Kamis, April 25, 2024

Panglima TNI Baru, Tahun Transisi, dan Profesionalisme

Wahyu Suroatmojo
Wahyu Suroatmojo
Dosen, Pengamat Politik dan Pemerintahan, Peneliti Pusat Studi Kebijakan Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Fisipol Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Presiden Jokowi pada akhirnya memilih KSAU Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan telah melantiknya sebagai Panglima TNI untuk menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo yang akan memasuki masa pensiun pada bulan Maret 2018 nanti. Pada hari Selasa yang lalu (5/12/2017) KSAU Marsekal TNI Hadi Tjahjanto menjalani fit and proper test di Komisi I DPR RI dan disetujui dalam rapat paripurna sebagai Panglima TNI yang baru.

Sebagai Panglima TNI yang baru, ke depan mempunyai tantangan yang luar biasa berat dan membutuhkan perjuangan serta komitmen tegas untuk melewatinya. Tahun 2018 Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi berupa Pilkada serentak di 171 daerah dan pada tahun 2019 juga ada Pemilu Legislatif serta Pemilu Presiden yang dilaksanakan secara bersamaan.

Menjaga Kebhinekaan di Tahun Politik

Komitmen calon Panglima TNI untuk menjaga kebhinekaan sangat dinantikan oleh masyarakat Indonesia, karena Pemillu di negeri ini secara historis selalu memunculkan friksi yang tajam dan kegaduhan politik. Bisa dibayangkan jika ada 171 Pilkada di tahun 2018 kemudian Pemilu Legislatif serta Pemilu Presiden pada 2019 nantinya yang akan dilaksanakan secara serentak tentu membutuhkan kerja keras untuk mengamankannya supaya bisa terlaksana dengan aman dan damai.

Pengalaman pelaksanaan Pilkada beberapa waktu terakhir di berbagai daerah begitu gaduh pelaksanaannya dan sangat berpotensi terjadi chaos. Kegaduhan politik yang bermuara dari Pilkada bahkan nyaris mengganggu kesadaran berbhineka tunggal ika pada sebagian besar masyarakat di negara ini. Politik identitas yang muncul dari kerasnya benturan kepentingan politik dalam pelaksanaan Pilkada semisal di DKI Jakarta yang lalu harus menjadi perhatian serius bagi Panglima TNI baru.

TNI sebagai instrument keamanan negara bersama Polri harus hadir untuk mampu menjaga kebhinekaan tetap menjadi budaya hidup masyarakat Indonesia. Menyadarkan masyarakat dan juga elit politik bahwa Pilkada, Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden merupakan suatu proses demokrasi. Menjaga marwah kebhinekaan di Indonesia memang harus dan musti dilakukan karena itu modal dasar bagi pelaksanaan sistem demokrasi yang berbasis pada kebebasan berpendapat, menentukan pilihan politik serta kedudukan yang sama dihadapan hukum.

Menurut Lestari (2015) Bhinneka Tunggal Ika sebagai kunci dan pemersatu keragaman bangsa Indonesia merupakan ciri persatuan bangsa Indonesia sebagai negara multikultur. Dengan adanya 171 Pilkada serentak di berbagai daerah pada tahun 2018 nanti, Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden di tahun berikutnya, potensi dan ancaman terjadinya konflik horisontal sangat mungkin terjadi. Potensi adanya konflik kepentingan yang nantinya berubah menjadi konflik horisontal perlu mendapatkan penanganan serius dari Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, karena apabila dibiarkan “bom waktu” dari efek Pemilu ini bisa meledak setiap saat. Tentu saja siapapun tidak ingin bangunan kebhinekaan yang sudah dibuat oleh para founding father negeri ini sejak dahulu menjadi porak poranda.

Panglima TNI yang baru perlu segera beradaptasi dengan jabatannya di tahun politik yang akan datang tidak lama lagi. Kesiapan, kesigapan disertai ketepatan analisa intelijen dalam memetakan potensi konflik sangat dibutuhkan agar kebhinekaan yang sudah terjaga selama ini di Indonesia tidak rusak hanya karena perbedaan pilihan maupun kepentingan politik.

Studi yang dilakukan Gretchen Casper dan Michele M. Tailor (1996, dalam Kristiadi, 2001) menegaskan bahwa arah masa transisi tidak selalu merupakan jalan linier menuju demokrasi. Dalam perjalanan panjang yang melelahkan dari sistem otoriter menuju demokrasi selalu terjadi kemungkinan arus belok menuju ke tatanan lama. Tantangan bagi Marsekal Hadi Tjahjanto dalam memimpin TNI mengawal proses transisi kekuasaan di tahun-tahun politik berjalan dengan demokratis, tertib dan sesuai aturan yang berlaku.

Membangun Profesionalisme Institusi TNI

Sebagai sebuah institusi negara, TNI dituntut untuk wajib memiliki profesionalisme. Pentingnya profesionalisme di tubuh TNI sudah diatur dengan Undang-Undang Nomer 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Berdasarkan UU TNI pasal 7 disebutkan tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Profesionalisme TNI diatur di UU TNI 34/2004 pada pasal 2, yaitu sebagai tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Sesuai kewajiban tugas dan fungsi pokok TNI maka Panglima TNI sebagai pemimpin ketiga matra TNI yaitu darat, laut dan udara harus mampu mengarahkan institusi serta prajuritnya untuk melaksanakan perintah undang-undang TNI tersebuat. Seperti yang telah ditekankan oleh Presiden Jokowi kepada TNI beberapa waktu yang lalu bahwa politik TNI adalah politik negara.

Politik negara adalah politik yang diabdikan bagi tegaknya NKRI, ketaatan prajurit terhadap hukum, dan menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan apapun. Menjaga profesionalisme TNI bukan perkara yang mudah, terutama menghadapi tahun-tahun politik, karena bagaimanapun peluang untuk “dekat” dengan kekuatan atau partai politik tertentu cukup terbuka lebar. Panglima TNI harus mampu memberi contoh kepada prajurit-prajuritnya dalam menjaga netralitas anggota TNI dengan cara menjauh dari dunia politik praktis.

Komitmen Marsekal Hadi Tjahjanto terkait pengadaan alutsista yang baru bagi TNI perlu diapresiasi. Namun perlu mendapat perhatian serius adalah mekanisme pengadaan dari alutsista TNI tersebut yang sering menuai masalah, bahkan berpotensi mengarah pada tindak pidana korupsi sebagaimana yang belum lama terjadi dalam pembelian helikopter AW101 senilai Rp. 742 miliar di awal tahun 2017 dan juga beberapa kasus lain seperti pengadaan pesawat F-16 yang melibatkan perwira tinggi TNI serta sudah divonis hukuman oleh pengadilan.

Rencana Marsekal Hadi Tjahjanto meremajakan alutsista TNI berdasarkan pada Minimum Essential Force (MEF) atau daftar minimum alutsista TNI yang harus dimiliki. Bahkan Panglima TNI yang baru telah mempunyai rencana dimasa kepemimpinannya untuk mengadakan pesawat tempur, radar dan kapal selam. Komitmen Marsekal Hadi Tjanjanto dalam memperkuat pertahanan negara menghadapi gangguan keamanan terhadap kedaulatan Indonesia dari pihak luar mapun dari dalam negeri sendiri, bahkan beliau juga berjanji untuk meneruskan program Panglima TNI sebelumnya Jenderal Gatot Nurmantyo yang telah mengagendakan pendirian pangkalan militer di Natuna, Tarakan, Morotai, Biak, Merauke dan Selaru sebagai implementasi program poros maritim yang dicanangkan Presiden Jokowi (http://krjogja.com/web/news/read/51766).

Wahyu Suroatmojo
Wahyu Suroatmojo
Dosen, Pengamat Politik dan Pemerintahan, Peneliti Pusat Studi Kebijakan Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Fisipol Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.