Senin, November 17, 2025

Paradoks Upah Minimum

Adhitiya Prasta
Adhitiya Prasta
Pegiat Sosial, Tim Riset SosioLab Unesa, Kontributor Media Massa, Writer.
- Advertisement -

Perdebatan upah minimum kita selalu berputar di tempat. Setiap tahun, ritualnya sama: buruh demo minta kenaikan, pengusaha protes tidak mampu, pemerintah kemudian mengeluarkan angka “kompromis” yang tidak memuaskan siapa-siapa. Pertanyaannya, mengapa kita tidak pernah bisa keluar dari lingkaran setan ini?

BPS menunjukkan disparitas UMP yang mencengangkan. DKI Jakarta dengan UMP Rp 5.396.761, ternyata dua kali lipat dari Jawa Tengah yang hanya Rp 2.169.349. Jawa Timur, dengan 23,87 juta pekerja, UMP-nya Rp 2.305.985. Sementara Jawa Barat, sebagai provinsi dengan pekerja terbanyak, hanya Rp 2.191.238.

Disparitas ini bukan refleksi biaya hidup semata. Kalau dihitung dengan Purchasing Power Parity, perbedaan biaya hidup antara Jakarta-Solo tidak sebesar selisih UMP mereka. Ini menunjukkan UMP kita adalah cerminan kekuatan politik dan ekonomi daerah, bukan kalkulasi objektif kebutuhan hidup layak.

Dari 38 provinsi, hanya 8 provinsi yang UMP-nya di atas Rp 3 juta. Artinya, mayoritas pekerja Indonesia masih hidup dengan upah yang secara riil sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Perbandingan regional ASEAN semakin mempertegas posisi kita yang tertinggal. Malaysia dengan upah minimum nasional RM 1.700 per bulan (US$ 380), Vietnam di zona metropolitan US$ 196, Thailand US$ 302 per bulan. Indonesia? Rata-rata hanya US$ 180. Padahal dari segi produktivitas tenaga kerja manufaktur, kita tidak terlalu jauh tertinggal dari Vietnam atau Thailand.

Realitas yang lebih mengejutkan lagi, dari 145,77 juta pekerja Indonesia, 59,4% masih terjebak di sektor informal yang tidak tersentuh regulasi upah minimum. Artinya, perdebatan UMP yang riuh ini sebenarnya hanya menyentuh 40,6% pekerja formal saja. Dari pekerja formal, hanya 16% yang benar-benar menerima upah sesuai UMP, terutama di UMK yang lebih rendah dari UMP atau bahkan di bawah standar karena lemahnya pengawasan.

Data inflasi juga menunjukkan bahwa kenaikan UMP tidak pernah bisa mengejar inflasi riil yang dirasakan pekerja. Inflasi resmi mungkin 2-3%, tapi inflasi untuk kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, dan transportasi acapkali di atas 5-10%.

Akibatnya, daya beli riil pekerja terus terkikis dari tahun ke tahun. Kebanyakan pekerja Indonesia berpenghasilan di bawah Rp 3 juta per bulan, jauh di bawah perhitungan kebutuhan hidup layak yang berkisar Rp 4-5 juta untuk keluarga kecil di kota-kota besar.

Perubahan dalam regulasi pengupahan melalui PP 51/2023 yang mengubah cara hitung UMP justru menambah kerumitan. Formula lama yang mengandalkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, kini ditambah dengan indeks alfa yang konon merepresentasikan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan. Indeks alfa yang nilainya bisa 0,1-0,3 ditentukan oleh dewan pengupahan daerah. Artinya, ada subjektivitas tinggi dalam menentukan angka yang seharusnya objektif.

Dewan pengupahan yang seharusnya forum tripartit demokratis, tak jarang didominasi oleh kepentingan politik jangka pendek gubernur atau bupati yang sedang berkuasa. Proses penetapan UMP seringnya bukan soal diskusi ilmiah tentang produktivitas atau kebutuhan hidup layak, melainkan kalkulasi politik jangka pendek dengan dalih “kalau terlalu tinggi, nanti ada perusahaan tutup, rakyat yang rugi.”

Perbandingan dengan negara tetangga menunjukkan perbedaan mencolok. Malaysia menerapkan upah minimum nasional tunggal yang berlaku sama di seluruh negeri, dengan diferensiasi minimal antara sektor urban dan rural. Vietnam menggunakan sistem empat zona yang jelas kriterianya berdasarkan tingkat pembangunan ekonomi. Thailand memiliki mekanisme review yang lebih transparan melalui Komite Upah tripartit di bawah Kementerian Tenaga Kerja, yang mempertimbangkan indeks biaya hidup, inflasi, biaya produksi, dan struktur ekonomi regional.

- Advertisement -

Sementara Indonesia, proses penetapan UMP masih sangat rentan terhadap intervensi politik. Gubernur punya wewenang luas untuk menerima atau menolak usulan dewan pengupahan. Akibatnya, UMP sering menjadi alat politik untuk mencari popularitas, atau sebaliknya, untuk menjaga hubungan baik dengan pengusaha besar.

Masalah lain adalah lemahnya enforcement. UU Ketenagakerjaan memang mengatur sanksi bagi perusahaan yang membayar di bawah UMP, tapi dalam praktik pengawasan ketenagakerjaan sangat kurang. Dari sekitar 60 ribu perusahaan yang diawasi Kemenaker setiap tahun, hanya 5% yang kena sanksi pelanggaran upah minimum.

Ketiadaan mekanisme indexation otomatis juga membuat UMP Indonesia selalu tertinggal dari inflasi riil. Berbeda dengan beberapa negara yang mengikat upah minimum dengan cost of living index, Indonesia masih mengandalkan negosiasi tahunan yang alot dan tidak produktif.

Jeffrey Sallaz dalam “Labor, Economy, and Society” (2013) menawarkan perspektif yang tajam untuk memahami paradoks upah minimum. Sallaz berargumen bahwa masyarakat kapitalis memiliki keunikan dalam memperlakukan kapasitas manusia untuk bekerja sebagai “komoditas dasar.” Ini bisa jadi sumber dinamisme ekonomi, tapi juga “sumber penderitaan” ketika keterampilan seseorang tiba-tiba menjadi usang oleh kekuatan di luar kendali mereka.

Konsep “pertukaran yang tertanam” (embedded exchange) sangat relevan dengan konteks UMP Indonesia. Sallaz menekankan bahwa pasar tenaga kerja bukanlah arena ekonomi murni, melainkan “institusi sosial fundamental” di mana norma sosial, kekuasaan, dan klasifikasi pekerjaan menentukan struktur pertukaran. UMP, dengan demikian, adalah mekanisme untuk “mengklasifikasikan dan menilai kerja” atau pengakuan bahwa pekerjaan memiliki martabat intrinsik yang harus dilindungi.

Realitas yang kita hadapi menunjukkan bahwa upaya “memanusiakan” pasar tenaga kerja melalui UMP menghadapi “proses penghasil ketimpangan” yang sistemik. Kenaikan UMP, meski bermanfaat bagi pekerja formal, kadang malah merugikan pekerja informal karena mengurangi peluang kerja atau memperburuk kondisi mereka.

Fenomena mengkhawatirkan adalah yang Sallaz sebut sebagai “fleksibilisasi” tenaga kerja. Era digital menciptakan ilusi semua orang bisa jadi entrepreneur melalui platform gig economy. Survei Balitbang Kemenhub menunjukkan rata-rata ojol kerja lebih dari 10 jam sehari, tapi penghasilan bersihnya tidak lebih tinggi dari UMP. Bedanya, mereka tidak punya perlindungan sosial apa pun.

Platform digital berhasil menciptakan bentuk baru eksploitasi yang disamarkan dengan retorika teknologi dan kewirausahaan. Platform yang menentukan tarif, mengatur sistem ranking, dan bisa suspend account sesuka hati. Tapi ketika ada masalah, platform bilang mereka cuma “penghubung.” Contoh sempurna bagaimana komodifikasi tenaga kerja berkembang ke tahap yang lebih canggih dan tersembunyi.

Upah minimum, dalam pandangan Sallaz, adalah upaya pekerja untuk “menantang fiksi sentral bahwa pekerjaan mereka hanyalah komoditas yang dapat dibeli dan dijual.” Sebuah pernyataan kolektif bahwa tenaga kerja memiliki nilai yang melampaui perhitungan biaya-manfaat semata. UMP, meskipun sering diperdebatkan secara ekonomis, secara sosiologis adalah upaya untuk mengembalikan rasa hormat dan keadilan dalam hubungan kerja.

Adhitiya Prasta
Adhitiya Prasta
Pegiat Sosial, Tim Riset SosioLab Unesa, Kontributor Media Massa, Writer.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.