Senin, Oktober 14, 2024

Pancasila dan Petaka Toleransi Neoliberal

DoniKoli
DoniKoli
Mahasiwa filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero, Maumere, Flores, NTT. Sedang menekuni filsafat Zizek.

Salah satu tema yang diperdebatkan dalam forum debat pilpres 2019 sesi ke-empat adalah ideologi. Berbicara seputar ideologi pada umumnya merujuk pada pembicaraan seputar pancasila. Artikel ini hendak memproposalkan sebuah pembacaan lain tentang ideologi yang tidak sempat disadari, dibaca, disentil dan diperdebatkan masing-masing paslon. Penulis ingin membedah dan mengelaborasi ideologi pancasila dalam frame ideologi neoliberal.

Hemat penulis, goncangan terhadap bahtera keindonesiaan hari-hari ini yang tampak lewat bangkitnya kesadaran kelas eksklusif dan politik identitas merupakan pantulan dari black mission agenda multikulturalisme neoliberal yang ingin menargetkan normalisasi konflik masyarakat di pelbagai belahan dunia.

Dalam kamus moral ideologi neoliberal itu, pelbagai kelompok masyarakat didorong untuk setia dan teguh merawat identitas partikularnya sambil menerima perbedaan, tetapi pada saat yang sama mengaburkan aspek-aspek yang mempersatukannya. Akibatnya, identitas dan kategori-kategori kontingen lainnya dipersepsi sebagai yang total dan final.

Dalam kaitannya dengan pancasila sebagai ideologi, salah satu wujud riil hantu neoliberalisme ini tampak dalam upaya untuk memistifikasi pancasila sebagai ideologi yang final. Pancasila diterima sebagai seperangkat nilai, falsafah dan cita-cita yang final dan abai akan dari setiap refleksi, perdebatan dan dinamika pembacaan yang selaras zaman. Pancasila menjadi sedemikian operasional dan pada saat yang sama memproposalkan ketaatan yang buta.

Political Correctness: Petaka Toleransi Neoliberal 

Sejak narasi konfliktual mengenai komunisme dan liberalisme berakhir dengan kejatuhan Uni Soviet pada dekade 80-an, neoliberalisme menjadi narasi dominan dan membuat pertentangan wacana menjadi bias (Resty Anditya: 2017: 3-5).

Tesis pseudo-hegelian Francis Fukuyama yang memaklumkan berakhirnya sejarah dan dominasi total kapitalisme neoliberal menjadi teror global yang menghantui hajat hidup manusia. Dalam pandu neoliberalisme ini, nuansa politis kehilangan spiritnya dan nampak sebagai keharusan moral semata. Setiap perdebatan dan antagonisme dibiakkan di atas milieu moral dengan premis-premis yang bersifat total.

Salah satu narasi yang menjadi sasaran trajektori predatoris ideologi neoliberal tersebut adalah toleransi akan keberagaman. Norma baru tentang toleransi yang berasal dari kamus moral neoliberalisme tersebut bernama Political Correctness (Zizek, 2018). Sepintas lalu, narasi-narasi tersebut kelihatannya lembut dan atraktif. Ia mengajak kita untuk senantiasa merawat identitas kita sambil sesekali melihat, menghargai dan menghormati identitas yang lain.

Akan tetapi, kalau dilihat lebih jeli dan kritis, narasi-narasi moralis tersebut ternyata dibangun dengan maksud agar kita semakin asyik dan sibuk bersoal jawab seputar persoalan identitas kita. Watak toleransi neoliberal ini sedang memaksakan sebuah pandangan positivistik bahwa identitas manusia dan masyarakat bersifat total, final dan paripurna.

Dalam logika toleransi neoliberal, masyarakat dipaksa dan dikondisikan untuk melihat setiap konflik dalam kategori moral dan identitas. Akibatnya, politik nampak sebagai imperatif moral dan terbebas dari debat ideologis serta argumentasi yang rasional. Hingga taraf tertentu, masyarakat akhirnya dibutakan dan tak mampu melihat hubungan antara pelbagai konflik dengan sebab-sebab struktural yang mendasarinya.

Perhatian masyarakat dialihkan dari rangkaian perisitiwa dan kendala struktural yang memicu lahirnya konflik tersebut (objective violence) ke dalam persoalan dan isu-isu permukaan (subjective violence) seperti konflik suku, agama ras dan kelompok (Zizek, 2008). Padahal, di balik selubung struktural tersebut, tersembunyi fakta-fakta ekonomi-politik yang berlapis-lapis dan kompleks.

Ada narasi tentang keterasingan, marjinalisasi, depolitisasi warga negara, kekuasaan berwajah oligarkis serta eksploitasi masyarakat oleh sebuah kekuatan predatoris bernama neoliberalisme yang sedang asyik-asyiknya memperalat demokrasi (Djalong, 2018).

Dalam skala global, bekerjanya logika toleransi neoliberal ini umpamanya dapat dibaca lewat kebangkitan kekuatan etno-sentrisme dan populisme kanan abad ke-21 yang melanda pelbagai negaseperti Front National di Prancis, Lega Nord, Vlaam Belang, PEGIDA di Jerman, Brexit di Inggris dan kemenangan Trump di Amerika Serikat.

Untuk konteks Indonesia, trajektori logika multikulturalisme neoliberal dapat diidentifikasi lewat kebangkitan kesadaran kelas eksklusif, politik identitas dan gelombang politik ultranasionalis. Di satu sisi masyarakat menerima dan mengakui keberbedaan sambil pada saat yang sama nyaman dan sedemikian lekatnya memperjuangkan kategori pembeda yang partikular itu. Konsekuensinya masyarakat kita kian abai dan apatis akan aspek-aspek yang menyatukan keberbedaan itu.

Hari-hari ini primordialisme dan sektarianisme menguasai diskursus dan pertarungan wacana politik kita. Di tangan para elit kekuasaan, orator nyabun dan oligark, isu-isu berbasis identitas ini digembar-gemborkan dalam balutan nasihat-nasihat moral bertopeng agama. Sebagai contoh, dalam kasus pilkada DKI 2016 lalu, tafsiran mainstream yang banyak dipakai untuk melihat seluk beluk persoalan tersebut adalah wabah politik identitas dan sentimen reaksioner berwajah agama.

Padahal, melalui penglihatan yang lebih kritis dan jeli, ada narasi tentang etalase dan krisis ekonomi-politik yang melatari semua gerakan itu. Ada cerita tentang pertarungan gembong-gembong kapitalisme bertubuh oligarkis yang secara instrumental berhasil menggerakan sentimen berbasis agama dan merayakan gelora politik identitas melalui suatu mekanisme kepatuhan.

Petaka toleransi neoliberal juga tampak lewat penetrasi wacana-wacana ultranasionalis yang reaksioner. Hal ini umpamanya tampak dalam cara kekuasaan dan para elit establishment merespon isu dan masalah kebangsaan kontemporer seperti kebangkitan ormas-ormas radikal pengedar kekerasan, islamisme radikal (khilafatisme), terorisme, disintegrasi sosial, dll. Kenyataan yang sama juga dapat ditelusuri dalam usaha kelompok ultranasionalis seperti para jenderal purnawirawan militer dan kelompok agamis garis keras yang menolak pengungkapan kasus pembantaian massal tahun 1965.

Atas nama kemurnian pancasila dan NKRI harga mati, semua persoalan tersebut dikutuk dan ditematisasi sebagai upaya untuk memecah-belah keindonesiaan yang utuh. Sebagai opsi solutifnya, pancasila dikultivasi dan dijadikan solusi paten tanpa kerja epistemologi dan analisis mendalam untuk menemukan sebab-sebab struktural di balik semua persoalan itu.

Pancasila dan jargon NKRI harga mati dimistifikasi sebagai pandu dan solusi tunggal yang abai akan konteks ekonomi-politik dan genealogi krisis objektif yang menyertai soal-soal itu. Ketika pancasila menjadi sedemikian total atau NKRI diilhami sebagai konstruksi politik artifisial yang final, maka diskusi, perdebatan dan pertarungan wacana berbasis argumentasi rasional atasnya menjadi tak relevan lagi. Pancasila dengannya bekerja dalam pola yang sama dengan logik positivistik multikulturalisme neoliberal karena diterima sebagai ideologi rigid, final, tunggal dan finished.

Pancasila dan Imajinasi Kita 

Benedict Anderson (1983: 49-50), sejarawan dan pakar politik dunia, menyebutkan Indonesia sebagai sebuah imagined communities atau komunitas rekaan yang senantiasa terancam pecah. Senada dengan Anderson, Clifford Geertz (1996: 71) menggambarkan Indonesia sebagai sebuah konstruksi artifisial yang terdiri atas ribuan pulau dengan pelbagai suku, adat-istiadat, agama, bahasa, dan pengaruh. Agar dapat bertahan, konstruksi artifisial yang plural ini membutuhkan sebuah overlapping consensus sebagai pemersatu.

Kita tentu amat berterimakasih karena para pejuang kemerdekaan, khususnya para founding fathers telah menyusun fundamen dasar dan acuan filosofis yang menjadi overlapping consensus berupa UUD 1945 dan Pancasila. Sebagai ideologi, falsafah dan esensi hidup kebangsaan, pancasila hanya mungkin lahir dari imajinasi tentang hidup bersama yang damai, adil dan tentram.

Kerja keras para founding fathers untuk merumuskan pancasila sebagai overlapping consensus yang mengayomi semua kelompok dan paham partikular hanya menjadi mungkin oleh political imagined tentang hidup bersama dalam keberagaman. Sejarah heroik dan filosofis perumusan pancasila ini hemat saya dapat menjadi sebuah inspirasi dan kekuatan kolektif untuk melampa dan mengatasi lubang hitam ideologi neoliberal tersebut.

Dengan menghidupi imajinasi bersama, kita dimampukan untuk mengakui bahwa identitas bukanlah sebuah kategori yang final. Ernes Renan menyebutnya sebagai plebisit sehari-hari karena identitas manusia selalu berada dalam proses menjadi (Bdk. Hardiman, 2019: 60).

Senada dengan Renan, Laclau dan Mouffe menulis bahwa subyek dalam hubungannya dengan identitas selalu merupakan subyek yang beraneka ragam. Identitas subyek tak dapat didefinisikan secara total karena ia bersifat ringkih, kontingen dan mengandung sebuah ruang lack yang abadi (Robet, 2010: 103).

Imajinasi bersama akan memaksa kita untuk tidak lekas nyaman dan kaku di bawah sebuah menara gading identitas serta memampukan kita untuk senantiasa berdialektika, berposes dan berkonfrontasi dengan realitas. Dengannya, usaha untuk memaksakan sebuah klaim yang positivistik adalah sebuah kekerasan. Dari sini, kita pun seharusnya sadar dan tahu bahwa tema-tema seputar kebangsaan, nasionalisme, ideologi dan identitas bersama selalu berada dalam proses konstruksi yang kontinual.

Frame berpikir yang sama juga perlu ditempatkan dalam diskursus pancasila sebagai ideologi kebangsaan. Sila-sila pancasila tidak diciptakan negara melainkan ditemukan dan digali dari dalam masyarakat.

Di sini, mengutip Magnis Suseno (1987: 480-481), pancasila adalah ideologi terbuka karena isinya tidak langsung operasional. Ia terbuka bagi dinamika pembacaan yang kontekstual dan berkelanjutan. Pancasila sebagai ideologi dengannya berciri historis dan menolak totalitas interpretasi. Ia tidak merumuskan tuntutan-tuntutan konkret yang operasional dan kaku sambil pada saat yang sama menuntut loyalitas secara mutlak individu-individu pada ideologi itu.

Sehingga, pengurbanan-pengurbanan dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dibebankan kepada masyarakat atas namanya tidak pernah dapat dibenarkannya. Demikian, pancasila bukanlah seperangkat nilai, cita-cita dan falsafah negara yang bersifat final. Setiap generasi baru harus senantiasa merefleksikannya seturut semangat zaman dan mencari implikasi bagi situasi konkritnya sendiri.

Akhirulkalam, saya mengutip salah satu ungkapan Graham Greene (1971: 171) yang menyebut bahwa kejahatan dan penolakan terhadap yang lain hanyalah kegagalan dalam berimajinasi. Saya hakul yakin bahwa setiap manusia dianugerahi sebuah dorongan kodrati untuk memiliki imajinasi tentang mencintai hidup yang baik, adil dan damai. Mari merawat imajinasi. Mari menyebarkan cinta.

DoniKoli
DoniKoli
Mahasiwa filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero, Maumere, Flores, NTT. Sedang menekuni filsafat Zizek.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.