Sejak ditetapkannya pandemi Covid-19 di Indonesia, banyak sektor yang terdampak, mulai dari ekonomi, pariwisata, sosial dan budaya termasuk sektor pendidikan.
Pembelajaran tatap muka (offline) yang selama ini selalu dikedepankan, mau tidak mau harus beralih dengan metode daring atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Hal ini disampaikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam kebijakannya melalui Surat Edaran No. 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19) yang kemudian diperkuat dengan Surat Edaran Sekretaris Jendral Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19).
Dalam keputusan Kemendikbud tersebut, dinyatakan bahwa seluruh aktivitas pembelajaran dilakukan dalam PJJ. Selain itu, Nadiem Makarim selaku Mendikbud memutuskan pula untuk membatalkan Ujian Nasional (UN) di seluruh sekolah yang ada di Indonesia.
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini bertujuan untuk memutus rantai penyebaran virus corona. Namun, keputusan PJJ ini ternyata mengecam banyak komentar. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menggelar survei mengenai evaluasi pelaksanaan PJJ.
Survei yang melibatkan 1.700 siswa SD hingga SMA dari 20 provinsi dengan latar belakang ekonomi yang berbeda-beda itu menunjukkan bahwa 79,9% responden tidak berinteraksi dengan guru mereka selama PJJ. Sisanya, sebagian besar interaksi dilakukan hanya dalam konteks pemberian dan pengumpulan tugas.
Sementara itu, terkait kesulitan yang dihadapi siswa selama PJJ, 77,8% responden mengaku kewalahan dengan tugas menumpuk yang diberikan, sementara 42,2% di antaranya mengeluhkan biaya kuota internet yang dibutuhkan untuk merampungkan tugas (melansir VOA). Hal itu kemudian membuat para orang tua resah terhadap kebijakan PJJ ini.
Selain itu, kontra lain datang dari para mahasiswa yang mengeluhkan tentang biaya kuota internet serta Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tidak ada dispensasi pembayaran. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) memang membutuhkan kuota internet supaya mahasiswa dapat mengakses pembelajaran dengan dosen. Mahasiswa yang menuntut hal tersebut kemudian mendatangi Kemendikbud pada Juli 2020 lalu.
Lalu dalam laman resminya, Kemendikbud menyatakan bahwa akan terus berupaya memberikan dukungan secara maksimal kepada mahasiswa agar tetap bisa kuliah dengan baik di masa pandemi Covid-19. Oleh karenanya, melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 Tahun 2020, Kemendikbud kemudian memberikan skema dukungan bagi mahasiswa PTN terdampak pandemi.
Dari keputusan tersebut, pihak universitas kemudian mulai memberikan dispensasi UKT kepada para mahasiswa. Selain itu, Kemendikbud juga memberikan kuota data internet yang diberikan setiap bulannya, baik kepada siswa, guru, mahasiswa, dan dosen.
Subsidi kuota internet yang diberikan tentu membawa angin segar bagi pelajar maupun tenaga pendidik. Namun dikarenakan akses internet di Indonesia yang belum merata, membuat daerah yang berada di 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) mengalami kesulitas terhadap hal tersebut. Keterbatasan akses internet menjadi faktor penghambat dari Pembelajaran Jauh Jauh (PJJ) ini.
Merespon hal itu, Kemendikbud sebenarnya meluncurkan modul belajar cetak yang diberikan ke sekolah di daerah 3T. Namun, distribusi modul cetak tersebut tersendat karena kendala ekonomi dan geografis. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Kemendikbud melalui surveinya yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan terhadap 1.202 guru di 50 kabupaten/kota di 15 provinsi.
Disisi lain melansir dari UNICEF, Kemendikbud bersama UNICEF melakukan survei cepat Belajar dari Rumah. Dari hasil tersebut kemudian menunjukkan sekitar 45 juta anak sekolah di Indonesia telah didukung melalui pembelajaran jarak jauh baik online maupun offline selama Covid-19 untuk menjaga agar kehidupan mereka tetap pada jalurnya selama periode penutupan sekolah.
Namun sekaligus terdapat pula beberapa tantangan, yaitu sebanyak 35 persen siswa yang disurvei melaporkan koneksi internet yang buruk. Selain itu, survei juga menunjukkan bahwa sebagian besar anak penyandang disabilitas mengalami kesulitan (73 persen) dengan kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Dari hasil survei ini diperoleh pula bahwa terdapat tantangan terbesar yang dialami para siswa, yakni dikarenakan kurangnya konsentrasi, lingkungan belajar yang tidak mendukung, dan gangguan dari anggota keluarga lainnya.
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak hanya berdampak pada hal-hal yang telah disebutkan di atas, namun juga berdampak pada masalah psikologis siswa. Survei dari Ikatan Psikolog Klinik (IPK) menyebutkan bahwa sejumlah 23,9 persen anak dan remaja mengalami hambatan belajar karena mengalami stres. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam jurnal berjudul “Covid-19: Tingkat Stres Belajar Anak-Anak di Daerah Terpencil” ditemukan bahwa tingkat stres anak dalam belajar pada masa pandemi Covid-19 sangatlah tinggi.
Kendati demikian, nampaknya terdapat angin segar untuk segera melakukan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Indonesia. Hal ini memang sudah dicanangkan oleh Kemendikbud bahwa Juli 2021 mendatang, PTM di sekolah dan universitas sudah bisa dilakukan, namun tetap dengan protokol kesehatan yang ada serta masih dibatasi sekitar 50 persen dari kuota kelas. Pembukaan tersebut dinyatakan juga mesti harus berpedoman pada 5 tahapan, yaitu tahap prakondisi, timing, penentuan prioritas, koordinasi pusat dan daerah serta tahapan monitoring dan evaluasi.
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang selama ini berjalan pada dasarnya memang menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Dikarenakan perlunya penyesuaian serta adaptasi terhadap kebiasaan baru yang tidak biasa untuk dilakukan. Lebih lanjut, disatu sisi sebenarnya pembelajaran berbasis daring ini sangat diperlukan, mengingat kasus positif Covid-19 di Indonesia terus bertambah. Namun disisi lain, tentu akan melelahkan bagi pelajar maupun tenaga pendidik yang mengalami kesulitan dan kendala terhadap PJJ, baik soal akses internet, kendala teknis, psikologis maupun hal yang lainnya.
Dari hal di atas juga, tentu diperlukan kerjasama dan pro-aktif antara jajaran pemerintah daerah hingga nasional. Terlebih, kebijakan bijak yang tidak terlalu menyulitkan masyarakat di tengah pandemi tentu sangat ditunggu oleh publik. Walaupun demikian, guna mendukung program pemerintah kedepannya diperlukan pula dukungan dari masyarakat luas untuk mematuhi protokol kesehatan yang ada.