Jumat, April 26, 2024

Partai Cyber dan Fenomena Berpolitik

Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq
Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat politik hukum

Penggunaan internet yang dimulai sejak era 1990-an menandakan berakhirnya mobilisasi tradisional. Seluruh perangkat keras tak lagi memberikan efek dominan terhadap perubahan cara pandang politik. Namun metode ini masih dipertahankan sebagai objek strategi branding partai politik dan kandidatnya berbasis internet.

Perbedaan apa yang ditimbulkan dari meningkatnya penggunaan internet bagi partai politik? Situasi ini menjadi tren tersendiri untuk menciptakan forum ideal kegiatan politik. Apalagi, Indonesia sedang menjalani era 4.0. Era ini ditandai dengan munculnya revolusi industri ke-4 yang dimulai dengan revolusi internet.

Era 4.0 menjadi tantangan tersendiri bagi partai politik mengingat data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, pengguna internet di Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa atau 54,68 persen dari total populasi 262 juta orang.

Belum lagi laporan We Are Social pada Januari 2020 menyebutkan sebanyak 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Jika dihitung bedasarkan total populasi Indonesia yang berjumlah 272,1 juta jiwa, itu artinya 64 persen setengah penduduk Indonesia telah tersamnung dengan akses internet.

Situasi ini semakin menantang manakala interaksi sosial berlangsung secara online. Ada tekanan bagi partai politik untuk ikut berinteraksi dengan rakyatnya di dunia Maya. Sasarannya adalah para kelompok kepentingan, gerakan sosial, aktivis dan kaum muda yang sangat inovatif membangun jaringan sosial berbasis internet. Seiring inovasi itu berkembang pesat, partai politik dituntut untuk lebih cepat beradaptasi, konservatif dan imajinatif dalam desain. Jika tidak, partai politik akan ketinggalan, bisa juga disebut terbelakang.

Menarik dari era serba terbuka ini, partai politik pelan-pelan merekrut e-aktivis untuk terlibat dalam aktivitas politik. Cara ini bisa menjadi strategi politik, apalagi Indonesia sedang bersiap-siap menggelar  Pilkada serentak 2020. Sebab, kehadiran internet memberikan mereka kesempatan menciptakan forum untuk memperebutkan modalitas pada pijakan yang lebih mapan.

Banyak fakta membuktikan komunikasi berbasis internet melahirkan komunikasi efektif. Meskipun praktis masih berlangsung secara personal, apabila dibarengi Gerakan sosial, tentu tidak memberikan efek yang main-main.

Lihat saja para politisi dan pejabat negara menggunakan flatform media sosial untuk menyebarkan gagasan dan aktivitas kesehariannya. Kemudian disusul partai politik membuat website sebagai sarana promosi profil, gagasan serta kandidatnya.

Belajar dari pemilu di Eropa, ternyata situs web memberikan dampak terhadap penguatan pluralisme komunikatif dengan memperluas informasi tentang partai-partai. Pemilu tahun 2000 di London misalnya,  keunggulan Ken Livingstone yang menang sebagai calon independen dipengaruhi keunggulan website daripada lawan-lawannya. Menarik dari kemenangannya itu, metode partisipasi tradisional dibuat lebih mudah oleh jaringan internet.

Selain itu, kekuatan Twitter mampu membawa Donal Trump pada kursi nomor 1 di Amerika pada 2017 lalu. Kegemaran Donal Trump pada dunia twitter berlanjut. Di mana artiker New York Times terbitan 2  November 2019, mengulas bagaimana Twitter menjadi alat politik Trump dengan melahirkan sekitar 11.000 kicauan selama menjabat Presiden.

Di Indonesia, pada Pilpres 2019 perang dunia maya terjadi sangat sengit. Calon Presiden Joko Widodo dan Calon Presiden Prabowo Subianto sama-sama menggunakan jejaring internet sebagai sarana berkampanye. Ketika Calon Presiden Prabowo Subianto diidentikkan oleh lawan politiknya sebagai pemimpin otoriter, para relawan Prabowo-Sandi Digital Team menampilkan pidato yang penuh canda tawa.

Sama halnya juga dilakukan tim media sosial saat informasi penolakan publik disejumlah daerah terhadap calon Wakil Presiden Sandiaga Uno. Untuk menjawab informasi, mereka menampilkan Sandi yang murah senyum dan ringan tangan menyalami mereka yang menolak. Dari aspek kampanye, mereka banyak mengusung isu ekonomi tanpa menggunakan isu SARA.

Kemudian pada tim media sosial Joko Widodo, banyak menerima tudingan fitnah anti-islam, isu komunis dan kriminalisasi ulama. Serangan dunia maya itu justru dijawab langsung Joko Widodo dengan turun langsung ke daerah-daerah.

Kaum Milenial Semestinya Bagaimana?

Jumlah pemilih milenial pada Pemilu 2019 sangat dominan. Proyeksi data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pemilih milenial sekitar 45 persen dari total pemilih nasional. Merujuk pada pendapat Elwood Carlson dalam The Lucky Few: Between the Greatest Generation and the Baby Boom (2008), generasi milenial adalah mereka yang lahir dalam rentang tahun 1983–2001.

Itu artinya, dari usia 16 sampai 64 tahun pengguna internet di Indonesia, ada kaum milenial turut meningkatkan jumlah pengguna internet. Laporan itu juga diperkuat data Asosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia (APJIII) 2019, usia 15-19 tahun memiliki penetrasi paling tinggi mencapai 91 persen.

Sementara usia 20-24 tahun memberikan penetari 88,5 persen. Disusul kelompok usia 25-29 tahun dengan penetrasi 82,7 persen, kelompok umur 30-34 tahun dengan penetrasi 76,5 persen dan kelompok umur 35-39 tahun dengan penetrasi 68,5 persen.

Lebih jauh lagi, partisipasi kaum milenial yang mengakses berita politik melalui media sosial, berdasarkan hasil Surveri Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2019 menunjukkan 60,6 persen telah mengakses berita politik melalui jaringan media sosial.

Dari persentase itu, sebanyak 36 persen mengakses berita politik melalui internet, namun jarang. Kemudian 22,3 persen sering mengakses berita politik dan siswanya 2,3 persen sangat sering. Bila dilihat dari aktivitas diskusi, 16,8 persen sering berdiskusi mengenai politik melalui media sosial ataupun secara langsung.

Persentase itu lebih tinggi dibanding pemilih usia di atas 24 tahun hanya 15,1 persen yang sering berdiskusi politik. Bahkan 7,6 persen pemilih muda sering menyampaikan keluhan kepada pemerintah melalui media sosial. Angka tersebut juga lebih tinggi ketimbang pemilih usia di atas 24 tahun yang hanya 6,8 persen. Sementara 53,8 persen pemilih muda merasa pemerintah perlu mendengarkan aspirasi mereka. Angka ini pun lebih tinggi dibanding pemilih di atas usia 24 tahun yang sebesar 41,9 persen.

Seluruh hasil penelitian itu, bisa ditarik kesimpulan bahwa mereka memiliki pandangan optimis tentang Indonesia yang lebih baik. Intekrasi dan aktivitas diskusi politik kaum milenial banyak terjadi di media sosial, seperti whatsapp dan facebook. Urgensi pemilih milenial bukan berarti harus dilibatkan dalam ruang politik praktis.

Alasannya arena politik partai hanya diikuti orang-orang yang sudah melalui fase kaderisasi. Bayangkan jika mereka terjun ke arena tanpa kematangan dari sisi manapun, alih-alih dapat mendulang suara, justru elektabilitas terjun bebas. Kematangan intelektual dan mental berpolitik mesti menjadi syarat jika mereka ingin dilibatkan.

Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq
Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat politik hukum
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.