Rabu, Oktober 9, 2024

Pasca Hari Santri Nasional, Menuju Tahun Politik 2019

Gerry Katon Mahendra
Gerry Katon Mahendra
Dosen Administrasi Publik Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta

Tepat pada tanggal 22 Oktober 2018 lalu, para santri dan elemen yang terkait memperingati Hari Santri Nasional. Peringatan tersebut dimaknai sebagai momentum kilas balik perjuangan, penguatan antar elemen, sekaligus persatuan para santri yang ada diseluruh penjuru bangsa.

Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri secara legal formal sejatinya baru berjalan selama kurang lebih 3 tahun, tepatnya pada tahun 2015 lalu melalui Keppres Nomor 22 Tahun 2015.

Penetapan tersebut tidak lepas dari bentuk apresiasi pemerintah kala itu terhadap perjuangan para santri yang dianggap memiliki sejarah panjang dan pengaruh yang sangat besar, terutama dalam masa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Santri dianggap menjadi bagian dari elemen penting dalam memperjuangkan dan memberikan dampak positif bagi bangsa Indonesia untuk dapat lepas dari belenggu penjajahan.

Namun, khusus pada peringatan Hari Santri Nasional tahun ini terdapat momentum “spesial” yang dapat dicermati lebih dalam, setidaknya dari sudut pandang penulis. Hal ini tidak lepas dari hajat besar yang akan digelar oleh bangsa Indonesia ditahun depan, yakni Pemilu Presiden tahun 2019.

Peringatan hari santri kali ini bertepatan dengan masa kampanye para 2 pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, yakni pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kedua pasangan calon (paslon) tersebut tentu saja tidak akan melewatkan momentum tersebut, baik kapasitasnya sebagai pemimpin negara, maupun sebagai ajang memperkenalkan diri kepada para santri jelang kontestasi pilpres 2019.

Tercatat, Jokowi menghadiri peringatan hari santri di Bandung dan Ma’ruf Amin memperingai hari santri di Bangkalan dan Tasikmalaya. Sedangkan dari kubu seberang, tercatat pasangan Prabowo-Sandi memperingati hari santri di Jombang. Dari agenda yang dijalani oleh masing-masing pasangan calon, terlihat jelas bahwa mereka menaruh harapan dan dukungan yang sangat besar terhadap para santri yang ada di berbagai Pondok Pesantren seluruh Indonesia.

Bayangkan saja, dilansir dari pusat data pbsb.ditpdpontren.kemenga.go.id pada tahun 2018 setidaknya terdapat kurang lebih 3.962.700 santri yang berasal dari 25.938 Pondok Pesantren yang ada diseluruh Indonesia. Jumlah tersebut tentu saja dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam upaya pemenangan para capres/cawapres dalam menyambut kontestasi piplres 2019.

Sebetulnya, perhatian terhadap para santri yang dilakukan oleh masing-masing capres/cawapres tidak hanya terjadi jelang peringatan Hari Santri Nasional. Jauh sebelum itupun mereka sudah terlebih dahulu masuk, untuk silaturahmi ke pondok pesantren untuk bertemu para ulama dan santrinya.

Hal ini yang kemudian menjadi perdebatan dari berbagai pihak, terutama terkait dengan dugaan eksploitasi terhadap Pondok Pesantren, khususnya terhadap pengasuh dan santri yang sering sekali dilakukan tiap jelang pemilu berlangsung. Namun, tujuan politik praktis di Pondok Pesantren memang lebih sukar untuk dibendung karena pada umumnya para paslon yang hadir “mengemas” kegiatan politik praktisnya dengan bentuk silaturahmi saja.

Hal ini yang kemudian sering menjadi pertanyaan, apakah memang tujuannya murni melakukan silaturahmi atau adakah motivasi lain yang menyertainya? Hal tersebut memang sukar dibuktikan, karena memang publik tidak benar-benar bisa membuktikan niatan masing-masing paslon terkait kehadirannya di Pondok Pesantren.

Kesukaran pembuktian tersebut masih ditambah dengan terbukanya para pengasuh Pondok Pesantren terhadap paslon yang berkunjung dan bersilaturahmi, sebagaimana dalam Islam silaturahmi sangat dianjurkan untuk diterapkan oleh sesama muslim.

Keterbukaan para pengasuh pondok pesantren memang tidak terlepas dari beberapa hal yang terkait dengan sejarah, dimana memang Pondok Pesantren pada umumnya sudah terbiasa menerima kunjungan berbagai tokoh-tokoh penting Negara. Kemudian, Hal lain yang tidak terbantahkan adalah peran dan pengaruh besar pengasuh Pondok Pesantren, baik bagi masing-masing paslon maupun bagi santri.

Kharisma pengasuh Pondok Pesantren dinilai memiliki pengaruh yang sangat besar sehingga menaikkan nilai tawar Pondok Pesantren dihadapan paslon. Nilai tawar yang dimaksud adalah apa yang menjadi pilihan para pengasuh, pada umumnya akan dipatuhi oleh para santrinya.

Tentu saja para paslon berharap kharisma dan pengaruh para pengasuh pondok pesantren tersebut dapat memberikan manfaat nyata dalam bentuk dukungan suara saat pelaksanaan kontestasi pilpres tahun 2019. Berkaca dari penjelasan tersebut, hendaknya publik harus bisa membaca bagaimana pola yang terjadi selama ini.

Secara umum seringkali Pondok Pesantren beserta santrinya sangat diperhatikan hanya tiap jelang pemilu demi meraup dukungan suara yang maksimal dan terkesan diacuhkan pasca pemilu berlangsung. Pondok pesantren sudah seharusnya lebih berkonsentrasi terhadap bidang pendidikan keagamaan, sebagaimana halnya sekolah umum yang menjalankan kegiatan pendidikan secara umum.

Hal ini berarti bahwa Pondok Pesantren dan santrinya secara konsep politis disamakan aturannya seperti sekolah umum dan muridnya yang tidak boleh disusupi kepentingan kampanye dan politik praktis, namun tidak tertutup terhadap pendidikan politik yang general dan mencerdaskan. Karena sejatinya kedua lembaga tersebut (sekolah umum dan pondok pesantren) memiliki tujuan sama, yakni fokus pada pendidikan dan dakwah ilmu pengetahuan, yang membedakan adalah Pondok Pesantren menanamkan nilai-nilai Islam secara lebih mendalam.

Alih-alih menjadi objek politik praktis yang melibatkan kelompok dan golongan tertentu, alangkah arif dan bijaksananya bila para santri tersebut mendapatkan pendidikan politik yang general dari pihak yang tidak berkepentingan secara langsung terhadap kedua paslon tersebut.

Secara operasional hal tersebut paling tepat dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang mewadahi seluruh elemen masyarakat dalam persiapan pemilu 2019 maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya yang tidak berafiliasi terhadap salahsatu paslon tertentu.

Dengan konten yang berbobot dan menitikberatkan pada pendidikan politik yang bermuara pada kecerdasan berpolitik, saya meyakini program ini dapat menjadi bagian dari solusi dalam rangka menciptakan pemilu yang berkualitas. Apabila upaya tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, niscaya para santri yang notabene merupakan swing voters (pemilih mengambang) dapat lebih tercerahkan dan lebih selektif dalam menentukan pilihan terbaiknya dipilpres 2019.

Gerry Katon Mahendra
Gerry Katon Mahendra
Dosen Administrasi Publik Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.