Sabtu, Oktober 12, 2024

Pecahnya Konflik Linguistik di Belgia

Rizki Wahyu Lestari
Rizki Wahyu Lestari
merupakan mahasiswa Universitas Teknologi Yogyakarta progrma studi Hubungan Internasional

Pembagian bahasa Belgia dimulai sejak abad ke-19. Dengan adanya Undang-Undang Kesetaraan antara Belanda dan Perancis (1898) memberikan perlindungan formal terhadap perpecahan bahasa tersebut. Sinisme yang dilakukan oleh masyarakat terhadap bilingualisme masih terlihat sangat jelas.

Selama PD ke-I, otoritas Jerman kembali membagi Belgia menjadi dua wilayah administrative, yaitu Flanders, termasuk Brussel, dan  Wallonia, dengan Namur sebagai ibu kotanya. Setelah dekolonisasi Kongo pada tahun 1960, hubungan antar blok administratif Belgia semakin memburuk.

Pada tahun yang sama, Belgia mengesahkan undang-undang yang mengubah sistem kepartaian nasional sehingga partai regional yang melayani Flanders dan Wallonia secara terpisah. Saat ini, hanya sistem dua partai di Brussel yang masih tumpang tindih.  Namun, partai-partai ini hanya dapat berbicara bahasa Flemish. Perbedaan linguistic ini  tentu mempunyai implikasi politik yang sangat serius.

Pemerintah federal Belgia saat itu hanya mengontrol isu-isu seperti kebijakan luar negeri dan imigrasi. Faktanya, bidang kompetensi umum ini memerlukan  perhatian yang sangat kritis. Dimana Perpecahan linguistic semakin meningkat menjadi perpecahan budaya di negara ini.

Sebagai bagian dari peraturan, bioskop di Brussel dipisahkan berdasarkan kotamadya.  Perbedaan ini juga mempunyai implikasi ekonomi, dimana Flanders saat ini memiliki keunggulan tidak hanya di pelabuhan perdagangan tetapi juga di industri bioteknologi, medis dan jasa. Pada tahun 2010 sampai 2011, dibutuhkan waktu lebih dari satu tahun  untuk membentuk pemerintahan koalisi di negara ini.

Dimana  peristiwa serupa terjadi pada pemilu tahun 2019, dengan gelombang hijau di Brussels, Partai Sosialis mengambil alih kekuasaan di Wallonia, dan kemenangan kelompok separatis sayap kanan partai Kepentingan Flandria (Vlaams Belang) di Flamish. Kesenjangan ini tentu saja semakin melebar ketika terjadi krisis yang luar biasa.

Pada awal tahun 2020, Brexit mengancam akan berdampak pada kesejahteraan sosio-ekonomi Eropa. Di tahun berikutnya, Eropa berhasil menghilangkan beberapa ancaman tersebut dan memperkenalkan ancaman baru. Salah satu tantangan tersebut terletak pada identitas bahasa (linguistic) dan budaya Belgia yang beragam.

Brussel, selaku ibu kota tidak resmi Uni Eropa, telah menjadi medan pertempuran bagi upaya blok tersebut dalam menjaga perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi Belgia. Penyebaran covid-19 baru telah menyoroti pentingnya tindakan penanggulangan yang efektif di tingkat nasional.

Namun, dengan adanya peraturan lockdown yang diperkenalkan oleh pemerintahan telah melanggar teori Conseil d’etat tentang tanggung jawab bersama dalam manajemen krisis. Dalam  rtikel Milan Kundera “L’occident Quinape” yangmengkaji nasib negara-negara kecil yang terus-menerus meragukan identitas mereka dan mengancam kelangsungan hidup negara tersebut. Di Brussel, perselisihan berarti kerugian yang tidak dapat diperbaiki bagi wilayahnya.

Dalam kasus ekstrim, perpecahan bahasabahkan dapat mengakibatkan tiga wilayah di Jerman Belanda dan, Prancis digabungkan menjadi wilayah bahsanya nya masing-masing. Dalam periode pasca perang ditandai dengan kebijakan nasionalis yang berfokus pada kelangsungan hidup dan rekonstruksi suatu negara.

Pada tahun 2020, pemerintahan federal Belgia yang baru menjabat selama sembilan bulan, terdapat fakta bahwa pemerintahan baru saja dibentuk tersebut menciptakan ketidakstabilan lebih lanjut selama krisis yang tidak terduga.

Akhir tahun 2020, Belgia menjadi negara monarki konstitusional dengan tiga bahasa dan komunitas resmi, yaitu dan Penutur bahasa Belgia Timur atau Jerman (1%),  penutur Walloon atau Prancis (35%), penutur bahasa Flemish atau Belanda (64%). Meskipun termasuk kedalam negara kecil, Belgia memiliki struktur politik federal yang relatif kompleks dengan komunitas linguistic dan tiga tingkat regional ( Wallonia dan wilayah Brussels) dan ada lima parlemen.

Secara internal, mekanisme pemberian layanan sosial yang ada saat ini memungkinkan wilayah daerah Belgia untuk mengelola inisiatif pembangunan mereka sendiri, termasuk dari penggunaan lahan, energi, lapangan kerja, dan layanan kesehatan hingga kompensasi atas hilangnya pendapatan akibat pandemic covid-19.

Setelah periode pasca perang yang ditandai dengan kebijakan nasionalis yang bertujuan untuk bertahan hidup dan melakukan rekonstruksi. Pada abad ke-21, terdapat kebutuhan untuk beralih ke perspektif global. Dalam menghadapi krisis pemerintah yang mendesak seperti COVID-19, perubahan iklim, migrasi massal, dan kesenjangan pendapatan, kerja sama komprehensif adalah satu-satunya pilihan untuk menjamin masa depan Belgia.

Konflik linguistic di Belgia ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :  1) Perbedaan Bahasa: Belgia memiliki tiga bahasa resmi: Belanda, Prancis, dan Jerman. Dan adanya perbedaan linguistic ini menciptakan dinamika yang kompleks antara komunitas bahasa Belanda dan Perancis.

2) Sejarah Belgia yang  dipengaruhi oleh negara tetangga seperti Belanda, Perancis, dan Jerman yang juga mempengaruhi konflik linguistic negara tersebut. 3) Kebijakan bahasa, terdapat ketidakpuasan terhadap undang-undang bahasa, batasan bahasa, proses Perancisisasi kota Brussel, undang-undang kota, dan pertanyaan apakah kota Leuven  tetap menjadi Flemish juga berkontribusi terhadap konflik bahasa di Belgia.

4) Kompleksitas Pemerintahan, dalam sistem pemerintahan Belgia yang kompleks, terdiri dari enam pemerintahan  berbeda, juga mencerminkan keragaman bahasa dan konflik politik yang terkait. 5) adanya perbedaan demografis, dengan adanya perbedaan jumlah penutur bahasa Belanda dan Perancis di wilayah tertentu di Belgia juga menjadi faktor yang mempengaruhi konflik linguistic ini. Mengingat faktor-faktor tersebut, bahwa konflik linguistik di Belgia bersifat kompleks dan memerlukan penanganan yang sangat krisis untuk mencapai rekonsiliasi antar komunitas bahasa yang berbeda.

Dalam Konflik ini banyak menyebabkan dampak bagi Belgia sendiri, seperti mengakibatkan beberapa reformasi negara dan akhirnya menuju ke federalisasi Belgia,  karena ditekan oleh para penutur bahasa Flamish dan Wallonia.

Dapat simpulkan dari konflik bahasa di Belgia bahwa dengan adanya perbedaan bahasa dapat memicu ketegangan dan konflik antara komunitas yang berbeda pula, bahkan dalam sebuah negara maju seperti Belgia.

Konflik linguistic ini  menunjukkan bahwa komunikasi antar individu maupun komunitas tertentu sangat berperan penting dalam meredam ketegangan dan konflik yang terjadi, dibutuhkannya negosiasi antar kedua belah pihak agar terciptanya keuntungan bagi keduanya. Dengan begitu tidak akan terciptanya konflik bahasa dikemudian hari.

Rizki Wahyu Lestari
Rizki Wahyu Lestari
merupakan mahasiswa Universitas Teknologi Yogyakarta progrma studi Hubungan Internasional
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.