Jumat, Maret 29, 2024

Pelajaran Penting Dua Garis Biru

M. Fauzan Aziz
M. Fauzan Aziz
Penulis lepas. Pemerhati media baru, jejepangan, dan budaya populer. Pegiat di kolektif Liteera.

Keliru jika menganggap film Dua Garis Biru Gina S. Noer hanya mempromosikan perilaku zina. Lewat skenario yang mengalir, cerita yang lekat, dan gaya bertutur yang penuh pengandaian, Dua Garis Biru adalah tipe film yang akan membuat kita berpikir ulang tentang satu hal yang sampai sekarang sayangnya masih tabu untuk diperbincangkan; yakni seksualitas.

Dua Garis Biru menceritakan Dara, anak perempuan dari keluarga kaya, cantik dan resik, rumahnya besar, sebagai bucin oppa, impiannya pergi ke Korea (Selatan). Bima, anak laki-laki dari keluarga miskin, kulitnya hitam, nilainya pas-pasan, motornya butut, rumahnya berada di kawasan padat penduduk, bapaknya pensiunan yang sehari-harinya mengutak-atik skuter jadul, ibunya berjualan gado-gado.

Pun begitu, Dara dan Bima saling mencinta. Sayangnya film ini tidak dimulai dari cerita cinta dua sejoli dimabuk asmara. Film praktis dimulai pasca bencana, berita jika kehamilan Dara telah mengacaukan semuanya.

Kontrasnya dua karakter tersebut mengingatkan saya dengan film Titanic. Rose dari keluarga terpandang, kegiatannya sehari-hari minum teh dengan gaun mewah di dek paling atas.

Sedangkan Jack adalah orang miskin, ia hanya bisa naik ke Titanic karena menang taruhan, ia tinggal bersama orang-orang miskin lainnya di lambung kapal, mabuk-mabukan dan bernyanyi keras-keras. Jack dan Rose saling mencinta, sayangnya hubungan mereka harus kandas bersama Titanic karena menerjang gunung es.

Perbedaannya, jika hubungan Jack dan Rose tiba-tiba kandas begitu saja di akhir cerita, hubungan Dara dan Bima kandas di awal cerita, tetapi penonton sepanjang film diberi harapan jika mungkin saja, cerita mereka berdua bisa berakhir manis.

Dalam roman yang mengisahkan dua sejoli dari kelas sosial yang berbeda, selalu ada kekuatan besar yang mencoba dan seringkali berhasil untuk mengacaukan suatu hubungan. Untuk konteks Dara dan Bima, kekuatan besar tersebut adalah kehamilan Dara di luar nikah.

Ketika Dara mengalami kontraksi pertamanya di sekolah, di sebuah institusi yang seharusnya menjadi tempat kedua dia untuk berlindung selain rumah, Dara malah mengalami penolakan. Sekolah tidak mau menanggung malu dan meminta Dara untuk mengundurkan diri. Sedangkan Bima sebagai laki-laki tidak diberi sanksi apa-apa, ia juga masih diperbolehkan sekolah.

Dara yang dahulu bermimpi ingin pergi ke Korea dan berkuliah di sana juga mulai berpikir untuk membuang mimpinya jauh-jauh. Sebagai anak-anak dia masih memiliki mimpi yang begitu besar, tetapi sebagai ibu hamil dia kini memiliki prioritas dan tentu Korea bukan salah satunya.

Sedangkan Bima tidak memiliki mimpi, dia hanya melepas kesempatannya untuk bersekolah dan memilih bekerja untuk membuktikan kepada keluarga Dara jika dia bertanggungjawab. Tidak seperti anak-anak lainnya, Bima dipaksa untuk dewasa terlalu cepat.

Di situasi lain, ibu Bima yang tidak kuat mendengar gosip dan kasak-kusuk tetangga, memutuskan untuk menikahkan anaknya dengan Dara. Akibatnya, pernikahan kakak perempuan Bima yang sudah direncanakan jauh-jauh hari pun harus dibatalkan.

Masih banyak contoh lainnya yang menggambarkan kekacauan-kekacauan yang timbul akibat kehamilan di luar nikah. Gina saya akui menampilkan semuanya tanpa bertele-tele, runtut, dan tidak ada yang dipaksakan, semuanya mengalir dengan lancar.

Saya pikir kekacauan-kekacauan yang timbul merupakan pelajaran penting yang bisa diambil dari film Dua Garis Biru. Bukan tentang pandangan jika perilaku zina mampu mengacaukan semuanya, tetapi bagaimana kegagapan masyarakat dalam memperbincangkan seksualitas menjadi sebab kekacauan tersebut bisa terjadi. Dan kita semua bertanggungjawab atas apa yang terjadi kepada Dara dan Bima.

Di Indonesia, wacana tentang seksualitas selalu direproduksi sebagai suatu hal yang vulgar dan memalukan, sehingga seringkali kita enggan bertanya dan menyimpan perbincangan tersebut sendiri-sendiri.

Namun di sisi lain, negara juga berperan besar dalam mengontrol wacana seksualitas; alat kontrasepsi, keluarga berencana, dan pernikahan satu agama adalah ragam caranya. Seksualitas menjadi hal yang tabu diperbincangkan, tetapi juga menjadi peraturan publik di mana masyarakat merasa terlibat di dalamnya.

Ini alasan mengapa porno balas dendam (revenge porn) bisa tumbuh subur di Indonesia. Bergerilya di ruang siber dan disirkulasikan oleh banyak orang, karena kita tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang bagaimana dirugikannya pihak perempuan ketika pihak laki-laki bisa bebas dan melenggang.

Istilah ‘anak haram’ juga menjadi alasan mengapa angka aborsi di Indonesia cukup tinggi. Kita terlalu malu untuk berdiskusi soal selangkangan sehingga cara satu-satunya hadir melalui gosip, kasak-kusuk, dan pengucilan. Negara bisa hadir untuk menentukan jika pernikahan beda agama tidak sah, tetapi lepas tangan untuk memberi pemahaman dan perlindungan tentang bahaya aborsi ilegal untuk perempuan.

Di dalam film, pilihan yang diambil keluarga Bima untuk lepas dari kasak-kusuk itu adalah pernikahan anak. Tetapi ini juga bukan solusi. Kita tidak mengetahui betapa berisikonya pernikahan di bawah umur baik secara medis, maupun mental, dan film ini menceritakan itu semuanya dengan baik.

Usaha Gina untuk mendudukkan wacana seksualitas di ruang yang lebih diskursif melalui film Dua Garis Biru patut diacungi jempol. Saya pikir ini akan menjadi usaha yang panjang dan melelahkan, tetapi saya optimis jika kehidupan seksualitas masyarakat Indonesia bisa lebih baik lagi dari sebelumnya.

M. Fauzan Aziz
M. Fauzan Aziz
Penulis lepas. Pemerhati media baru, jejepangan, dan budaya populer. Pegiat di kolektif Liteera.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.