Kamis, November 7, 2024

Pasca Kebudayaan Muhammadiyah

Adis Setiawan
Adis Setiawan
Mahasiswa S2 Magister Manajemen Pendidikan Islam Universitas Islam An Nur Lampung. Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Bekasi Raya | Belajar Menulis
- Advertisement -

Saya menulis judul “Pasca” bukan berarti Muhammadiyah itu sudah selesai pergerakannya –tidak berpengaruh lagi untuk budaya. Walaupun sekarang, banyak tumbuh kelompok-kelompok islam yang sering naik panggung dengan “Aksi-aksinya” –secara tidak langsung mengeser budaya bagian islam sebelumnya.

Banyak Mubaligh dalam pengajian-nya merasa cemas dengan budaya-budaya baru yang datang dari arah informasi seperti film, vidio dan konten-konten. Konten dan film tersebut banyak di konsumsi oleh anak bangsa, sehingga menimbulkan kecemasan akan mempengaruhi kepribadian anak muda.

Kecemasan para Mubaligh tersebut, karena konten atau film lebih merusak generasi muda daripada mendidiknya. Bisa jadi, masa mendatang akhlak dan moral anak bangsa bisa terpengaruh kepribadian-nya.

Padahal banyak yang membuat film, konten, dan vidio berasal dari produser yang beragama islam, tetapi kenapa hasil dari kesenian-nya bukan menghasilkan budaya Islami. Mereka memang dari produser muslim, akan tetapi di era sekuler hal itu hanya untuk dagang mencari keuntungan dan mengambil kesempatan pasaran yang laku dikalangan masyarakat.

Bahkan kaum muslim hanya bisa mencemaskan dan khawatir dengan kebudayaan baru yang entah datang dari Barat atau Timur. Tetapi para mubaligh tidak siap dengan pengganti budaya –yang lebih kepada budaya Islam ke-Nusantaraan.

Bahkan hanya menyarankan agar menjauhi budaya yang tidak sesuai dengan islam keindonesiaan. Banyak kelompok bagian islam yang harusnya membuat budaya pengganti, agar memenuhi rasa haus masyarakat islam penikmat budaya dan tidak terpengaruh oleh budaya luar.

Tradisi-tradisi budaya keagamaan atau seni keagamaan dihapus tanpa diberikan ganti-nya, akhirnya kaum muslimin dibawa oleh arus lain yang justru datang dari luar dan mengancam eksistensi  keislaman. Tradisi budaya Islami tradisional di penggal begitu saja,  bukan hanya sekadar direduksi oleh bid’ah dan khurafat.

Pusat Kebudayaan Muhammadiyah Menurut Cak Nun

Bahkan Cak Nun dalam bukunya Surat Kepada Kanjeng Nabi mengatakan; Apa yang saya tuliskan sekilas ini sekadar tabungan untuk sampai pada suatu mimpi yang sejak lama saya idamkan. Ialah suatu “Pusat Kebudayaan Muhammadiyah” suatu lembaga inisiatif, kreativitas, dan pengembangan kebudayaan Islam. Suatu upaya untuk menyubjeki perkembangan sejarah, sesudah Muhammadiyah mungkin melakukannya lewat bidang-bidang pendidikan formal yang sukses.

Saya tidak ‘mimpi mendadak’ akan punya sutradara Muslim, produser Muslim, dan broker Muslim yang berusaha menandingi jaringan kekuasaan jualan budaya non-Islami. Saya hanya berpikir bahwa di tengah dunia sekularistik yang makin menggiring aktivitas keagamaan ke ruang-ruang terpencil yang steril dari politik dan mekanisme kebudayaan: Muhammadiyah, serta berbagai badan Islam lainnya, memulai usaha memasukkan ruh Islam ke berbagai kegiatan hidup.

Muhammadiyah pasti tahu di mana saja letak pusat-pusat pengendalian kebudayaan masyarakat. Kita bisa memulai mengorganisasi pemikiran dalam soal itu, antara lain bagaimana menumbuhkan kreativitas seni budaya di kalangan generasi muda Islam.

- Advertisement -

Pandangan Pak AR Tentang Budaya

Pak AR memang dikenal sebagai mubaligh akan tetapi Pak AR menganggap bahwa seni-budaya adalah hal penting untuk berdakwah. Karena itu Pak AR sering mendorong anak-anak muda untuk mengikuti kesenian Jawa, seperti mocopatan dan kesenian lain-nya.   Pak AR suka ikut mocopatan dengan KPH Madukusumo, Karkono dan komunitas seni budaya lainnya.

Bahkan Pak AR sering membuat singiran, singiran adalah semacam puisi bahasa Jawa. Singiran-singiran itu digunakan untuk mengisi pengajian di komunitas-komunitas Jawa, termasuk keluarga keraton. Seperti di kampung-kampung Notoyudan, Kadipaten, Patehan, Panembahan, juga di masyarakat Jawa di daerah Bantul, Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo, Purworejo, dan lain-lain (Buku Biografi Pak AR).

Biasanya, kalau mengisi pengajian di komunitas-komunitas seperti itu, Pak AR membagikan singiran (syi’ir) kepada peserta pengajian, kemudian dilagukan bersama-sama dan diterangkan bait demi bait. Dengan membaca singiran itu peserta pengajian akan mudah mencerna isi pengajian yang disampaikan oleh Pak AR. Bahkan, tidak sedikit yang menghapalkan dan dilagukan (dengan rengeng-rengeng, semacam bersenandung) sambil bekerja.

Pak AR tipologi seorang muslim tulen, akan tetapi bukan menjadi keArab-Araban dan juga tidak membenci Arab. Artinya Pak AR kental dengan budaya Islami tetapi sangat menghormati dan menghargai budaya Jawa. Kebudayaan Jawa memang harus dikritisi tetapi harus punya penggantinya, tetap memilih mana yang pantas dengan Islam, dan mana yang tidak pantas dengan Islam. Lalu di gunakan sebagai sarana dan media dakwah.

Pak AR selalu berpikir positif (khusnudzan), bahwa segala sesuatu bisa diubah, diperbaiki dan disempurnakan. Misalnya, tentang Yasinan, Pak AR tidak anti, tetapi Yasinan itu diubah menjadi pengajian tafsir surat Yasin. Tentu semuanya itu melalui proses yang panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran serta kecerdasan yang tinggi serta pendekatan yang komunikatif, manusiawi dan kultural (Buku biografi Pak AR).

Pusat Kebudayaan Muhammadiyah

Yang lebih penting untuk diingat lagi ialah Muhammadiyah masih sangat kekurangan kader. Yang dimaksud disini adalah kader dalam arti luas seperti kader ulama, kader mubaligh, kader petugas sosial, kader jurnalistik, kader pustakawan, kader kebudayaan, kader politik, kader ekonomi, kader manajer, kader cendekiawan dan kader lain-lain yang kita perlukan untuk memperjuangkan cita-cita Islam, untuk melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar di segala bidang guna membangun masyarakat utama.

Kader-kader inilah yang akan menjadi penggerak persyarikatan menjadi gerakan Islam, gerakan amal, gerakan dakwah dan gerakan pemikiran yang sungguh-sungguh. Tanpa adanya kader di atas maka gerakan Muhammadiyah selalu “godal-gadul” terus.

Demikian pula, misalnya, mendirikan Fakultas Sastra, Fakultas Filsafat, Fakultas Kebudayaan, Fakultas Sejarah, untuk menyiapkan sarjana-sarjana sejarah, bahasa, antropologi, kebudayaan, sinematografi, pariwisata, program-program studi Kesenian (musik, kriya, teater, perupa, dan lain-lain).

Fakultas seperti itu diperkirakan tidak akan laris, tetapi Muhammadiyah memerlukan-nya untuk perjuangan Muhammadiyah dalam membangun pemikiran, akhlak dan karakter manusia luhur. Jadi, tidak semua universitas harus membuka fakultas itu, tetapi satu atau dua universitas saja, sekedar untuk memenuhi kebutuhan Muhammadiyah.

Adis Setiawan
Adis Setiawan
Mahasiswa S2 Magister Manajemen Pendidikan Islam Universitas Islam An Nur Lampung. Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Bekasi Raya | Belajar Menulis
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.