Minggu, Desember 8, 2024

Pancasila, Pesantren, dan Kopi

Hasnan Bachtiar
Hasnan Bachtiar
Mahasiswa pascasarjana di the Centre for Arab and Islamic Studies (CAIS), The Australian National University (ANU) dan aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
- Advertisement -

Seperti biasanya, setiap akhir pekan atau pada hari libur, komunitas Muslim Indonesia yang ada di Canberra, berkumpul bersama-sama untuk mengikuti pengajian khataman. Menurut Haula Noor, Ketua Komunitas Khataman Canberra, aktivitas ini rutin digelar, dalam rangka memperkuat solidaritas sosial sesama anak bangsa.

“Aktivitas yang demikian sangatlah penting, dalam rangka membangun semangat keindonesiaan kita. Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bukan hanya dari sisi kultur dan agamanya saja, namun juga organisasi keagamaannya. Karena itu, Komunitas Khataman ini, sebagai representasi dari Indonesia, sangatlah berbhinneka.” Demikianlah hemat seorang kadidat doktor ilmu politik dan perubahan sosial dari The Australian National University (ANU) ini.

Namun pengajian kali ini ada yang spesial. Tepat pada hari Ahad, 9 Juli 2017 di kampus ANU, mereka kedatangan seorang tamu istimewa. Yakni, KH Sholahuddin Wahid atau akrab disapa Gus Sholah. Dalam kesempatan itu, Gus Sholah mendiskusikan Islam, Pancasila dan pembangunan toleransi di Indonesia.

Ada dua hal fundamental yang patut digarisbawahi dalam diskusi tersebut: Pertama, Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara, berdiri dengan nafas keislaman yang luhur; Kedua, nafas keislaman yang luhur tersebut termanifestasikan dalam dasar negara kita, yakni Pancasila. Jadi secara substansial, Indonesia adalah negara yang Islami (bukan negara Islam). Bagi Gus Sholah, itulah demokrasi yang sebenarnya, yang bernafaskan ruh Islam.

Dalam konteks ini, orang dengan latar belakang suku, agama, ras dan golongan manapun, boleh menjadi bagian dari Indonesia. Mereka memiliki kebebasannya sebagai warga negara. Namun, mereka juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban, etika keindonesiaan dan tentu saja, harkat dan martabat kemanusiaan.

Hal ini tentu berlawanan dengan gagasan pendirian negara Islam, yang disuarakan oleh kelompok-kelompok Islam tertentu, terutama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bagi HTI, Islamisasi Indonesia menjadi hal yang harus diperjuangkan. Mereka memimpikan bahwa, jika Indonesia menjadi negara Islam, maka akan menjadi negara yang mampu menjamin kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya.

Boleh-boleh saja memimpikan hal yang demikian. Masalahnya adalah, gagasan tersebut bukan sekedar terlampau utopis. Namun, juga mengabaikan realitas kebhinekaan yang ada. Menurut Gus Sholah, hanya kekuatan yang sangat besarlah yang mampu mewujudkan mimpi pendirian “negara Islam”. Di samping itu, ongkosnya tentu sangat mahal. Artinya, mustahil tidak terjadi perang dan pertumpahan darah, apabila kelompok-kelompok tersebut betul-betul didukung kekuatan yang besar.

Bagi Gus Sholah sendiri, menghindari sesuatu yang mudarat, yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, itu lebih baik, ketimbang membiarkan hal yang tidak jelas jluntrungan-nya (seperti cita-cita mendirikan negara Islam). Menghindari kemudaratan ini, adalah perintah agama yang harus ditunaikan. Jadi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah wajib hukumnya.

Dalam menunaikan perintah agama tersebut, peran pesantren sangatlah besar. Terutama, ketika KH Hasyim Asyari memfatwakan bahwa, “Hubb al-wathan min al-iman” (nasionalisme adalah bagian daripada iman). Di samping itu, para tokoh penting dari dunia pesantren dan Nahdlatul ‘Ulama, pada 21-22 Oktober 1945 telah memproklamirkan “Resolusi Jihad”. Di dalam resolusi tersebut, dikemukakan bahwa membela negara adalah fardu ‘ain hukumnya.
Karena membela negara bersifat fardu ‘ain, maka membela Pancasila yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, juga fardu ‘ain. Dengan demikian, membangun toleransi di negeri pertiwi ini, juga bagian dari ajaran agama kita.

- Advertisement -

Perbincangan hangat mengenai pembangunan toleransi ini, tidak berhenti di sini. Pengajian khataman ini, dilanjutkan dengan menikmati Kopi Tarik khas Aceh. Kopi tradisional yang disajikan secara unik oleh Muhammad Riza Nurdin, semakin mempererat tali silaturahmi keindonesiaan kita.

Baca Juga: Kopi Lanang

Riza, yang juga kandidat doktor Southeast Asian Social Inquiry dari University of New South Wales (UNSW), menjelaskan bahwa, kopi sesungguhnya memiliki peran penting dalam membangun ukhuwah Islamiyah. Pelbagai aktivitas sosial kemasyarakat, selalu melibatkan kopi di dalamnya. Bahkan di dalam sejarah Islam, warung-warung kopi di Turki dan Iran, telah menjadi ruang publik yang memupuk proses demokratisasi dan pembangunan peradaban.

Telah dipahami bersama bahwa, kualitas kopi kita adalah yang terbaik di dunia. Sebenarnya, hal tersebut memiliki makna filosofis bahwa, peradaban Nusantara ini begitu tinggi di hadapan pelbagai peradaban lainnya di dunia. Dengan kopi ini, toleransi kita seharusnya lebih kuat, demokrasi kita lebih substansial, keadaban yang kita tampak dalam kehidupan sehari-hari berbangsa dan bernegara.

Dari forum khataman ini, sebenarnya kita bisa merenungkan satu hal penting. Pancasila, pesantren dan kopi, adalah modal yang sangat besar, yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan ketiga hal tersebut, sebenarnya sudah cukup untuk mewujudkan baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur, atau negara yang adil dan makmur, yang penuh ampunan Ilahi Rabbi.

Hasnan Bachtiar
Hasnan Bachtiar
Mahasiswa pascasarjana di the Centre for Arab and Islamic Studies (CAIS), The Australian National University (ANU) dan aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.