Hari Perempuan Internasional, suara perempuan bergemuruh di mana-mana. Melalui kampanye, aksi refleksi hingga tulisan-tulisan, mereka ekspresikan. Sebab salah satu tantangan utama kita dalam mengatasi masalah kesetaraan gender yang berasal dari faktor budaya patriarki yang sangat kuat.
Terlepas dari sejarah gerakan Internasional Woman’s Day itu, satu hal yang menjadi pelajaran penting bahwa eksistensi mereka adalah ajakan kepada kita semua untuk memerangi budaya patriarki.
Patriarki, secara umum didefinisikan sebagai perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Padahal dalam kehidupan ketata negaraan, kita mengakui tentang kesetaraan, keegaliteran. Dan praktik budaya patriarkis Ini secara rasionalitas manusia adalah jelas-jelas bagian dari ketidak adilan. Maka tak lain kita harus bersepakat bahwa budaya patriarki adalah kekejian yang harus dihapuskan.
Ironinya, berpikir patriarkis dan bertindak patriarkis telah menjadi realitas kita dan bahkan hampir menjadi tradisi. Kondisi semacam ini yang membuat (sebagian) laki-laki merasa memiliki kuasa terhadap perempuan. Sehingga tidak jarang mendengar perempuan selalu menjadi korban atas perlakuan laki-laki yang tidak sewajarnya. Laki-laki merasa lebih besar, merasa diri sebagai yang paling kuat. Akhirnya mensubordinasikan perempuan dan memposisikan dirinya sebagai ordinat.
Budaya patriarki yang marajalela ini akibatnya perempuan sering kali mengalami perlakuan tidak wajar. Kekerasan terhadap perempuan maupun pelecehan seksual (sexual harassment) hampir selalu dialami oleh perempuan. Baik itu Pelecehan dalam pacaran maupun aktivitas-aktivitas lainnya.
Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) kekerasan terhadap perempuan tahun 2018 yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan pada 6 Maret 2019 lalu. Jumlah kasus KTP 2019 sebesar 406.178, jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 348.466. CATAHU 2019 ini menggambarkan beragam kejadian yang dialami perempuan sepanjang 2018.
Berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol sama seperti tahun sebelumnya adalah KDRT/RP (ranah personal) yang mencapai angka 71% (9.637). Ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual. Posisi kedua KtP di ranah komunitas/publik dengan persentase 28% (3.915) dan terakhir adalah KtP di ranah negara dengan persentase 0.1% (16).
Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 3.927 kasus (41%), menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 2.988 kasus (31%), psikis 1.658 (17%) dan ekonomi 1.064 kasus (11%).
Pada ranah publik dan komunitas kekerasan terhadap perempuan tercatat 3.915 kasus. 64% kekerasan terhadap perempuan di Ranah Publik atau Komunitas adalah Kekerasan Seksual yaitu Pencabulan (1.136), Perkosaan (762) dan Pelecehan Seksual (394). Sementara itu persetubuhan sebanyak 156 kasus.
Inilah mengapa para feminism mendukung keras agar DPR RI segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Sebab nyatanya merekalah yang menjadi korban utama.
Tanpa disadari, data diatas menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah pikiran yang patriarkis. Sebab pertanyaan mendasarnya adalah mengapa perempuan yang selalu menjadi korban?.
Perihal budaya patriarki pun sering kali terjadi dalam rumah tanggga. Dalam konteks keluarga, sering kali terjadi perdebatan yang tak berpenghujung. Beberapa kalangan misalnya menganggap perempuan harus melayani suaminya bahkan 24 jam harus berada di rumah.
Bahkan ekstrimnya, apabila sang suami tidak mengizinkan untuk keluar rumah, maka perempuan haruslah tunduk dan patuh. Sebab konstruk berfikirnya adalah dosa istri ditanggung suami. Jangan sampai istri bepergian dan melakukan dosa dan suami yang menanggung itu semua.
Fakta menunjukkan bahwa akhir-akhir ini masih menjadi sebuah kenyataan kita. Stigma tentang perempuan tidak perlu mengakses pendidikan lebih tinggi, perempuan tidak perlu mencari kerja dan sebagainya masih menjadi tradisi kita. Akhirnya mendomistifikasi perempuan sering terjadi. Perempuan selalu diidentikkan dengan Dapur, kamar dan sumur.
Untuk melacaknya, Sigmun Freud menjelaskan bahwa yang paling menentukan kepribadian manusia adalah libido seksual mereka sendiri. Bagi Freud, fiksasi inses sudah terjadi pada laki-laki sejak kecil. Karena mempunyai afinitas seksual dengan ibunya sendiri. Ini awal mula perasaan superior seorang lelaki.
Salah satu dosen filsafat UI, Gadis Arivia memberikan komentar bahwa laki-laki di Indonesia banyak diuntungkan dibanding perempuan untuk menduduki jabatan publik. Keyakinan bahwa lelaki lebih superior jelas akan merugikan perempuan, karena keinginan dan ambisi mereka untuk maju dalam karir dan pendidikan akan dihambat.
Meski pandangan Freud telah dikritiki oleh para feminism. Praktik patriarki masih saja berdiri tegak dan masif. Domestifikasi perempuan inilah yang tidak diterima baik oleh kalangan Feminism.
Mereka yang selalu menjunjung tinggi kebebasan. Bahwa diantara suami maupun istri masing-masing tidak memiliki otoritas atas keluarga itu. Tetapi semua berawal dari konsensus (kesepakatan). Hal ikhwal yang berkaitan dengan keluarga adalah hasil kesepakatan bersama. Sehingga apapun konsekuensi yang terjadi dalam keluarga adalah tanggung jawab bersama.
Semangat feminism bukan hanya tentang wanita, proyek utamanya pun bukan perihal menciptakan jarak mengenai relasi gender. Tetapi substansinya adalah menghapus stereotipe tentang laki-laki adalah segalanya. Dalam artian menciptakan keluarga yang diidamkan dengan mengesampingkan hak perempuan adalah bagian dari ketidakadilan. Feodalism didalam keluarga harus ditiadakan.
Akhirnya, Yang paling pokok adalah bagaimana untuk membangun tradisi kehidupan yang tidak bias gender. Menumbuhkan budaya demokratis dalam segala aspek akan menjamin keharmonisan diantara sesama. Satu-satunya adalah untuk menghapus pikiran dan perbuatan yang patriarkis.
Selain itu, kita berharap agar pemerintah selayaknya memberikan akses yang setara bagi setiap warga negara, perempuan ataupun laki-laki. Baik dalam aspek politik, sosial maupun ekonomi. Sebab menjunjung tinggi kesetaraan gender pun bagian terpenting dalam kehidupan bernegara.