Saya mungkin termasuk di antara banyak orang di luar Papua yang tidak banyak tahu tentang kondisi sebenarnya Papua. Saya tinggal di Jawa. Sesekali saya melihat keadaan Papua hanya dari kejauhan—tentu saja dengan melalui dan memanfaatkan “jendela” media.
Media-media mengabarkan Papua, dan sedikit banyak atau disadari tidak, itu membentuk pengetahuan saya tentang Papua.
Tapi, pengetahuan saya tentang Papua amatlah terbatas. Dan, pengetahuan tentang Papua yang terbatas itu, barangkali juga “bengkok-bengkok”. Mengapa terbatas dan bengkok?
Akses bagi jurnalis untuk meliput Papua sangat dibatasi. Sama sekali tidak leluasa seperti halnya di tempat lain di Jawa, terutama dalam meliput hal-hal yang dianggap sensitif dan tabu di Papua. Kondisi ini yang membuat media dan para jurnalis mengalami keterbatasan, hambatan, dan sekaligus kekerasan dalam meliput Papua.. Data yang dilansir oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) terdapat 114 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam meliput Papua sepanjang tahun 2000-2021.
Selain itu, pemberitaan-pemberitaan media arus utama juga dipandang tak bisa sepenuhnya diandalkan sebagai satu-satunya sumber informasi. Media-media arus utama dituding cenderung melayani kepentingan pemerintah dan kekuatan militer di Papua. Sehingga bias pemberitaannya terlalu besar.
Itulah mengapa, pengetahuan saya—atau mungkin banyak di antara kita—akan Papua yang terbatas itu, saya katakan di awal tadi juga mungkin tidak tepat dan perlu selalu diperiksa.
Mendiskusikan Tapsell
Kesadaran dan refleksi kritis terhadap media terutama dalam konteks pemberitaan Papua sebagaimana disinggung di atas, muncul dan menguar kembali saat beberapa waktu lalu, seorang teman Papua saya, mengajak saya mendiskusikan sebuah artikel ilmiah menarik tentang media dan Papua berjudul “The Media and Subnational Authoritarianism in Papua” yang ditulis oleh peneliti media terkemuka dari Australia: Ross Tapsell.
Dalam artikel itu, Tapsell kira-kira ingin berargumen bahwa praktik bermedia dan jurnalis di Papua masih beroperasi dalam lingkungan yang disebutnya subnational authoritarianism.
Subnasional otoritarianisme sendiri adalah terma yang digunakan untuk menggambarkan sebuah wilayah dalam sebuah negara demokratis yang masih dianggap cenderung menunjukkan aturan-aturan yang otoriter.
Secara umum, kata Tapsell, kehidupan media di Indonesia sudah demokratis dan kita merayakan kebebasan pers. Tapi, di sisi lain, ini yang agak ganjil dan menjadi anomali, kehidupan jurnalis dan praktik bermedia di Papua malah justru masih dikontrol sedemikian rupa oleh pemerintah dan kekuatan militer. Tegasnya, Tapsell melihat ada semacam “ketidakmerataan” demokratisasi media dan kebebasan pers antara di Papua dan di tempat-tempat lain terutama di Jawa. Oleh sebab itu, Tapsell menyebut Papua seperti “Achilles heel”-nya demokratisasi di Indonesia. Termasuk dalam hal ini demokratisasi media.
Untuk menguatkan argumennya tersebut, Tapsell menunjukkan bahwa kecenderungan adanya gejala subnasional otoritarianisme terutama dalam konteks kehidupan jurnalis dan praktik bermedia di Papua sangat dipengaruhi oleh dua faktor ini: pertama, pemerintah lokal terutama dalam kaitannya dengan otonomi khusus; dan kedua, kekuatan keamanan-militer di Papua.
Bagi jurnalis yang ingin meliput di Papua harus mengantongi izin yang rumit dari pihak keamanan-militer. Tentu saja, ini adalah sebuah keganjilan dalam kehidupan media yang sudah demokratis di Indonesia kiwari. UU Pers kita memberikan proteksi yang sangat besar terhadap kebebasan pers. Tapi di Papua, masih ada rezim perizinan bagi pers. Ini adalah bentuk kontrol, yang bagi Tapsell, menunjukkan gejala subnasional otoritarianisme. Kondisi seperti ini akan sangat menyulitkan bagi jurnalis untuk meliput soal-soal yang dianggap sensitif dan tabu di Papua terutama mengenai kekerasan militer, pelanggaran hak asasi manusia, kegagalan otonomi khusus, korupsi, dan apalagi mengenai referendum.
Yang menarik, Tapsell juga menyoroti banyaknya aliran dana otonomi khusus yang mengalir dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan dari pemerintah daerah ke media-media lokal arus utama melalui bentuk belanja iklan pemerintah daerah. Akibatnya, media-media lokal arus utama menjadi seperti “humas” pemerintah. Hal ini salah satunya bisa dilihat dan ditunjukkan dari pemberitaan-pemberitaan media lokal arus utama yang cenderung relatif positif dalam memberitakan Papua. Tapsell misalnya mencontohkan bagaimana media-media lokal arus utama di Papua kompak memberitakan otonomi khusus (otsus) secara positif sehingga mudah mendapatkan penerimaan dari publik di Papua.
Dalam amatan saya, saya juga melihat kecenderungan yang serupa pada media-media nasional arus utama di luar Papua kebanyakan. Karena barangkali alasan ongkos liputan yang besar dan keterbatasan akses untuk meliput secara langsung ke Papua, mereka biasanya cukup melansir apa adanya dari pemberitaan media-media lokal arus utama di Papua. Sehingga nada (tone) pemberitaannya nyaris seirama.
Meskipun terkadang muncul pemberitaan mengenai masalah-masalah yang dianggap sangat sensitif dan tabu di Papua seperti mencuatnya tuntutan independensi dan pemisahan Papua dari Indonesia dalam media-media nasional arus utama, barangkali karena alasan nasionalisme, itu dibingkai dalam framing yang sumir. Dan media-media nasional arus utama mudah menyebut aspirasi tersebut dengan penuh stigmatik: separatis.
Dalam kondisi seperti itulah, independensi jurnalis dan pemberitaan soal Papua yang objektif dan jernih menjadi pertaruhan. Dampaknya, pengetahuan dan gambaran sebenarnya tentang Papua juga menjadi semakin sulit untuk diharapkan.
Jendela Alternatif
Melihat kecenderungan pemberitaan-pemberitaan media arus utama yang memiliki potensi bias yang besar dalam mengabarkan Papua, tentu saja kita perlu melihat Papua dari “jendela-jendela lain” seperti media-media alternatif—baik media-media alternatif di luar Papua maupun di Papua sendiri.
Tapsell juga mengatakan bahwa media-media lokal alternatif di Papua seperti Jubi dan Suara Papua, misalnya, sebenarnya masih bisa diandalkan sebagai sumber informasi agar kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan lengkap mengenai Papua.
Saya sendiri, belakangan ini, jika ingin melihat keadaan Papua, juga tidak hanya mengandalkan dari pemberitaan-pemberitaan media arus utama. Saya cukup beruntung, dalam beberapa tahun terakhir, memiliki seorang teman Papua yang karib dan cukup intens mengajak diskusi secara kritis mengenai soal-soal Papua.P ertemanan itu, bagi saya, tak ubahnya juga “jendela lain” untuk bisa mengetahui Papua dan sekaligus proses triangulasi untuk menguji dan melakukan pengecekan silang dari informasi yang saya terima dari media-media arus utama dengan informasi dari teman saya itu.
Tapi kita memang harus mengakui, bagi sebagian besar kita, Papua mungkin laiknya sesuatu yang “gaib”: bagaimana tidak gaib, gambaran yang sebenarnya tentang Papua tidak banyak “terlihat” oleh kita. Sementara, representasinya yang paling manifes di media-media arus utama, kerap muncul dalam gambaran yang mungkin juga sulit untuk kita percaya sepenuhnya. Pengetahuan kita akan Papua mengalami distorsi-distorsi []