Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang disebabkan genetik ataupun kecelakaan memiliki keterbatasan dalam hal fisik, intelektual, mental dan sensorik. Dalam berinteraksi dengan lingkungan, penyandang disabilitas dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh berdasarkan kesamaan hak.
Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Indonesia yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 6.008.661 orang.
Dari jumlah tersebut sekitar 1.780.200 orang adalah penyandang disabilitas netra, 472.855 orang penyandang disabilitas rungu wicara, 402.817 orang penyandang disabilitas grahita atau intelektual, 616.387 orang penyandang disabilitas tubuh, 170.120 orang penyandang disabilitas yang sulit mengurus diri sendiri, dan sekitar 2.401.592 orang mengalami disabilitas ganda.
Dan dari survei tersebut, hanya 5% penyandang disabilitas yang bisa tamat pendidikan Sekolah Dasar (SD). Hal tersebut menunjukkan bagaimana ketimpangan hak-hak penyandang disabilitas masih terjadi karena infrastruktur yang belum sepenuhnya ramah terhadap penyandang disabilitas dan membatasi perkembangan diri penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas sering diasosiasikan sebagai masyarakat yang tidak produktif. Stereotype tersebut mengakar bukan tanpa sebab. Karena, belum ada upaya massive dari pemerintah untuk dapat memberikan hak-hak yang sama kepada penyandang disabilitas agar dapat mengembangkan dirinya seperti masyarakat lainnya.
Selain itu, akses terhadap barang publik yang belum mendukung, Infrastruktur untuk memberikan akses fisik yang sama dan lebih layak juga masih terbatas, bahkan masih terdapat beberapa aspek kehidupan terkait suprastruktur di masyarakat yang membatasi perkembangan penyandang disabilitas.
Keterbatasan tersebut membuat gap terkait kesempatan penyandang disabilitas untuk bisa sejajar dengan masyarakat lain dalam hal sosial ekonomi. Padahal, seharusnya terdapat perlakuan khusus yang memberikan mereka ruang untuk berkembang agar dapat mandiri secara finansial dan mampu menyamakan standar kehidupan seperti hak-hak masyarakat lainnya.
Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas seringkali terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Seperti terbatasnya akses pendidikan untuk penyandang disabilitas yang menyebabkan banyak penyandang disabilitas tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Selain itu, di jenjang perguruan tinggi, masih banyak kendala yang dihadapi penyandang disabilitas terkait media belajar yang minim, terbatasnya universitas yang ramah terhadap disable, terbatasnya literatur dan sering kali menyebabkan mereka sulit untuk bisa bersaing atau setara secara akademik dan softskills karena infrasturktur pendidikan yang masih belum sesuai kebutuhan mereka.
Permasalahan tidak hanya sampai disitu, saat mereka behasil lulus dari jenjang pendidikan tinggi, saat akan mulai mencari pekerjaan, akan sulit bagi mereka untuk terserap dalam pasar tenaga kerja. Karena belum banyak perusahaan maupun institusi pemerintah yang menerima penyandang disabilitas untuk dipekerjakan di perusahaannya.
Selain itu peningkatan kapabilitas bagi penyandang disabilitas belum terstandardisasi, padahal bagi masyarakat lain mudah untuk mendapatkan sertifikasi dari balai latihan kerja. Hal tersebut menyebabkan penyandang disabilitas belum memiliki hak yang sama di dalam pasar tenaga kerja dan menyebabkan penyandang disabilitas sulit untuk keluar dari poverty trap dan dapat mandiri secara finansial, dan apabila tidak ada upaya nyata, maka permasalahan minimnya angka partisipasi penyandang disabilitas pada kegiatan ekonomi formal maupun informal akan terus terjadi.
Para penyandang disabilitas seharusnya memiliki hak- hak dan kesempatan yang sama seperti yang lainnya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Waktu telah membuktikan bahwa mereka dapat menjadi wirausaha dan karyawan yang sangat produktif. Mereka dapat memberikan kontribusi yang berharga bagi perusahaan dan ekonomi jika tidak ada halangan mendapatkan pekerjaan dan kesempatan terbuka bagi mereka.
Di banyak negara berkembang, masih terdapat banyak hambatan dari berbagai dimensi seperti sikap, peraturan dan komunikasi yang menjadi tantangan dalam mewujudkan kesempatan kerja yang layak bagi para penyandang disabilitas.
Walaupun begitu, dengan dirati kasinya Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas oleh pemerintah Indonesia di tahun 2011, berbagai elemen masyarakat mulai menyadari pentingnya untuk mengikutsertakan penyandang disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat dan berusaha mengatasi tantangan- tantangan ini melalui beberapa cara.
Sudah jelas bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan. Hak atas pekerjaan terkandung dalam deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan diakui sebagai hak yang utama dalam hukum HAM internasional dan juga terkandung dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dimana hak atas pekerjaan menekankan pengembangan ekonomi, sosial, dan budaya.
Indonesia telah meratifikasi ICESCR sejak tahun 2005 Pasal 6 konvensi tersebut secara jelas menyatakan bahwa hak atas pekerjaan merupakan hak asasi manusia. Indonesia sebagai negara anggota ICESCR memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi semua hak dalam ICESCR tanpa diskriminasi. Pada isu penyandang disabilitas, terdapat beberapa undang-undang dan peraturan yang mengatur tentang kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998, pengusaha/pemberi kerja wajib mempekerjakan 1 orang penyandang disabilitas untuk setiap 100 pekerja yang dipekerjakannya. Ini berarti terdapat kuota 1% (minimal) bagi penyandang disabilitas untuk mengakses tempat kerja dan hak ekonominya.
Dalam bidang pengentasan kemiskinan dan peningkatan perlindungan jaminan sosial penyandang disabilitas, telah dilakukan program pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial dalam bentuk Jaminan Sosial bagi Penyandang Disabilitas yang memiliki derajat kecacatan tinggi. Namun hal tersebut hanya menjadi solusi jangka pendek yang tidak dapat menyelesaikan permasalahan terkait kesejahteraan penyandang disabilitas.
Untuk memberdayakan mereka, perlu upaya untuk memperbaiki sistem yang ada, agar penyandang disabilitas dapat mandiri dan mampu bersaing dalam pasar tenaga kerja. Sehingga upaya perwujudan hak penyandang disabilitas haruslah merupakan upaya bersama multi sektoral kementerian dan multi profesional di tingkat pusat dan derah yang dilakukan secara terintegrasi dan sistematis, termasuk dalam mekanisme monitoring dan evaluasinya di pasar tenaga kerja melalui platform digital yang dikembangkan.