Jumat, Maret 29, 2024

Pandemi dan Pertaubatan Ekologis

Rahmat Tri Prawira Agara
Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Fakultas Sains & Teknologi Universitas Terbuka. Instagram: @rahmat3prawira

Bumi ini cukup besar untuk mencukupi kebutuhan semua orang. Tetapi ia tidak akan pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan satu orang yang serakah.” – Mahatma Gandhi

Beberapa tahun belakangan, isu-isu seputar lingkungan menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan di seluruh dunia. Fenomena banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, hingga isu soal pemanasan global, yang dari hari ke hari menunjukkan data yang semakin mengkhawatirkan, membuat warga dunia kini mulai sadar akan pentingnya memperhatikan isu-isu lingkungan kontemporer.

Dalam sebuah laporan yang dikeluarkan oleh jurnal Nature Climate Change pada tahun 2018, para peneliti memaparkan potensi hilangnya nyawa manusia sebanyak 150 juta korban serta kerugian sebesar $150 triliun, jika perubahan iklim terus terjadi dalam laju yang tetap seperti saat ini.

Dari gambaran data singkat di atas kita dapat mengetahui bahwa potensi negatif dari kerusakan lingkungan sangatlah besar, tidak hanya bagi lingkungan, tetapi juga nyawa manusia itu sendiri.

Berbagai macam dampak negatif ini digambarkan dengan sangat baik oleh David Wallace-Wells dalam bukunya The Uninhabitable Earth (2019). Rasanya tidak berlebihan jika kita membayangkan apa yang ditulis Wells dalam bukunya akan benar-benar terjadi. Di masa depan, kerusakan lingkungan dapat mencapai titik yang sangat parah sehingga bumi tidak akan lagi bisa dihuni oleh manusia.

Berbagai macam kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini tidak hanya disebabkan oleh sebab-sebab natural dari aktivitas alam saja, melainkan juga disebabkan oleh aktivitas ekonomi industrial dan campur tangan manusia.

Akar masalah dari berbagai macam krisis lingkungan yang saat ini terjadi salah satunya disebabkan oleh pandangan aliran filsafat modern yang disebut sebagai antroposentrisme. Antroposentrisme adalah suatu bentuk kesadaran yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki kedudukan tertinggi dan menjadi pusat dari seluruh kehidupan di alam semesta.

Kesadaran ini pada akhirnya melahirkan pola perilaku manusia yang menempatkan keberadaan lain di luarnya, termasuk alam, sebagai objek yang dapat dieksploitasi secara bebas tanpa batas demi memuaskan hasrat pribadi untuk mengejar keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya (Sari, 2021).

Pandangan ini secara fundamental, sangat bertentangan dengan fungsi manusia yang mengemban peran sebagai khalifah Allah di bumi (khalifatullah fil ardh). Sebagai makhluk yang menerima mandat untuk menjadi wakil Tuhan, manusia memiki tanggung jawab untuk membawa kemakmuran dan kemaslahatan di muka bumi. Seorang mahaguru sufi, Ibnu Arabi, memiliki konsep yang menarik dalam menjelaskan posisi manusia dalam alam semesta ini.

Bagi Ibnu Arabi, manusia adalah sebuah dunia kecil (mikrokosmos) dan alam semesta adalah dunia besar (makrokosmos). Keduanya memiliki hubungan timbal balik yang bersifat lahiriah maupun batiniah secara bersamaan. Alam tidaklah dipandang sebatas objek yang dapat dieksploitasi seenaknya, tetapi alam juga diposisikan sebagai subjek yang memiliki kedudukan sakral dan sejajar dengan manusia (Bagir, 2016). Manusia merupakan bagian dari alam semesta dan tidak memiliki posisi yang sentral dan unik dalam jagad raya ini.

Pandangan demikian menunjukkan kalau sebenarnya agama dapat menjadi sumber moral dan etika untuk memberikan pandangan terkait untuk permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini.

Kesadaran akan pentingnya agama untuk berperan dalam menjawab permasalahan lingkungan ini dapat dilihat dalam perkembangan ilmu fiqih, di mana terdapat perluasan dalam konsep tujuan pelaksanaan syariat (maqashid syari’ah) dalam perdebatan ushul fiqh di kalangan ulama.

Dari yang sebelumnya mengatur lima aspek yang dilindungi yaitu jiwa, agama, akal, harta, dan keturunan, menjadi enam aspek. Dengan tambahan aspek lingkungan sebagai tujuan yang juga masuk ke dalam unsur maqashid syari’ah. Fenomena krisis lingkungan yang saat ini terjadi sangatlah mungkin berpotensi untuk mengganggu kelangsungan unsur-unsur maqashid syari’ah yang telah ada. Oleh karena itu, merumuskan dan mengembangkan fiqih lingkungan (fiqh al-bi’ah) merupakan hal mendesak dan penting sebagai solusi praktis terhadap permasalahan kerusakan alam, demi menjaga harmoni hubungan antara alam dan manusia.

Berbagai macam bencana alam dan wabah yang saat ini terjadi saat ini adalah cara alam untuk berbicara dengan manusia. Banjir menyiratkan pesan bahwa daerah resapan air kini telah berkurang. Lewat kebakaran lahan, alam ingin bercerita bahwa penebangan hutan secara liar telah melewati batasnya. Tanah longsor dan terkontaminasinya sumber-sumber air adalah rintihan alam atas aktivitas eksploitasi tambang yang sedemikian masif dan merusak.

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” – Surah Ar-Rum (30) : 41

Suara-suara alam ini merupakan suatu bentuk peringatan dari Allah SWT akibat perbuatan-perbuatan manusia yang mengeksploitasi alam tanpa batas dan tidak merawatnya seperti perintah-Nya. Krisis yang sudah berlangsung dalam tingkat yang parah ini menuntut manusia untuk kembali merefleksikan dampak-dampak perbuatannya selama ini. Kepentingan ekonomi atau industri tidaklah lebih utama dari kepentingan untuk menjaga kelestarian alam itu sendiri. Praktek-praktek atas sistem eksploitasi yang menghisap kekayaan alam untuk kepentingan ekonomi semata adalah hal-hal yang perlu kita lawan dan cegah.

Isolasi, karantina, serta work from home yang saat ini kita lakukan di tengah pandemi merupakan fase transisi sebelum memasuki dunia pasca wabah corona. Manusia dipaksa untuk membatasi aktivitas sehari-harinya dengan mengurangi intensitas pekerjaan dan mobilitas. Salah satu dampak terselubung dari pandemi salah satunya ditunjukkan oleh Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang kini menunjukkan angka hijau. Jalan-jalan menjadi lengang dan polusi udara menjadi berkurang. Pabrik-pabrik industri kini memproduksi limbah dan sampah lebih sedikit dari biasanya karena produksi yang juga berkurang.

Pandemi yang kita lalui selama dua tahun terakhir ini hendaknya dapat menjadi latihan jihad akbar kita untuk melawan hawa nafsu dan dorongan untuk melakukan perbuatan merusak alam. Sehingga ketika kita memasuki fase pasca pandemi nanti, kita semua menjadi manusia yang sadar akan fungsinya sebagai khalifah dengan merawat dan menjaga lingkungan dengan lebih baik lagi.

Rahmat Tri Prawira Agara
Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Fakultas Sains & Teknologi Universitas Terbuka. Instagram: @rahmat3prawira
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.