Kamis, Mei 2, 2024

Pansos dan Toxic Sosial

Dani Ismantoko
Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.

Kemajuan teknologi informasi digital memicu naiknya kecenderungan untuk narsis. Tingginya kecenderungan untuk narsis memicu naiknya kecenderungan untuk eksis. Atau lebih tepatnya ingin dianggap, diakui keberadaannya. Dan kecenderungan untuk eksis memicu munculnya pansos (panjat sosial) instan yang menimbulkan ketimpangan – ketimpangan sosial yang seharusnya tak terjadi.

Upaya untuk mencapai hal tersebut dilakukan dengan berbagai cara. Mulai sekadar berlalu-lalang di belantara sosial media dalam bentuk tulisan, foto, video sampai kepada aksi lapangan. Bisa secara adem-adem saja, bisa secara provokatif.

Masifnya upaya-upaya tersebut membentuk sebuah lingkaran setan kecenderungan untuk eksis, ingin dianggap, ingin diakui dalam pola perhubungan sosial. Walaupun artifisial, manusia seakan menjadi kabur pandangannya karena kuatnya pagar yang terbangun dalam lingkaran setan tersebut.

Jenisnya bisa bermacam-macam, eksistensi karena kompetensi khusus yang dimilikinya. Atau kecakapannya dalam bergaul. Atau keduanya. Tergantung situasi dan kondisi.

Dalam dunia profesional kerja yang hierarkis jenis eksistensi yang diakui biasanya berdasarkan kompetensi yang dimiliki. Karena secakap apapun seseorang dalam bergaul, atasan akan lebih sayang apabila orang tersebut kompeten dan mencurahkan segenap dedikasinya untuk meningkatkan produktivitas perusahan, lembaga, instansi, institusi.

Berbeda dengan dunia profesional kerja yang hierarkis. Di dalam pergaulan, baik di dusun, kampung atau kota ada jenis – jenis eksistensi diakui lebih beragam. Keberagaman itu bisa muncul karena faktor sejarah atau karena atmosfir yang dibangun masyarakatnya.

Ada masyarakat yang lebih mengakui orang dengan jenis eksistensi berdasarkan kecakapan dalam menjalin perhubungan sosial saja daripada berdasarkan kompetensi yang memberikan kemanfaatan bagi masyarakat.

Ada masyarakat yang mengakui orang dengan jenis eksistensi berdasarkan kompetensi yang bermanfaat bagi masyarakat daripada sekadar kecapakan dalam menjalin perhubungan sosial.

Ada juga masyarakat yang menghormati orang dengan jenis eksistensi berdasarkan keduanya. Cakap dalam menjalin perhubungan sosial sekaligus kompeten dalam hal yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.

Jika di sebuah masyarakat seseorang tak bisa memenuhi jenis eksistensi yang menjadi trend ada semacam sanksi sosial. Misalnya tidak terlalu dianggap keberadaannya. Tidak sedikit orang yang menganggap itu cukup berat.

Oleh karenanya, pansos menjadi semacam kewajiban bagi siapa saja yang ingin selamat. Atau lebih tepatnya selamat di wilayah kehidupan dengan subyek kecil bernama manusia yang jumlahnya sudah begitu banyak ini.

Sebenarnya pansos adalah sebuah proses alamiah. Seseorang yang di sebuah masyarakat selalu tulus membantu orang lain sudah otomatis melakukan pansos. Apalagi konsisten dalam waktu lama. Sangat mungkin mendapatkan efek berupa penghormatan dari masyarakat tersebut.

Permasalahannya, sekarang dengan adanya percepatan kemajuan di berbagai bidang yang memicu dominasi kepentingan daripada kemaslahatan menyebabkan timbulnya semangat untuk mencapai puncak hierarki sosial secara instan. Pansos yang tadinya sebuah proses alamiah menjadi sebuah proses karbitan. Seseorang menggunakan trik – trik tertentu untuk mencapai posisi puncak hierarki sosial.

Hal itulah yang membuat perhubungan sosial menjadi prematur. Muncul ketimpangan -ketimpangan yang tidak seharusnya ada. Salah satu bentuknya berupa eksploitasi manusia dengan dalih untuk kepentingan sosial.

Dari sinilah terbentuk dominasi nilai maskulin terhadap nilai feminin. Hal tersebut sebenarnya jamak terjadi bahkan sudah dimulai semenjak sangat lama. Namun ada perbedaan cukup mencolok antara yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang.

Di masa lampau ada struktur yang jelas, ada kesepakatan sosial-budaya yang bisa dikatakan kuat. Misalnya antara raja dengan para petinggi kerajaan yang secara hierarkis berada di bawahnya juga dengan rakyatnya.

Di masa sekarang tak ada struktur jelas, tak ada kesepakatan yang jelas. Kita sepakat memakai sistem demokrasi. Tetapi prakteknya berbeda. Penentuan keputusan dikuasai elit yang maskulin dan dominan kepada non elit yang feminin tak tidak dominan. Si elit merasa berhak melakukan eksploitasi.

Itu bukan tidak menimbulkan efek berlanjut. Generasi penerus merasa ingin balas dendam. Mereka ingin menjadi elit yang maskulin dan dominan. Ketika saatnya tiba mereka akan berlaku selayaknya elit yang dulu pernah melakukan eksploitasi kepada mereka.

Beberapa macam bentuknya seperti junior-senior di sekolah – sekolah, kampus – kamlus, kaum muda di masyarakat, priyayi dan non priyayi kontemporer di dusun, dalam dunia sastra ada sastra kanonik dan tidak dalam artian yang politis.

Kemaslahatan sosial hanya isapan jempol belaka kalau toxic yang merusak pola perhubungan sosial yang sehat semacam itu urung untuk pergi.

Dani Ismantoko
Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.