Jumat, Maret 29, 2024

Partai Politik “Gagal”

Indonesia negara kita yang tecinta baru saja usai menjalankan sebuah agenda sakral kebangsaan yakni Pemilihan Umum (Pemilu) serentak. Sebagaimana yang pembaca sekalian ketahui bahwa Pemilu kali ini merupakan kontestasi yang paling berat dan beresiko bagi penyelenggaranya.

Tercatat sekitar 554 nyawa harus meregang ajal diujung perhelatan demokrasi, serta beberapa diantaranya menyusul ke Liang Lahat ketika prahara demonstrasi yang membunuh sifat kemanusiaan dan melunturkan nilai persaudaraan sebangsa dan setanah air terjadi.

Adalah ketika beberapa titik di Ibukota di banjiri oleh barikade massa aksi yang merasa tidak puas dengan perhelatan pemilihan wakil rakyat. Pengumuman Hasil Pemilu yang di adakan sebelum tanggal 22 dengan berbagai pembelaan serta ada pasangan calon tertentu yang beranggapan bahwa cukup banyak kekeliruan yang hadir pada C1 Plano Pilpres.

Padahal sebagai negara yang secara usia sudah terhitung bukan negara Ingusan masih belum sempat mencegah hal-hal krusial dalam menjalankan pilar demokrasi sebagaimana yang teramanahkan dalam falsafah negara kita.

“Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan pereakilan” merupakan amanah sakral yang wajib dijalankan. Melalui Pemilu yang pada wacananya menjunjung tinggi nilai Jujur (Kejujuran), Adil (Keadilan), Langsung (Digelar secara langsung), Umum (Dipilih oleh seluruh masyarakat), Bebas (Masyarakat tidak dipaksakan untuk memilih orang tertentu) dan Rahasia (Sifatnya Rahasia) atau dalam Istilahnya JURDIL LUBER, Indonesia melakukan pemilihak kaum bijaksana sebagai pemimpin yang akan membantu membawa masyarakat menuju ke titik kesejahteraan.

Lantas, apakah proses ini sudah seperti yang diharapkan? Tentu saja belum. Lantas jika belum, lalu apa saja yang harus di benahi? Ada beberapa Golongan yang wajib di evaluasi demi mencapai kedamaian dalam kontestasi pemilu mendatang.

Partai Politik

Partai Politik merupakan jembatan penghubung antara masyarakat dan dunia pemerintahan. Kenapa demikian? Karena Partai politik merupakan salahsatu komponen penting serta pilar yang harusnya kokoh di negara Demokrasi. Keberpihakannya harus pada rakyat tanpa mengedepankan ego sektoral belaka.

Dalam UU No. 2 tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik sudah cukup gamblang menjelaskan serta menegaskan segala hal terkait keberadaan partai politik termasuk pada Tujuan dan fungsi  partai Politik di Indonesia.

Dalam undang-undang diatas, salah satu tujuan adanya Partai Politik  di Indonesia adalah sebagai Pilar Demokrasi yang Fungsinya adalah memberikan edukasi – edukasi politik kepada masyarakat yang berasaskan pada Pancasila dan UUD 1945.

Berbicara tentang Pilar Demokrasi dan sebagai wadah edukasi politik yang pancasilais, tentu seluruh partai politik di negara kita secara administrasi telah memenuhi, namun yang sangat di sayangkan adalah proses implementasi yang sangat jauh bergeser dari nilai – nilai yang mesti di edukasikan kepada masyarakat.

Partai politik secara jumlah semakin bertambah setiap periode dengan mesin-mesin intelektual yang begitu cerdik namun kehilangan esensi. Seperti nahkoda tanpa kompas regulasi digulir bak bahan lelangan yang bisa ditawar dengan harga yang fariatif.

Jika coba kita amati bersama, peran edukasi (Sosial dan Kemanusiaan) tidak lagi bersumber pada partai politik bahkan apolitis semakin menjadi – jadi ulah dari para oknum yang salah sikap dalam bermanufer di partai politik. Ketika sengketa – sengketa politik menggaung pada penyiaran media massa disitu ranting – demi ranting dahan tumpuan harapan masyarakat terpatahkan.

Lantas ini salah siapa?

Pertanyaannya adalah jika partai politik kian kehilangan esensi sebagai wadah pemersatu dan mesin pembangunan, maka siapa yang berani menegurnya?

Jangan nyinyir, ini pertanyaan yang kehilangan jawaban karna nepotisme golongan mampu melahirkan produk hukum dalam menjastifikasi setiap kepincangan yang ada. Ketika gerakan mahasiswa di gembosi dengan regulasi yang dirancang oleh mantan aktivis. Ketika komunitas, komunitas mahasiswa di giring untuk menyatakan sikap politik secara terang-terangan di depan publik.

Hanya kekuatan rakyat yang mampu mengembalikan detak nadi partai politik untuk rakyat itu muncul. Karena tumbal dari kerancuan Demokrasi yang dimainkan oleh koloni – koloni kecil ini sudah cukup menimbulkan kerisauan.

Sampai di sini kita sama-sama bimbang bahwa masyarakat kini berangsur sadar akan dialektika politik telah dikondisikan dengan produk sembako-sembako politik hingga pada penjara-penjara demokrasi di negeri ini semakin kokoh diatas mimbar orasi kebangsaan. Semi Otoriterianisme atau Demokrasi yang semu kini menyelimuti titik nadi bangsa yang lupa sejarah.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.