Sejak tahun 2017 tanggal 1 Juni menjadi hari libur nasional untuk memperingati hari lahir Pancasila. Momentum ini dapat menjadi refleksi bagi bangsa Indonesia guna mengartikulasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai dasar negara terasa kering makna dalam beberapa tahun terakhir karena euforia reformasi. Orde reformasi seolah menjadi luapan emosi bagi kita untuk menanggalkan apapun yang berkaitan dengan orde sebelumnya, termasuk semangat pengamalan Pancasila.
Sistem demokrasi yang memberikan otoritas bagi rakyat untuk memilih langsung Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota yang paling kita rasakan perubahannya. Di masa orde baru pemimpin negara dan kepala daerah cukup dipilih oleh wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif.
Kedaulatan rakyat menjadi alasan mendasar bagi bangsa ini melakukan amandemen Undang Undang Dasar 1945 yang membuka pintu perubahan tatanan bernegara. Sebelumnya kekuasaan yang terlalu dominan ditangan eksekutif dan legislatif, sedikitnya pengaturan mengenai HAM serta juga dinilai mulai lemahnya sistem ketatanegaraan Indonesia melalui checks and balances.
Pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mendapat kesempatan untuk menyampaikan gagasan tentang dasar negara Indonesia merdeka yang disebut Pancasila. Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Junbi Cosakai.
Sejarah mencatat perdebatan dan pertukaran gagasan tentang rumusan awal dasar negara. Para negarawan yang tergabung dalam Panitia Sembilan berupaya sekuat tenaga agar rumusan yang dihasilkan dapat diterima seluruh komponen bangsa. Coba kita bayangkan apa yang terjadi jika perdebatan tentang dasar negara dilangsungkan pada hari ini.
Terlepas dari berbagai dinamika yang terjadi dan tanpa melupakan beragam peristiwa yang mengiringi, sekarang kita mengenal rumusan Pancasila yang termaktub dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945. Rumusan tersebut kemudian disahkan sebagai dasar negara Indonesia Merdeka pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Mari kita coba renungi ruh semangat yang terkandung dalam narasi; Ketuhanan yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemaknaan Pancasila sebagai pedoman dalam bernegara semestinya mampu melahirkan jiwa kenegarawanan. Lima sila jika dilaksanakan dengan konsisten dan konsekwen akan mampu merealisasikan tujuan berdirinya negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Problem mendasar yang dihadapi bangsa ini adalah praktik pengelolaan negara yang semakin menjauh dari haluan dasar yang disepakati. Perilaku keseharian yang dominan justeru tidak sejalan dengan semangat yang terkandung dalam butir-butir Pancasila.
Kebebasan yang seolah menihilkan ketuhanan, kemanusiaan yang semakin menjauh dari nilai-nilai keadaban, semangat persatuan yang tergerus ego kelompok dan golongan, kepemimpinan yang didominasi kepentingan duniawi tanpa mengindahkan hikmah dan kebijaksanaan serta keadilan sosial yang serasa semakin jauh dari harapan.
Memperingati lahirnya Pancasila selayaknya dilakukan dengan keteladanan para pemimpin negeri dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada rakyat. Pemerintah sebagai penyelenggara negara berkewajiban untuk mentransformasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap kebijakan yang bersentuhan dengan hajat hidup rakyat.
Tahun ini kita memperingati lahirnya Pancasila ditengah umat manusia sedang menghadapi bencana non alam pandemi Covid-19. Ratusan negara merasakan dampak penyebaran wabah Corona yang telah menelan jutaan korban meninggal dunia. Indonesia tidak luput dari serangan virus Corona yang tak kasat mata.
Sejak Presiden Jokowi mengumumkan pertama kali pada 2 Maret 2020 tentang adanya warga terpapar Covid-19 sampai hari ini (30/5/2020) jumlah pasien positif sebanyak 25.773 orang. Sedangkan korban meninggal di tanah air telah mencapai 1.573 orang. Penyebaran virus Covid-19 sudah menjangkau seluruh wilayah provinsi dan 414 kabupaten/kota di Indonesia.
Dampak yang paling dahsyat adalah terhentinya aktivitas perekonomian. Jutaan orang kehilangan pekerjaan sehingga kesulitan memperoleh penghasilan. Tidak sedikit keluarga yang terancam kekurangan bahan pangan. Banyak orang yang terkena PHK karena industri mesti melakukan penyesuaian dengan protokol kesehatan. Bahkan, sektor penerbangan dan pariwisata mati suri karena pengunjung sepi.
Kolaborasi seluruh komponen bangsa sangat dibutuhkan untuk menanggulangi pandemi yang melumpuhkan seluruh sektor kehidupan. Pemerintah dengan segenap potensi yang dikuasai berupaya mengatasi dampak akibat sebaran virus tersebut. Masyarakat dihimbau untuk menaati protokol kesehatan demi memutus penyebaran virus agar tidak semakin meluas.
Kekompakan seluruh rakyat sangat diperlukan untuk menghadapi wabah virus yang belum berhasil ditemukan vaksin pencegahnya. Wabah corona tidak bisa ditanggulangi secara parsial dan individual. Cara efektif memutus mata rantai penyebaran harus dengan kolektif kebersamaan dan kepatuhan terhadap aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
PSBB yang diberlakukan di 4 provinsi dan 17 kabupaten/kota diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat untuk menjaga jarak (physical distancing), cuci tangan pakai sabun, hindari kerumunan dan gunakan masker untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona.
Pancasila yang esensi ajarannya adalah gotong-royong mengandung arti bahwa hidup tolong menolong dalam tradisi masyarakat Indonesia. Gotong-royong tidak hanya merupakan wujud keterikatan sosial antar satu dengan yang lain, tetapi lebih dari itu memiliki makna religius spiritual yang sakral.
Hikmah yang dapat kita petik dari bencana pandemi Covid-19 adalah perlunya kita semua menyegarkan kembali semangat gotong royong sebagai panduan kebiasaan baru (new normal) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seharusnya tata kehidupan berpolitik, ekonomi, hukum maupun sosial selalu dilandasi semangat silih asah, silih asih dan silih asuh.
Pengaruh faham sekuler, liberal dan kapitalisme yang tidak sejalan dengan ajaran Pancasila sudah semestinya kita jauhi. Norma yang harus ditumbuhkembangkan dalam hubungan antara pemerintah dengan rakyat, maupun hubungan antar masyarakat seyogyanya mengacu pada nilai-nilai Pancasila.
Kita tentu tidak ingin dijuluki sebagai manusia abnormal yang berperilaku sehari-hari bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Maka sudah sewajarnya sebagai orang Indonesia, kita mengejawantahkan Pancasila menjadi pedoman dalam tatanan kehidupan ‘new normal’ pasca pandemi.
Menghidupkan Pancasila dengan cara yang paling mudah, yakni menyakini dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan melaksanakan dengan amal perbuatan. Semoga kita bisa melestarikan Pancasila dengan bukti nyata bukan sekedar kata-kata.**