Selasa, Oktober 8, 2024

Pakai Kaos Converse Dituduh PKI, Gambar Marx Dikira Suka Mabuk

Widi Hermawan
Widi Hermawan
Lahir di Banyumas, hijrah ke Jogja mencari kata-kata.

Di sebuah warung kopi, di pojokan Jogja, seorang kawan yang usianya jauh si atas saya bercerita tentang kisah temannya ketika masa kuliah era 90-an. Sebut saja namanya Bogel, (tentu bukan nama sebenarnya).

Dengan sebatang rokok kretek yang tinggal setengah ditangannya, Bogel bercerita, betapa isu PKI sangat sensitif di kalangan mahasiswa saat itu. Konon, di sebuah kampus swasta di Jogja, kawannya pernah dipersekusi oleh sekelompok mahasiswa dari sebuah organisasi yang sangat anti dengan semua hal yang sifatnya kekiri-kirian.

Tidak tanggung-tanggung, teman si Bogel sampai dipukuli hanya karena memakai kaos bergambar bintang berwarna merah.

Mendengar kawannya mendapat perlakuan represif, Bogel yang dikenal sebagai salah satu preman kampus naik pitam. Namun setelah melihat kaos yang dipakai temannya, Bogel justru tertawa terbahak.

“Jebul mung logo Converse, dikira gambar bintang sosialis, hahaha,” kata si Bogel membuat kami semua yang sedang ngopi saat itu ikut terbahak. Bahkan salah satu dari kami sampai tersedak, karena tak tahan menahan tertawa saat menyeruput kopinya.

Bar kui tak goleki sing ngeroyok koncoku,” Bogel lanjut bercerita dengan asap rokok yang turut keluar dari mulutnya. Dengan semangat ia menirukan percakapannya dengan orang-orang yang mengeroyok temannya itu.

Maksudmu opo nggebuki koncoku?”

“Koncomu PKI kok”

“Seko ngendi koe ngerti koncoku PKI?”

 “Lha kaose kae lho, gambare PKI”

 “Emang PKI kui opo?”

 “PKI yo wong-wong sing ora bertuhan, ateis”

 “Emang koe wis pernah moco buku opo wae tentang PKI?”

 “Urung moco lah, ngopo buku-buku haram diwoco”

 Sontak kami semua yang duduk melingkari meja di warung kopi itu kembali tertawa menahan geli.

Lain kisah, beberapa bulan lalu saya dan beberapa kawan membuat kaos bergambar Karl Marx dengan tulisan “HORMATILAH ORANG TUA” di bawahnya.

“Tenang, orang-orang sumbu pendek tidak akan tahu kalau ini wajah Karl Marx, bahkan mungkin mereka tidak akan tahu siapa itu Marx. Orang-orang sumbu pendek itu tahunya hanya palu arit saja,” kata saya meyakinkan kawan saya, sebut saja Godam (bukan nama sebenarnya juga).

Singkat cerita, si Godam pulang dari daerah Temanggung, setelah satu setengah bulan melaksanakan tugas negara, KKN. Dia langsung menjadi pembicara utama dalam sebuah diskusi kecil dadakan di pojokan kampus. Mulai dari kultur masyarakat, kisah asmara dengan kembang desa, kejadian-kejadian horor di posko KKN, semua dibahas dalam obrolan itu.

Namun yang paling menarik adalah cerita ketika Godam memakai kaos bergambar Marx saat hendak menghadiri acara perayaan 17-an. Di tengah jalan menuju lapangan kampung, Ia diberhentikan oleh seorang bapak-bapak berseragam loreng-loreng. Ia adalah anggota sebuah ormas keagaman yang sangat anti dengan segala hal yang berbau kekiri-kirian. Slogannya, ‘NKRI Harga Mati!’. Mereka juga kerap melakukan persekusi kegiatan-kegiatan ormas lain yang dicap intoleran oleh pemerintah. Sampai sini, tahu kan siapa mereka?

Aku wes panik banget cuk!,” kata Godam. Kami semua menjadi ikut antusias menyimak ceritanya dengan seksama.

Terus gimana, cuk?” tanya salah satu kawan yang tampaknya ikut tegang juga.

“Itu maksudnya apa kamu pakai baju kayak gitu mas?” si Godam menirukan gaya bicara anggota ormas itu, lengkap dengan medhok-medhok ala Temanggungan.

Tambah panik aku cuk,” lanjut Godam.

“Terus bapaknya tanya lagi, ‘kamu suka mabok po?”

 Kami semua spontan tertawa sampai terpingkal-pingkal.

“Jancukkk, hahaha. Untung bego,” kata Godam diikuti suara tertawa kami yang memecah kesunyian kampus di senja itu.

Kisah lain lagi, kali ini saya sendiri yang mengalaminya. Bersama tiga orang teman, saya bermaksud mencari kado pernikahan seorang kawan kami di sebuah toko perlengkapan rumah tangga di Jl. Mataram, Jogja. Saya memakai kaos bergambar Marx, seperti yang di pakai Godam tadi dengan kemeja flanel yang sengaja tidak dikancing. Saat asyik memilih-milih rice cooker, seorang SPB tiba-tiba menghampiri saya sembari nyelethuk. 

“Kaosnya bagus mas, Marxis,” katanya tiba-tiba.

Saya yang merasa mendapat serangan tak terduga itu saya gelagepan. Belum sempat menjawab apapun, SPB itu kembali meluncurkan serangan.

“Orang kiri ya mas?” katanya lagi. Saya berusaha menenangkan diri, dengan tenang saya jawab sekenanya.

“Bukan mas, ini cuma hadiah kok,” kata saya masih agak terbata.

“Rapopo mas, jarang ada yang tau kok,” katanya membuat saya lega sekaligus heran. Seorang SPB rice cooker tahu siapa itu Karl Marx. Bukan maksud saya memandang rendah pekerjaan itu, tapi di sisi lain, orang-orang yang katanya terdidik, sangat anti dengan komunisme, bahkan tidak tahu apa itu komunisme.

Saya jadi ingat perkataan seorang kawan yang bekerja sebagai jurnalis, katanya “Jogja ini memang kawah candradimukanya orang-orang terpelajar, kamu nyomot orang di angkringan sembarang saja, mungkin bacaannya Das Kapital”.

Di sisi lain, dari beberapa kisah ini, saya semakin yakin, bahwa hanya orang-orang sumbu pendek tak berideologi yang takut dan alergi pada komunisme. Mereka yang sangat anti dengan komunisme, biasanya tidak tahu apapun tentang komunisme kecuali simbol palu arit dan ateisme.

Mereka hanya mengonsumsi doktrin-doktrin orde baru tentang betapa bengisnya PKI. Berbeda dengan mereka yang paham betul, atau setidaknya sedikit mengerti tentang komunisme. Wawasan mereka lebih terbuka karena buku-buku yang mereka baca. Dan orang-orang dilingkaran ini cenderung lebih santai menanggapi isu-isu macam komunisme, bahkan biasanya mereka hanya menanggapinya dengan guyonan dan candaan. Misal seperti kawan saya menanggapi temannya yang mengajak berdebat tentang boleh tidaknya komunisme dipelajari.

“Untuk apa dipelajari, komunisme itu ajaran sesat, tidak bertuhan”

 “Ya bener mas, komunisme itu memang sesat, tidak bertuhan. Karena yang lurus dan bertuhan cuma kamu”

 Mungkin benar kata Dandhy Laksono, seharusnya komunisme itu tidak dilarang, melainkan dipelajari di sekolah dan kampus, sebagaimana kapitalisme diajarkan di sekolah dan kampus. Sehingga orang-orang bisa belajar tentang komunisme dengan baik. Supaya tidak ada lagi yang menuduh komunis kepada presiden yang sangat kapitalis.

sumber gambar: http://bentengnkricom.blogspot.com

Widi Hermawan
Widi Hermawan
Lahir di Banyumas, hijrah ke Jogja mencari kata-kata.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.