Rabu, April 24, 2024

Papua itu Luka

Lutfi Awaludin Basori
Lutfi Awaludin Basori
Freelance Journalist

Siang itu, lepas shalat Jumat, 17 Agustus 2019, massa berkumpul di Jalan Kalasan, Pacar Keling, Tambaksari, Surabaya. Mereka bergerak setelah mendengar kabar bahwa bendera Merah Putih jatuh tersungkur ke selokan. Rasa nasionalisme mereka terusik. Pelakunya diduga mahasiswa Papua yang tinggal di asrama Kamasan III no 10.

Massa kala itu terdiri dari berbagai unsur, Ormas, militer dan kepolisian. Pukul 15.00 WIB polisi menyerukan peringatan agar mahasiswa di dalam asrama menyerah dan keluar. Berikutnya tembakan gas air mata dilesatkan ke asrama. Polisi mendobrak pintu gerbang dan menerobos masuk asrama dengan senjata laras panjang.

Mahasiswa tak berkutik, mereka mengangkat tangan tanda menyerah. Selanjutnya 43 mahasiswa itu digelandang ke markas polda Jawa Timur untuk pemeriksaan, seperti yang dilaporkan BBC pada 23 Agustus 2019 berjudul “Asrama Papua: Cek fakta kasus bendera mrah putih dan makian rasialisme di Surabaya”.

Pada aksi massa itu terlontar sejumlah kata-kata rasis dengan nama-nama binatang kepada mahasiswa Papua, salah satunya adalah “monyet”. Kata itu lah yang berikutnya menjadi pemantik demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jayapura, Papua. Hingga akhirnya mengakibatkan sejumlah kerusuhan dan muncuatnya kembali suara Papua untuk Merdeka.

Keinginan sebagian rakyat Papua untuk merdeka bukan lagu baru tapi sudah mereka kumandangkan sejak lama. Bukan tanpa alasan mereka menuntut itu dari Republik Indonesia. Daftar alasan ini bisa sangat panjang, namun bagi saya penyebab utama keinginan mereka untuk merdeka adalah karena “luka”. Luka ini teramat lama mereka derita hingga keinginan untuk merdeka muncul sebagai obat.

Salah satu luka itu terjadi lima tahun silam. Pagi itu, 8 Desember 2014, ratusan warga Papua berdemonstrasi di sekitar markas tentara dan kepolisian di Kota Enarotali, Paniai. Aksi itu untuk merespons dugaan pemukulan 11 remaja Papua oleh tentara di Paniai Timur, sehari sebelumnya. Para demonstran selanjutnya melempari markas aparat dengan batu dan kayu yang dibalas dengan tembakan menggunakan peluru tajam. Akibatnya, empat demonstran tewas dan 11 lainnya luka-luka.

Laporan yang diterima Amnesty Internasional berjudul “Sudah, Kasi Dia Mati – Pembunuhan dan Impunitas di Papua” pada 2018 menyebut seorang demonstran meninggal akibat dipukuli beberapa polisi dan dieksekusi dari jarak dekat setelah tersungkur ke tanah.

Pada 27 Desember 2014, Presiden Jokowi merayakan Natal di Papua berjanji untuk mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab pada peristiwa itu. Tapi hingga lima tahun berlalu dan Jokowi terpilih untuk kedua kalinya sebagai Presiden Republik Indonesia, janji itu belum juga dipenuhi.

“Dan di tengah perayaan Natal ini, saya ingin menyampaikan menyesalkan terjadinya kekerasan di Enarotali, di Kabupaten Paniai, baru-baru ini. Saya ikut berempati terhadap keluarga korban kekerasan, dan saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatya. Agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang.” (Laman resmi Sekretaris Kabinet)

Itu baru satu peristiwa, padahal Amnesty International mencatat 69 kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat di Papua. Dari 69 kasus yang dihimpun sejak 2010 hingga 2018 itu mengakibatkan 95 orang tewas.

Luka lain diderita oleh suku Amungme, salah satu suku yang ada di Papua. Sejak 1967 ketika pertama kali penambangan secara resmi dimulai, suku Amungme dan Kamoro kehilangan secara berturut-turut 100.000 hektare tanah ulayat mereka.

Pada 1983-1985 mereka kembali kehilangan 7 ribu hektare tanah untuk pendirian Kota Timika.  Sepuluh tahun kemudian kembali 25 ribu hektare tanah mereka diambil untuk pendirian kota Kuala Kencana di Timika. Puncaknya, pada 1991 Pemerintah memberikan konsesi tanah 2,6 juta hektare milik suku Amungme untuk perluasan tambang Freeport.

Akibatnya tatanan sosial-budaya dan ekonomi yang mengantungkan hidup mereka dengan berburu dan bercocok tanam porak-poranda. Hal ini diperparah dengan pemindahan paksa suku Amungme yang berakibat terjadinya disintegrasi kultural. Bila mereka menentang dan melawan maka akan dicap sebagai OPM (Organisasi Papua Merdeka). Stigma ini membuat suku Amungme tak berkutik dan memilih lebih banyak diam.

“Ah, kalau mau bunuh kami, kumpulkan kami di lapangan terbuka, dan bunuh habis supaya kami jangan hidup dalam situasi masih hidup, tetapi hanya badan dan kulit yang bergerak, jiwa kami sebenarnya sudah mati.” (Tom Beanal, Jayapura, 1995).

Kisah tentang suku Amungme ini ditulis panjang dalam buku “Perjuangan Amungme Antara Freeport dan Militer” yang ditulis Amiruddin & Aderito Jesus de Soares.

Cerita itu diamini oleh aktivis perempuan Amungme, Adolfina Kum. Dalam laporan yang ditulis Indopress.id berjudul “Suku Amungme Setelah Setengah Abad Kehadiran Freeport”, Adolfina menceritakan bahwa suku Amungme semakin kesulitan berkebun. Sebab ladang, kebun sagu dan sungai tempat mereka mendapat maka sehari-hari telah musnah.

“Kalau dulu orang-orang tua kami pergi ke ladang, berkebun atau berburu di hutan, kini tidak bisa lagi,” katanya. “Mereka kini hanya menanti belas kasihan melalui santunan beras dan mi instan dari Freeport.”

Kini terbayang sudah bagaimana suku Amungme dipaksa kehilangan dunia mereka. Dan ini hanya cerita dari satu suku Amungme, bagaimana dengan cerita suku-suku lain di Papua?

Lalu apakah Pemerintah tak melakukan apa-apa? Pemerintah melakukan sesuatu untuk Papua, Pemerintah tidak diam saja.

Sebagai komitmen untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Papua, Presiden Jokowi membentuk tim khusus dan memberikan grasi dan amnesti kepada 5 aktivis Papua, pada 2015. Jokowi menyampaikan akan melakukan pendekatan kesejahteraan daripada keamanan dengan membangun jalan-jalan dan pasar serta peningkatan akses pendidikan, seperti yang disampaikan Amnesti Internasional dalam laporan yang sama.

Sayangnya, langkah yang diambil Pemerintah jauh panggang dari api. Janji penuntasan pelanggaran HAM di Papua hingga detik ini hanya pemanis bibir saja. Sementara pendekatan kesejahteraan belum juga menyentuh hati rakyat Papua. Pendekatan ini bagi saya pribadi ibarat memberi gula-gula kepada orang yang terluka. Gula-gula itu hanya penghibur bukan obat bagi luka yang diderita.

Padahal Papua kini ibarat seekor hewan yang sedang terluka. Karena lukanya itu maka ia akan selalu waspada kepada siapa saja yang mendekat sebagai bentuk sikap perlindungan diri. Jangankan kepada orang asing, kepada orang yang dikenalpun ia akan terkam bila mendekat. Apalagi jika yang mendekat adalah mereka yang telah melukainya.

Maka satu-satunya jalan untuk menuntaskan permasalahan Papua saat ini Pemerintah harus membuktikan jika Papua adalah benar-benar bagian dari Republik Indonesia. Caranya? Dengan segera menuntaskan pelanggaran HAM dan perampasan tanah ulayat suku-suku di Papua.

Jika hal-hal di atas tak segera dilakukan maka selamanya Papua akan merasa dianaktirikan. Dan selama itu pula keinginan untuk berpisah dari Republik akan tetap hidup dalam hati rakyat Papua. Sebab mereka masih terus merasa luka.

Lutfi Awaludin Basori
Lutfi Awaludin Basori
Freelance Journalist
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.