Sabtu, April 27, 2024

Pasca Pemilu 2024 Seorang Intelektual Harus Apa ?

Tedy Aprilianto
Tedy Aprilianto
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Filsafat UGM

Pasca pemilu 2024 sosok pemimpin negara baru telah dilahirkan dan akan menahkodai arah masa depan Indonesia. Terlepas dari cacat atau tidaknya proses pemilu sebelumnya sebuah problem kebangsaan pasti akan terjadi. Dengan banyaknya suara elektoral yang memenangkan suatu calon, disitulah letak esensi utama dari regenerasi kekuasaan. Dengan adanya pemilu, apapun hasilnya suka maupun  tidak suka masyarakat harus menerimanya.

Dari adanya pemilu, jalanya demokrasi di titik beratkan pada elektoral sahaja. Dengan adanya elektoral beragam reduksi dari substansi kebangsaan bisa saja terpendam begitu saja. Pada pemilihan umum 2024 ini, substansi gagasan dari tokoh pemimpin melewati masa titik balik yang signifikan. Akan tetapi, substansi gagasan itu kalah dengan adanya suara elektoral yang lebih menyukai popularitas.

Menyambung dinamika pemilu 2024, tokoh intelektual telah berkontribusi banyak untuk menumbuhkan kesadaran pada etika kebangsaan. Namun, suara itu belum bisa memberikan dampak apapun dan tidak mengubah kondisi apapun.

Melalui adanya kondisi tersebut, pasca pemilu 2024 ini sudah waktunya seorang intelektual untuk makin masif bersuara. Terlepas dari problem-problem yang telah usai di pemilu 2024. Bukan berarti seorang intelektual harus naik kembali ke gunung kembali pada posisi nyaman. Justru pasca pemilu 2024 ini, tokoh intelektual memiliki beragam tugas besar untuk menjaga stabilitas demokrasi.

Memenuhi Tanggung Jawab Moral

Pasca pemilu 2024, tanggung jawab seorang intelektual tidak bisa dikatakan telah usai. Justru seorang intelektual di pasca pemilu ini memasuki masa baru. Dengan dinamika pemilu 2024 yang penuh kontroversi. Seorang intelektual yang menjadi saksi dari ketidakbenaran kontestasi elektoral harus menyuarakan kembali keberpihakanya.  Pasca pemilu 2024, seorang intelektual disini dibutuhkan masyarakat untuk mengungkap kebenaran yang berpihak langsung pada masyarakat.

Berangkat dari tesis Noam Chomsky tentang intelektual tradisional atau kritis. Chomsky memandang seorang intelektual memiliki marwah kritis yang merupakan bentuk tanggung jawab moral. Kemudian, dari moral tersebut Chomsky memandang seorang intelektual memiliki privilese untuk memperjuangkan dan mengedepankan hak masyarakat yang menitikberatkan pada keadilan dan kebebasan.

Dengan adanya beragam keburukan pemilu yang telah dilewati bersama. Seorang intelektual harus dapat menempatkan diri sebagai tokoh kritis. mengevalusi pemilu 2024, dinamika oligarki telah merusak marwah demokrasi selama kurang lebih 3 bulan sejak masa kampanye hingga pengumuman hasil pemilu. Selepas itu,tokoh  intelektual sudah seharusnya menempatkan diri untuk menjadi semakin kritis. Pasca pemilu 2024, intelektual kritis benar-benar dibutuhkan khususnya dalam menjaga dan mengontrol kekuasaan yang akan datang.

Dengan menangnya sosok yang diduga curang dalam pemilu. Pasca pemilu 2024  seorang intelektual dituntut untuk semakin menumbuhkan nalar kritisnya. Melalui adanya pemilu yang diyakini terburuk dalam sejarah Indonesia. Tidak menutup kemungkinan dampaknya akan berpengaruh pada kebijakan pemerintah yang akan datang. Melalui dukungan oligarki, kebijakan yang akan datang di periode baru tidak menutup kemungkinan juga akan berpihak pada oligarki.

Berangkat dari problem tersebut, tokoh intelektual harus kritis dan semakin berisik untuk mengawal kepentingan rakyat.  Melalui kemenangan sosok yang sempat melanggar etika, sudah seharusnya seorang intelektual membangkitkan kembali marwah etika kebangsaan. Selain itu, seorang intelektual disini juga memiliki tugas besar dalam menyadarkan masyarakat khususnya dari konsekuensi pemimpin yang dipilihnya. Dengan kepedulian seorang intelektual dinamika kebangsaan dalam marwah demokrasi  akan dapat kembali kesedia kala.

Menjadi Garda Terdepan Rekonsiliasi

Seorang intelektual yang tidak peduli pada bangsanya maka, bangsa tersebut akan mengalami kemunduran. Lalu seorang intelektual yang tidak peduli masyarakat, sudah semestinya intelektual tersebut  disanksi sosial dengan dikerdilkan kebanggaan akademisnya . Dua buah kalimat yang layak diutarakan dalam negara demokrasi

Pasca pemilu 2024, terlepas siapa pun yang menang. Curang maupun tidak curang dalam masa pemilu. Polarisasi  hasil pemilu harus direkonsiliasikan. Disinilah tugas seorang intelektual dibutuhkan untuk membentuk kepercayaan publik. Seorang intelektual memiliki tugas untuk menyadarkan masyarakat bahwa, fanatisme seharusnya diakhiri pasca pemilu sudah menemukan siapa pemenangnya.

Dengan menggunakan tesis Gramsci tentang intelektual organik. Seorang intelektual disini harus menjadi garda terdepan dengan menempatkan diri secara organik untuk rekonsiliasi bangsa. Melalui pemikiran Gramsci intelektual organik yang dimaksud ialah, seorang intelektual yang secara sadar mampu menggunakan keahlianya untuk mempengaruhi masyarakat. Dengan terpengaruhnya masyarakat, tujuan utama rekonsiliasi akan terbentuk. Pemikiran Gramsci mengingatkan juga pada intelektual untuk sadar dimana asal mula mereka.

Berangkat dari kesadaran awal mula seorang intelektual tersebut berasal. Sikap keorganikan akan melekat dan masyarakat akan semakin yakin perubahan itu akan terjadi. Disamping sikap fanatisme dan ketidakpercayaan hasil pemilu. Kedekatan seorang intelektual memiliki peranan penting untuk membentuk opini dan kesadaran publik. Selain itu, dengan hasil pemilu yang penuh dengan kontroversi. Perjuangan tokoh intelektual dan masyarakat harus dapat bersinergi. Kedua belah pihak tersebut harus dapat melepas sisi ego sektoralnya dan kembali mengawasi dinamika kebangsaan.

Pasca pemilu 2024, tujuan utama rekonsiliasi ialah, menyadarkan masyarakat dengan konsekuensi pilihanya dan merapat kembali barisan kritis dalam mengawasi bangsa. Melalui adanya masyarakat yang dapat disatukan kembali. Dinamika pemerintah di masa yang akan datang dapat dikritisi bersama secara organik. Dengan demikian, seorang intelektual yang tidak memiliki jarak dengan masyarakat dapat lebih mudah memahami kebutuhan dan hak masyarakat yang layak terus diperjuangkan.

Menempuh Jalan Media Sosial

Setelah membedah tanggung jawab moral dan rekonsiliasi. Seorang intelektual juga perlu mencari terobosan gaya baru. Berangkat dari tesis Chomsky dan Gramsci Kedua pemikiran tokoh tersebut dapat di dialektika kan untuk menumbuhkan pemahaman baru. Penulis menawarkan gagasan baru berupa intelektual jalan media sosial. Terobosan terbaru tersebut merupakan jawaban dari dinamika media sosial yang cukup masif di zaman ini.

Dengan berkaca pada kekuatan media sosial di pemilu 2024. Seorang intelektual  harus mampu menerapkan sisi kritis dan organiknya melalui media sosial. Melalui tokoh intelektual perlu menggunakan media sosial untuk dapat mengontrol opini publik dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Dikala seorang  tokoh intelektual mampu menggunakan media sosial yang baik untuk memenuhi tanggung jawab intelektual. Maka, kecerdasan masyarakat dapat terbentuk untuk menunjang kemajuan peradaban. Dengan demikian, tawaran intelektual jalan media sosial merupakan solusi yang dibutuhkan indonesia saat ini .

Tedy Aprilianto
Tedy Aprilianto
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Filsafat UGM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.