untuk menjamin realisasi hak ini,mengingat akan pengaruh kerjasama internasional yang terpenting berdasarkanpersetujuan yang bebas.”
Konsep Dasar
Hak atas perumahan yang layak mencakup langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah tunawisma, melarang pengusiran paksa, alamat diskriminasi, fokus pada yang paling rentan dan terpinggirkan kelompok, memastikan keamanan kepemilikan untuk semua, dan menjamin bahwa perumahan semua orang memadai.
Pelaksanaan suatu strategi perumahan nasional yang, sebagaimana tercantum dalam paragraf 32 Global Strategy for Housing, “menetapkan sasaran-sasaran peningkatan kondisi tempat tinggal, mengidentifikasi sumber-sumber daya yang tersedia untuk meraih tujuan-tujuan ini dan metode pemanfaatannya yang paling efektif, dan menetapkan berbagai tanggung-jawab dan kerangka waktu bagi implementasi ukuran-ukuran yang dibutuhkan.”
Karena alasan relevansi dan keefektifan, juga untuk memastikan dihormatinya hak asasi manusia lainnya, strategi harus merefleksikan pembicaraan dengan, dan keterlibatan dari, semua pihak yang terpengaruh, termasuk orang-orang tunawisma, orang-orang dengan tempat tinggal yang tidak layak, dan orang-orang lain yang menghadapi kondisi serupa.
Terlebih lagi, langkah-langkah harus diambil untuk memastikan adanya koordinasi antara berbagai kementerian dan otoritas lokal serta regional untuk menyelaraskan kebijakan-kebijakan terkait (ekonomi, pertanian, lingkungan hidup, energi, dsb.)
Tawaran Alternatif
Menurut data yang dihimpun Globalpropertyguide menyatakan bahwa affordibilitas properti di Indonesia sendiri mimiliki nilah setinggi 80,16x itu lebih buruk daripada negara-negara tetangga kita Thailand (66,96x), Jepang (41,98x), ), Taiwan (31,61x), Malaysia (36,71x) serta Singapura (25,96x). lalu dari data RPJMN tahun 2015–2019 sendiri backlog kepenghunian mencapai 7,6 juta. Sepertinya memang pemerintah hanya menyediakan perumahan untuk mengejar ketertinggalan data yang ada tanpa memperdulikan kebijakan pembelian, lingkungan dan afforibilitas kemampuan masyarakatnya.
Atas data tersebut, seharusnya pemerintah membuat kebijakan berdasarkan penyebab-penyebab struktural tentang mengapa masyarakat susah mendapatkan hunian layak di area urban. Pencegahan atas maraknya rumah-rumah terbengkalai dan mencegah eksklusifitas kota serta pemusatan hunian pada area yang nir inklusif bagi masyarakat menengah kebawah. Yang ketiga, perlu memfokuskan kebijakan hak hunian kepada kelompok rentan dan terancam rawan banjir, rawan gusur, dan jauh dari fasilitas urban.
Ajaran inti dan disiplin sederhana dari Hak Asasi Manusia adalah soal akuntabilitas dan responsibilitas negara untuk bisa mempromosikan, melindungi dan memenuhi hak asasi warga negaranya. Maka kemudian menjadi penting bagi kita untuk mendesak negara memenuhi kewajibannya dalam hal ini penyediaan dan kemudahan akses untuk hunian yang layak.