Nahdlatul Ulama (NU) sejak berdirinya pada 16 Rajab 1344 Hijriah atau 31 Januari 1926 Masehi, berkomitmen untuk memperjuangkan politik kebangsaan. Hal ini didasarkan pada pandangan hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari bahwa agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan, nasionalisme adalah bagian dari agama, dan keduanya saling menguatkan.
Begitupun gubahan lagu ya ahlal wathon/subbanul wathon karya KH. Wahab Hasbullah yang diantara isi syairnya yaitu hubbul wathon minal iman dimana artinya mencintai tanah air adalah sebagian dari iman. Dahulu kala lagu ini selalu dinyanyikan oleh para santri sebelum proses belajar-mengajar dimulai untuk menanamkan nasionalisme.
Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikeluarkan oleh Rais Akbar PB NU yang menyerukan bahwa berperang dan melawan penjajah adalah fardhu ‘ain bagi seluruh kaum muslimin, menjadi bukti mutlak bersenyawanya keagamaan dan kebangsaan dalam tubuh organisasi Nahdhalatul Ulama.
Sejatinya, seruan Resolusi Jihad tersebut masih relevan hingga zaman kini. Kebodohan, kemiskinan, ketimpangan korupsi dan kezaliman adalah diantara bentuk penjajahan baru yang berpotensi besar untuk melemahkan agama, nusa dan bangsa.
Politik Tingkat Tinggi
Gus Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PB NU saat ini, menyatakan bahwa hasil survei tahun 2022 terdapat 59,2 persen dari seluruh penduduk muslim Indonesia mengaku NU. Kalau umat Islam diperkirakan 250 sampai 260 juta, maka hampir 150 juta adalah nahdliyin (warga NU). Dengan jumlah luar biasa ini, kaum nahdliyin bisa menjadi kekuatan besar dalam proses berbangsa dan bernegara seperti Pemilu yang akan dijelang.
Peran politik NU ditegaskan oleh KH. Sahal Mahfudh ( Rais Aam PB NU 1999-2014) sebagai politik kebangsaan, politik kerakyatan dan politik beretika. Praktik politik tingkat tinggi ( siyasah ‘aliyah samiyah) ini demi menjaga khittah NU 1926 yang menjadi kesepakatan Muktamar ke -27 di Situbondo tahun 1984.
Hal-hal yang diperjuangkan dalam politik tingkat tinggi adalah keadilan, kemaslahatan, kejujuran, penegakan hukum, toleransi, persatuan dan kesatuan. Meskipun banyak kaum nahdliyin yang secara personal bergerak dalam politik elektoral (siyasah safilah), semangatnya adalah tetap untuk kemaslahatan masyarakat dan kemajuan bangsa.
Relasi seimbang antara negara dan agama, serta masyarakat sipil dan pemerintah memosisikan NU secara organisasi netral dalam politik praktis. Walaupun begitu, tercatat beberapa kali lahir ijtihad partai politik dari rahim atau terkait dengan NU.
Tercatat dalam lanskap sejarah, NU pernah bergabung dalam MIAI, Masyumi hingga kemudian mendirikan Partai NU tersendiri ketika masa orde lama. Kemudian di masa orde baru hingga fusi kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dan terakhir untuk memenuhi aspirasi warga nahdliyin di era reformasi dibentuklah Tim Lima yang menjadi embrio dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Namun demikian, seperti tertuang dalam rekomendasi muktamar Kediri ke 30 tahun 1999 bahwa meminta seluruh pengurus NU di semua tingkatan tetap menempatkan NU sebagai organisasi sosial keagamaan, bukan partai politik. NU tetap kritis terhadap partai apapun dan mengontrol partai yang menjadi penyalur aspirasi warganya.
Partisipasi Pemilu
Bahwa demokrasi merupakan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Manifestasinya melalui pemilu secara periodik dengan memilih pemimpin dan perwakilan di daerah dan nasional. Pemilu menjadi sarana evaluasi dan sirkulasi kepemimpinan setiap lima tahun sekali. Dan tentunya menjadi momentum yang menentukan bagi arah bangsa ke depan
Pemilu yang damai, berkualitas, bermartabat dan berintegritas seringkali disebut untuk mendefiniskan pemilu yang sesuai dengan daulat rakyat. Regulasi, penyelenggara, peserta dan pemilih pemilu merupakan elemen utama untuk mencapai keadilan dalam pemilu.
Pemimpin adil lahir dari masyarakat yang beradab. Kaum Nahdliyin bisa menjadi kekuatan yang besar dengan menjadi entitas berkeadaban melalui peningkatan literasi, kesukarelawanan, mobilitas, kolaborasi dan partisipasi.
Partisipasi pemilu seyogyanya bukan hanya melakukan pencoblosan di hari pungut dan hitung, tetapi juga melakukan pemantauan dan pencerdasan di setiap proses dan tahapan pemilu. Ini menjadi bukti kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi juga menjadi legitimasi bagi hasil pemilu sehingga bisa diterima semua pihak.
Penyelenggaraan pemilu yang adil dan ditopang oleh masyarakat yang beradab seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan untuk menentukan keterpilihan pemimpin sejati. Pemimpin yang menjalankan politik kebangsaan, politik kerakyatan serta politik beretika. Dan kaum nahdliyin sangat bisa berperan penting di kedua sisi tersebut.
Dengan jumlah kaum nahdliyin yang demikian besar baik secara kuantitas dan kualitas, dikuatkan dengan tradisi patuh pada kiyai yang kuat, bilamana diarahkan pada tujuan masalahat masyarakat, tentu akan berdampak signifikan bagi kemajuan bangsa dan kedigdayaan peradaban yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.