Sabtu, April 20, 2024

Parasite; Umur Panjang Pertentangan Kelas

Toilet dengan posisi tak lazim, sedikit lebih tinggi dari tempat duduk keluarga Kim Ki-taek, seperti menjadi bahasa simbol yang kuat untuk menceritakan kemiskinan keluarga tersebut. Bekas sopir yang menjadi pengangguran, hidup bersama istrinya Choong Sook, beserta kedua anaknya Ki-woo dan Ki-jeong.

Rumah semi basement, yang saat duduk di dalamnya, paparan pemandangan tetangga yang mabuk sambil kencing bisa terlihat dengan jelas. Wifi gratis bocoran dari tetangga yang menjadi andalan untuk berkomunikasi, dan kaca jendela yang sengaja dibuka saat ada fogging, alasan yang sama supaya tidak keluar biaya.

Melipat bungkus pizza yang dikerjakan gotong royong satu keluarga, sekadar mencukupi kebutuhan lain hidup mereka yang tidak bisa gratis.

Parasite, adalah film Korea Selatan garapan Bong Joon Ho yang pertama kali mendapatkan penghargaan Palme d’Or di Festival Film Cannes 2019. Tahun sebelumnya, masih sama dari Asia yang berhasil menyabet penghargaan ini lewat Shoplifters, garapan Hirokazu Koreeda.

Dua-duanya seperti serupa, mengangkat isu kemiskinan dan kesenjangan sosial sebagai menu utamanya, dengan humor dan tragedi yang melingkupinya. Jika sebelumnya, Shoplifters seperti menjadi pertanyaan menohok tentang konsep keluarga yang mapan. Mereka seperti memilih keluarganya sendiri sekalipun umplek-umplekan di dalam petak kecil, dibanding menyatu dengan keluarga kandungnya. Sementara Parasite, juga berangkat dari cerita sebuah keluarga dengan awalan humor ironis dan diakhiri dengan hal yang tragis.

Saya tidak tahu, apakah mungkin salah satu ramuan memenangkan ajang bergengsi dalam hajat film Internasional salah satunya adalah unsur kemiskinan? Yang pasti, dua film terakhir, dan dua tahun berturut-turut pula Festival Film Cannes seperti sedang mengamini bahwa sejarah manusia, adalah juga sejarah tentang pertentangan kelas.

Parasite, tidak seperti keluarga Cemara yang dalam kemiskinan lantas bertawakal kepada Tuhan sambil nyambi jualan opak, dan seiring rajinnya berdoa, berharap kelak nasib akan berubah. Dalam kemiskinan, Ki-woo, sebagai anak pertama mendapatkan tawaran dari temannya menjadi guru les bahasa Inggris untuk anak SMA keluarga kaya. Tawaran, yang awalnya rikuh dia terima, dengan rekomendasi dari teman tersebut sekaligus ijazah palsu dari universitas ternama hasil photoshop adiknya, Ki-jeong. Ki-woo lantas menyanggupinya.

Selanjutnya, dengan keyakinan dan sedikit nekat dia memasuki rumah mewah calon kliennya. Lagi-lagi, Bong Joon Ho seperti mahir memainkan ironi baik secara visual maupun secara narasi cerita film. Yang membekas dalam adegan ini, tentu saat Ki-woo dipersilakan memasuki pelataran sembari berbasa-basi;

“halamannya bagus ya”

Dijawab enteng oleh Moon-gwang, asisten rumah tangga keluarga tersebut;

“Di dalamnya juga bagus,”

Sambil celingak-celinguk dan dengan bahasa tubuh kikuk, Ki-woo masuk rumah dan tidak lama diterima Yeon-kyo, istri dari tuan rumah, Mr. Park.

Yeon-kyo, digambarkan sebagai istri yang polos, dari situ pula pintu masuk kejadian-kejadian selanjutnya bermula. Setelah lolos diterima sebagai guru les Da-hye, anak perempuan pasangan Mr Park dan Yeon-kyo, Ki-woo (yang kemudian mengganti namanya menjadi Kevin) diantar keluar rumah sembari berbincang tentang anak kedua dari keluarga kaya itu. Anak laki-laki bernama Da-song, yang digambarkan eksentrik, tergila-gila dengan Indian, dan susah diatur.

Entah pikiran dari mana saat tiba-tiba Ki-woo terpikir merekomendasikan adiknya untuk memberi les pelajaran seni. Dengan dalih, bahwa calon gurunya nanti adalah lulusan universitas ternama, bernama Jesica. Mempunyai pengalaman mendampingi anak dengan bakat seni yang terasah. Berbekal hanya “googling”, Jesica (nama samaran Ki-jeong) terceritakan berhasil pula mengelabui Yeon-kyo.

Saat kakak-beradik tersebut berhasil menjadi guru les di keluarga Mr.Park, mereka merayakan makan-makan satu keluarga di sebuah kantin dengan pengunjung yang banyaknya adalah para sopir. Tanpa disangka pula, ternyata Jesica juga sudah punya rencana untuk memasukkan ayahnya sebagai sopir pribadi Mr.Park, yang tentu mendepak sopir lamanya.

Saat misi berhasil, tinggal ibu mereka yang juga dimasukkan sebagai asisten rumah tangga menggantikan yang terdahulu, tentu lagi-lagi dengan menipu Yeon-kyo, si istri Mr.Park yang polos.

Hingga saat satu malam, satu keluarga kere tersebut merayakan keberhasilannya di ruang tamu mewah, saat Mr.Park dan keluarganya pergi berkemah. Mabuk-mabukan, dan menertawakan nasib mereka bukan pengangguran lagi. Bercanda, seolah-seolah jika rumah itu milik mereka, kamar mana yang akan dipilih, Ki-woo yang berimajinasi menikahi Da-hye, dan celoteh-celoteh lain tentang uang dan kekayaan yang bisa menjadikan mereka bahagia tanpa kerutan, ataupun juga dengan uang pula bahkan bisa menjadi “orang baik”.

Sampai pada adegan tersebut, Parasite terdiri dari fragmen-fragmen kemiskinan di Korea Selatan yang diwakili oleh keluarga Kim Ki-taek. Dengan nuansa humor yang di sisi lain juga sekaligus diajak melihat cara mereka bertahan hidup, walaupun caranya harus menipu sekaligus mendepak sopir dan asisten rumah tangga yang lama.

Bagian ini juga sengaja dipotret dalam obrolan mereka, saat tiba-tiba sang ayah bertanya, apakah sopir terdahulu akan baik-baik saja. Dan kemudian dihibur Ki-woo, bahwa sopir lama keluarga tersebut masih muda sekaligus berbadan bagus yang kemungkinan besar juga bisa mendapatkan pekerjaan pengganti. Respon yang berbeda dari Ki-jeong, dengan marah dan kondisi berlebih minuman alkohol dia membentak, bahwa justru keluarga merekalah yang pantasnya dikasihani.

Lantas, bel pintu pagar berbunyi.

Suasana berubah, dan pesta tidak lama lagi usai. Setelah diketahui yang datang adalah Moon-gwang, mantan asisten rumah tangga terdahulu yang meminta untuk dibukakan pintu, beralasan ada barangnya yang tertinggal.

Moon-gwang dipersilakan masuk, dan ternyata dia memasuki bunker, bagian lain dari rumah mewah yang membuat cerita Parasite berubah. Sampai adegan berakhir, adegan kekerasan demi kekerasan menjadi sajian berikutnya.

Komedi dan tragedi menjadi dua menu dalam Parasite, di mana menu lain tentang ketimpangan sosial adalah hidangan yang juga harus disantap. Awalnya kita seperti diajak tertawa melihat manusia-manusia kere, berada di bawah jenjang sosial dan bertahan hidup dengan segenap cara. Lantas, realitanya juga ditampilkan bahwa mereka bukanlah keluarga satu-satunya yang mengalaminya. Adegan banjir dan mengungsi dalam satu gedung olahraga setidaknya menjadi alasannya.

Jurang dalam kelas sosial yang begitu membusuk, dan hanya membusuk, yang belum diketahui apakan akan bisa runtuh atau tidak. Sehingga, alih-alih mereka berpikir meruntuhkannya, sikut-sikutan untuk mencapai rantai piramida teratas akan dijalani, apapun konswekensinya. Termasuk, jika harus menjadi parasit.

Parasit, dengan sifat mendomplengnya tergambarkan dilakukan oleh keluarga Kim Ki-taek dan keluarga Moon-gwang. Mereka mungkin sadar, mustahil akan berada di posisi Mr.Park ataupun istrinya. Tapi setidaknya dengan menjadi parasit keluarga Mr.Park, Kim Ki-Taek dan keluarganya tidak akan menjadi pengangguran dengan uang seadanya dari melipat bungkus pizza, sementara Moon-gwang juga akan tetap bisa mengurus suaminya yang sekian tahun bersembunyi dari kejaran penagih utang.

Parasite, sebagai film tidak hanya berhenti dalam menampilkan ketimpangan tadi, ataupun hanya sebagai sesuatu hal yang mentok menjadi teori sosial yang kelewat usang. Parasite, sekaligus juga menampilkan solidaritas kelas yang mungkin sumir. Setidaknya simbol tadi bisa digambarkan saat Kim Ki-taek, tanpa diduga menghunus pisau dan menghujamkannya, dengan latar halaman rumah yang sebelumnya puitis saat diguyur hujan, sekaligus dramatis saat halaman yang sama bersimbah darah.

Parasite, seperti memberikan gambaran roda kehidupan yang berputar. Tapi berputar hanya untuk mereka yang kere. Pilihannya menjadi kere, atau menjadi sangat kere. Posisi Mr.Park, seperti nyaris tidak akan tergantikan oleh manusia-manusia paria dari dua keluarga yang berseteru tadi.

Parasite, menjadi film yang nyaris sempurna (setidaknya jika rekomendasi Joko Anwar memberikan rating 10/10), saat ketimpangan sosial, berebut mengais sisa-sisa remah si kaya, sekaligus solidaritas kelas bisa tergambarkan nyaris bersamaan.

Pada akhirnya, saat revolusi sosial yang sepertinya nyaris kadaluarsa, (entah karena sejarah tentang berulang gagalnya membangun tatanan tanpa eksploitasi manusia atas manusia lain atau semakin mahirnya kapitalisme yang selalu urung menggali liang kuburnya sendiri) Ki-woo di akhir film, diceritakan bisa membeli rumah mewah tersebut, dan keluarga Kim Ki-taek yang tersisa lantas bisa berkumpul kembali.

Menikmati halaman yang hijau, dengan hangat sinar matahari pagi, yang tentu didapatkan dari kerja keras, oh maaf, berkhayal maksudnya.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.