Pancasila, yang lahir dari orasi Sukarno pada 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI, bukan sekadar lima sila, melainkan benteng ideologi yang menolak hegemoni asing. Di tengah pergulatan mencari jati diri bangsa, pertanyaan dr. Radjiman Widyodiningrat tentang dasar negara memicu kelahiran Pancasila sebagai philosophische grondslag. Berbeda tajam dari komunisme, liberalisme, atau fasisme, Pancasila menawarkan visi holistik yang merangkul keragaman, menantang dominasi ideologi global dengan harmoni khas Indonesia.
Hegemoni di Balik Ideologi
Dalam lintasan sejarah, Pancasila sering menjadi alat hegemoni kekuasaan. Pada Orde Lama (1945–1966), Sukarno memanfaatkan Pancasila untuk memperkuat dominasi politiknya, namun gejolak demokrasi dan pemberontakan separatis melemahkan daya perekatnya.
Orde Baru (1967–1998) lebih jauh lagi: melalui program P4, Suharto mendogmakan Pancasila, menjadikannya alat hegemoni ideologis untuk menekan komunisme dan perbedaan pendapat, sembari korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela. Reformasi (1998–sekarang) berupaya membebaskan Pancasila dari cengkeraman hegemoni penguasa, namun bayang-bayang distorsi—dari polarisasi hingga penyimpangan tata kelola—masih menghantui. Pancasila, yang seharusnya mengekang kuasa, justru sering terjebak dalam permainan hegemoni politik.
Melawan Dominasi
Pancasila bukan hanya fondasi negara, melainkan jiwa yang menolak hegemoni dalam kehidupan sosial. Dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa hingga Keadilan Sosial, Pancasila membentuk identitas melalui cara memandang (point of view) dan cara bertindak (way of life). Sebagai lensa, Pancasila melihat keragaman sebagai kekayaan, bukan ancaman. Tindakan nyata, seperti kolaborasi lintas agama dalam komunitas lokal, mencerminkan perlawanan terhadap dominasi intoleransi. Pancasila mengajarkan bahwa kekuasaan sejati ada pada solidaritas rakyat, bukan pada hegemoni elit.
Refleksi 2025
Di tahun 2025, Pancasila tetap menjadi benteng melawan hegemoni kekuasaan di tengah tantangan zaman. Misalnya, pemulihan ekonomi pasca-pandemi menunjukkan optimisme, dengan 66 IPO di Bursa Efek Indonesia mencerminkan penguatan pasar. Namun, pertumbuhan ekonomi digital (diproyeksikan US$130 miliar) menciptakan sebuah hegemoni baru. Platform digital dan buzzer mendominasi wacana publik. Dengan 143 juta pengguna media sosial, narasi polarisasi—seperti ujaran kebencian yang mencapai 51,2% selama pemilu 2024—memperlihatkan hegemoni kelompok tertentu yang memanipulasi opini melalui disinformasi.
Selain itu, protes terhadap UU TNI mencerminkan perlawanan masyarakat terhadap hegemoni kekuasaan negara yang cenderung otoriter. Apalagi wacana-wacana indoktrinasi ekstremis melalui media sosial dan digitalisasi paksa tanpa persiapan mengancam harmoni sosial. Pancasila, dengan nilai kemanusiaan, persatuan, dan musyawarah mufakat, menawarkan solusi, yakni melawan hegemoni digital dengan etika teknologi, menekan kuasa politik dengan dialog, dan memastikan keadilan sosial di tengah ketimpangan ekonomi.