Pemandangan tak biasa tampak ketika beberapa wanita yang tergabung dalam masyarakat peduli api (MPA) bersama dinas dan aparat terkait terlihat sangat sigap memadamkan api yang menelan puluhan hektar lahan di kota Palangka Raya baru-baru ini.
Hal ini tentu menjadi cerita unik di balik upaya penanggulangan kebakaran lahan di Kota Palangka Raya yang selama beberapa pekan “sukses” membuat udara setempat bercampur aroma asap yang sangat menusuk penciuman.
Para wanita pemberani ini tidak hanya berperan di balik layar membantu logistik tim pemadam api, namun mereka terjun langsung ke titik kebakaran, mengoperasikan mesin pompa air di area terbakar, dan memadamkan api yang melumat habis puluhan hektar lahan gambut di kota yang digadang-gadang akan menjadi ibu kota negara Indonesia tersebut.
Hal tersebut tentu saja tidak tanpa risiko mengingat area terbakar sangat luas, jauh lebih luas dibandingkan dengan lapangan sepak bola sekalipun. Oleh karena itu, bahaya sangat mungkin terjadi mengancam keselamatan para wanita tersebut. Belakangan, kita membaca berita di mana 4 orang dikabarkan meninggal dunia di beberapa kabupaten di Kalimantan Barat lantaran infeksi pernapasan akut karena terpapar kabut asap. Selain itu, lahan gambut bisa saja membuat kaum hawa ini terperosok ke dalam bara api yang siap membakar kaki mereka.
Saat ini Palangka Raya dan sebagian besar kabupaten di provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) sedang rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Terkait dengan hal tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahkan telah menetapkan status siaga darurat karhutla di empat provinsi yang salah satunya adalah Kalteng sejak awal tahun lalu. Hal ini dikarenakan ratusan sebaran titik panas yang terpantau di provinsi yang sebagian besar lahannya didominasi oleh rawa gambut yang sangat rentan terhadap api pada musim kemarau.
Masyarakat Kalteng tentu saja tidak mungkin lupa terhadap dampak buruk dari karhutla pada tahun 2015 yang datang bak mimpi buruk bagi semua orang di mana rumah sakit sudah tidak mampu lagi menampung pasien yang dipadati oleh bayi, anak-anak, serta masyarakat dengan usia lanjut.
Sejauh ini, tercatat ada tiga orang anggota MPA wanita yang berasal dari dua desa di kelurahan Kereng Bangkirai dan Sabaru kecamatan Sebangau. Total anggota MPA di Kereng dan Sabaru kurang lebih berjumlah 55 orang (29 orang di MPA Kereng dan 26 orang di Sabaru). Jadi jika disimpulkan, presentase jumlah anggota wanita di kedua MPA tersebut hanya sekitar 5%. Jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan jumlah anggota laki-laki yang mendominasi keseluruhan anggota MPA.
Astri (25 tahun) yang merupakan salah satu dari tiga wanita pemberani tersebut menyampaikan bahwa dirinya tertarik untuk bergabung bersama MPA karena sebagai dirinya merasa bertanggung jawab untuk menjaga daerahnya agar tidak kembali merasakan dampak buruk dari kabut asap seperti tahun-tahun sebelumnya.
Wanita kelahiran tahun 1992 ini menambahkan pula bahwa baik laki-laki dan wanita memiliki peran yang sama di dalam tim dan tidak ada perlakuan khusus karena seluruh anggota tim memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam penanggulangan kebakaran lahan.
Aksi heroik para wanita yang turut serta memadamkan kebakaran lahan di kota Palangka Raya dengan segala risikonya ini patut diacungi jempol. Mungkin apa yang mereka lakukan sangatlah cukup untuk mendefinisikan kembali arti kata wanita yang ada pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) di mana wanita hanya diartikan sebatas pada penjelasan fisik saja.
Jika melihat kembali masyarakat kita, wanita selama ini masih berada pada posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini terjadi karena sistem sosial pada mayoritas masyarakat di Indonesia didominasi oleh sistem patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi superior (dominan) sedangkan wanita dianggap sebagai pihak yang marginal, terpinggirkan.
Sylvia Walby, guru besar di Lancaster University yang juga penulis buku Theorizing Patriarchy, menjelaskan adanya dua citra (image) yang menjadi gap antara peranan laki-laki dan wanita di masyarakat yakni maskulinitas dan stereotip (konsep subjektif) pada kaum wanita. Contohnya, memadamkan api menuntut fisik prima, tenaga yang kuat, lincah, dan sigap di mana konstruksi sosial pada keempat hal ini dianggap hanya melekat pada kaum laki-laki yang terlahir maskulin.
Dalam dunia pewayangan, Srikandi digambarkan sebagai sosok wanita yang cantik dan sangat terampil dalam ilmu keprajuritan. Putri kedua dari Prabu Drupada ini diceritakan sebagai seorang putri yang sangat mahir dan tangkas memanah karena ia pernah belajar pada Arjuna, salah satu pahlawan dalam cerita Mahabharata yang juga merupakan anggota Pandawa.
Lalu apa kaitan Srikandi dengan Astri dan kedua anggota MPA wanita lainnya? Di balik kecantikannya, Srikandi seringkali disimbolkan sebagai ‘prajurit tangguh’ yang kemudian dikisahkan menjadi satu-satunya kesatria yang sanggup menjemput ajal Bisma yang sangat disegani oleh para Pandawa.
Apa yang dilakukan Astri dan dua temannya merupakan sebuah pembuktian yang dapat meruntuhkan konstruksi sosial terkait peranan wanita di masyarakat kita bahwa wanita pun dapat ambil peran dalam mengatasi permasalah di masyarakat, dalam hal ini kebakaran lahan di kota Palangka Raya. Peranan yang selama ini tersembunyi dan sangat jarang diangkat ke permukaan baik di kalangan masyarakat maupun di media.