Jumat, April 19, 2024

Pekerja Migran Indonesia dalam Pusaran Transisi

Yovi Arista
Yovi Arista
Alumnus Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro. Saat ini bekerja bersama organisasi masyarakat sipil. Tertarik membahas isu sosial, politik dan pemerintahan.

Rangkaian prosesi telah melengkapi transisi tatanan pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo. Usai prosesi pelantikan dan pembukaan masa sidang oleh anggota legislatif DPR, DPD dan MPR periode 2019–2024 pada awal Oktober 2019 lalu, kemudian pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang diselenggarakan 20 Oktober 2019, hingga pelantikan pejabat setingkat menteri dan wakil menteri dalam konstelasi eksekutif yang bernama Kabinet Indonesia Maju.

Hiruk-pikuk transisi periode pemerintahan diwarnai beragam respons publik atas berbagai persoalan. Dari kekecewaan publik perihal kinerja parlemen yang gagal menyelesaikan berbagai produk perundangan, ataupun proses legislasi yang dianggap mengkhianati syarat pelibatan publik.

Sebut saja wacana Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang kandas dari proses legislasi DPR-RI periode 2014-2019, hingga wacana Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dilihat sebagai langkah-langkah pelemahan demokrasi di Indonesia. Sentimen negatif pada kinerja pemerintahan diperkuat setelah konstelasi kabinet yang dianggap mengecewakan dalam berbagai aspek.

Pergumulan menyoal masa transisi pemerintahan beserta polarisasi masalahnya, tanpa kita sadari punya dampak yang kurang baik pada isu-isu kelompok marjinal. Salah satunya pada kepentingan pekerja migran Indonesia. Situasi ini semakin diperburuk dengan responsivitas kinerja pemerintah di lintas sektor yang juga tergerus nuansa transisi.

Bagi pekerja migran Indonesia, “transisi” sebetulnya telah dimulai sejak pengesahan Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) pada 22 November 2017.

Melalui Undang-Undang tersebut, terjadi pergeseran paradigma dalam tata kelola migrasi pekerja migran Indonesia, yang sebelumnya berfokus pada mekanisme penempatan, menjadi lebih punya atensi pada perlindungan melalui mekanisme yang lebih desentralistis. Disahkannya UU PPMI telah menjadi titik penantian sekaligus harapan bagi berbagai pihak, untuk dapat mereformasi tata kelola migrasi pekerja migran yang lebih baik.

UU PPMI memandatkan waktu tenggat selama dua tahun bagi pemerintah di tataran eksekutif untuk menyusun aturan turunan yang akan menjadi kerangka teknis pengoperasionalan dan implementasi Undang-Undang.

Pemerintah sebetulnya telah mengambil langkah-langkah untuk mendorong efektivitas perumusan kebijakan dengan mensimplifikasi aturan turunan/teknis UU PPMI. Dari 11 Peraturan Pemerintah (PP) yang dimandatkan, disimplifikasikan menjadi 3 PP, serta 12 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) yang disimplifikasi menjadi 6 Permenaker.

Di tataran teknis yang lain, terdapat pula mandat untuk menyusun 2 Peraturan Presiden (Perpres) dan 3 Peraturan Kepala Badan (Perka). Namun demikian, menghitung hari jelang dua tahun diundangkan dan disahkannya UU PPMI, langkah simplifikasi tidak berhasil menjadi solusi, karena peta jalan aturan turunan belum termanifestasikan secara jelas. Sebab belum semua aturan turunan rampung dibahas dan disahkan.

Dari sisi perumusan, beberapa aturan pelaksana UU PPMI juga dinilai minim pelibatan publik. Ruang pelibatan publik yang sempit rentan disalahgunakan bagi pola-pola lama industrialisasi penempatan pekerja migran yang eksploitatif. Salah satunya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 9 tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran, yang substansinya berkontradiksi UU PPMI sebagai landasan hukumnya.

Sementara dalam aspek kelembagaan, harapan akan aturan turunan UU PPMI dapat dirampungkan sesuai target juga terancam pupus. Selain dihadapkan pada fragmentasi konsentrasi terkait proses transisi, fokus konsentrasi Kementerian Ketenagakerjaan sebagai leading sector dalam urusan pekerja migran juga menghadapai tantangannya sendiri.

Pasalnya, dalam Kabinet Indonesia Maju, Presiden Joko Widodo menunjuk Ida Fauziah untuk menggantikan Hanif Dhakiri sebagai Menteri Ketenagakerjaan. Di masa akhir kepemimpinannya, Hanif Dhakiri juga ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Pemuda dan Olahraga untuk menggantikan posisi Imam Nahrawi yang mengundurkan diri setelah terjerat kasus korupsi.

Meski masih diwarnai partai pengusung yang sama, dinamika dalam tataran teknis teratas ini punya pengaruh yang signifikan dalam proses transisi yang belum tentu berjalan mulus. Tidak hanya termarjinalkan dalam kerangka kerja pemerintah, tetapi juga konsentrasi publik yang tergerus arus politik populis.

Faktanya, langkah institusionalisasi kebijakan dan kelembagaan yang tersendat, tidak menghentikan arus mobilitas migrasi pekerja migran Indonesia ke luar negeri yang terus berjalan. Responsivitas negara juga dipertaruhkan untuk dapat merespons dinamika persoalan dan kerentanan pekerja migran Indonesia di tengah berbagai kasus ketidakadilan, kejahatan trans-nasional, perdagangan orang hingga ancaman pusaran radikalisme dan ekstrimisme di lintas batas negara.

Di sisi lain, Presiden Joko Widodo dalam periode keduanya punya agenda besar untuk menciptakan lapangan kerja secara massif, dengan melakukan penyederhanaan regulasi melalui omnibus law. Wacana ini patut menjadi perhatian, sebab tanpa proses yang matang dan komprehensif, penyederhanaan regulasi rentan menjadi medium peliyanan kelompok-kelompok marjinal seperti pekerja migran.

Dengan demikian, publik patut menaruh banyak harapan pada konfigurasi baru pemerintahan di tingkat legislatif, eksekutif maupun yudikatif untuk dapat memastikan kelanjutan pelaksanaan kebijakan pelindungan bagi pekerja migran dalam kerangka kerja yang responsif, transparan dan partisipatif. Karena bukan tidak mungkin, reformasi bagi pekerja migran juga ‘dikorupsi’ karena kegagalan operasionalisasi kebijakan yang efektif.

Yovi Arista
Yovi Arista
Alumnus Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro. Saat ini bekerja bersama organisasi masyarakat sipil. Tertarik membahas isu sosial, politik dan pemerintahan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.