Kamis pagi, para pekerja mulai masuk untuk menunaikan kewajibannya, demi menghidupi keluarga agar tetap bertahan hidup. Namun hari itu berbeda tanggal 26 Oktober 2017, gudang yang menyimpan kembang api dan petasan milik PT Panca Buan Cahyadi itu meledak. Perusahaan yang berlokasi di Kompleks Pergudangan 99, Jalan Salembaran Jati, Desa Cengklong, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, kini menjadi isu hangat yang oleh banyak media, sebagai sasaran pemberitaan.
Peristiwa naas tersebut menewaskan 43 orang pekerja, dari total sekitar 103 pekerja yang mengadukan nasibnya di perusahaan pembuat kembang api dan petasan tersebut. Menyimpan duka yang mendalam, terutama untuk keluarga korban yang ditinggalkan.
Tragedi tersebut membuka mata kita bahwasanya faktor keselamatan pekerja masih dikesampingkan, melihat banyaknya korban yang meninggal. Tidak pedulinya pemodal pada aspek standart keamanan pekerja, telah menjadi bukti nyata bahwasanya pemerintah juga tidak terlalu peduli akan hal tersebut.
Banyaknya korban menjadi salah satu indikator penting mengenai masih minimnya perhatian terhadap keselamatan para pekerja. Apa yang telah dilakukan perusahaan kembang api dan petasan tersebut menjadi preseden buruk, dalam upaya pemenuhan hak-hak pekerja selama ini.
Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan UU No 1 Tahun 1970 yang menjadi dasar hukum preventif keselamatan pekerja. UU tersebut dalam ranah faktualnya masih belum mampu berbicara banyak atas hak-hak pekerja. Pada pasal 15 dalam UU No 1 Tahun 1970 masih menunjukan watak kompromis, terutama terkaig sanksi yang diatur dan dijatuhkan ketika ada pelanggar masih tergolong ringan. Tertulis dalam pasal tersebut jika perusahaan yang melanggar ketentuan keselamatan kerja, hanya mendapatkan hukuman selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.
Secara jelas UU No 1 Tahun 1970 sudah tidak relevan lagi, hal ini bisa dikomparasikan dengan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur tentang ketenagakerjaan. Di dalam UU No 13 yang mengatur persoalan-persoalan pokok pekerja, mengenai banyak aspek mulai dari hak upah hingga hak cuti haid. Secara lugas dan jelas menyebutkan mengenai pentingnya melindungi hak-hak pekerja, baik soal kesehatan dan keselamatan kerja. Pada pasal 86 tertulis jika setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.
Kemudian diperjelas dalam pasal 87, yang berbicara mengenai kewajiban perusahaan yang diwajibkan menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Jika dianalisis secara mendalam maka akan ditemukan hal yang cenderung kontradiktif, antara undang-undang satu dengan undang-undang yang lainnya. Karena perihal maksud dan tujuan antar undang-undang sudah tidak linier dengan upaya melindungi hak-hak normatif pekerja, yang selama ini kerap dipinggirkan.
Kemanusiaan Tergadaikan Oleh Kebijakan yang Tidak Berpihak
Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja sudah tidak dapat diterima, karena sangat kontra dengan kepentingan pekerja. Hal tersebut dapat dilihat dari dampak kebijakan tersebut, yang telah nyata menjadi salah satu penyebab terabaikannya hak-hak pekerja. Hingga kini eskalasi pengabaian hak pekerja masih cukup tinggi. Faktanya dari tahun ke tahun selalu memakan korban jiwa, seperti data yang dilansir oleh BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2015 tercatat sekitar 105.182 kecelakaan kerja, dengan catatan sekitar 2.375 orang meninggal dunia. Bahkan data terakhir menyebutkan Bulan November tahun 2016 ada 101.367 kasus yang tersebar di 17.069 perusahaan dari total 359.724 perusahaan yang terdaftar, dengan korban jiwa mencapai 2.382 orang.
Meskipun angka tersebut tergolong kecil untuk sebaran jumlah pekerja di seluruh Indonesia, mungkin bisa jadi angka korban kecelakaan kerja yang tidak terungkap lebih dari penjabaran BPJS Ketenagakerjaan. Namun secara kasuistik jumlah terakhir dalam rentan 2015 sampai November 2016 menunjukan perusahaan masih abai dalam hak-hak pekerja.
Peristiwa yang menimpa kawan-kawan pekerja yang di PT Panca Buan Cahyadi, merupakan salah satu contoh kasus dimana perusahaan dan pemerintah masih belum mempriotaskan perbaikan atas nasib para pekerja. Karena realitasnya pekerja-pekerja yang menjadi korban ledakan, masih belum mendapatkan hak-haknya. Seperti upah, serta sistem kerja yang tidak sesuai dengan standart kelayakan hidup.
Secara dasar kita bisa melihat dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian, dan Pasal 28D ayat (2) “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Selain keselamatan kerja, persoalan hak-hak pekerja seperti upah masih menimbulkan masalah. dipertegas di dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, bahwa setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Dengan adanya penjabaran di atas, secara dasar perundang-undangan telah mengatur terkait hak-hak pekerja. Membuktikan jika pekerja seharusnya dilindungi oleh negara, pemerintah sebagai represetasi dari rakyat telah abai dalam kasus-kasus seperti keselamatan pekerja. Dengan mengangkangi hukum yang secara prinsip mereka sepakati, tetapi tidak dilaksanakan sepenuhnya untuk kemaslahatan kaum pekerja.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kedaulatan atas hidup, merupakan sebuah elaborasi atas nilai-nilai kemanusiaan. Jikalau perusahaan dan pemerintah mengesampingkan hak-hak normatif pekerja, dengan mengalienasi pekerja dari aturan dasar. Maka secara realitas hak-hak pekerja telah tereduksi, sehingga secara tidak langsung mengeliminasi nilai-nilai kemanusiaan.