Oleh : Widdy Apriandi
(Penulis adalah pegiat kopi tanah air sekaligus founder kedai kopi “Bandit” Purwakarta)
Hampir pasti, saat ini anda tidak kenal dengan sosok Pak Mumud. Begitu pun saya pada awalnya. Namun, beruntung saya bisa berkenalan dengannya suatu hari. Pertemuan tak sengaja, namun pejal makna.
Pak Mumud kira-kira berprofesi sebagai transporter. Pengantar barang. Ia mengirim barang berupa hasil alam (sayur dan sebagainya) dari produsen ke pasar-pasar. Salah satu daerah antarannya adalah Purwakarta.
Bila transporter yang anda bayangkan adalah macam Jason Statham yang macho itu, maaf saja anda bakal kecewa. Perawakan Pak Mumud justru sedang-sedang saja, beruban pula. Namun, ada sisi yang membuatnya tampil luar biasa, yaitu ia santun, periang dan tega berbuat baik. Tanpa pandang bulu, hatta orang baru.
Orang baru itu adalah saya. Ia menolong saya bersama istri di situasi malam gelap, plus hujan deras, sambil juga didera ban motor bocor di daerah antara Segala Herang dan Garokgek, Kec. Kiarapedes. Semacam derita ‘combo’-lah. ‘Paket’ meriah.
IMAJI PURWAKARTA
Ia sigap. Tanpa pikir panjang, Pak Mumud mempersilakan kami untuk menaikkan motor ke mobil pick-upnya. Lalu, kami dipersilakan duduk di depan. Di samping kemudi. “Teu nanaon da’ saarah, a” 1 katanya yang membuat saya lega. Menurutnya, Ia dalam perjalanan mengirim antaran sayuran ke Cikampek.
Teringat betul, kami yang kedinginan dan dihajar adrenaline rush ditenangkan beliau dengan tutur cerita beliau yang kalem. Ia pendongeng yang baik. Kami terbuai ceritanya ; bahwa ia asli Cianjur, bertahun-tahun berprofesi sebagai transporter. Lalu, yang paling berapi-api adalah saat ia mengungkapkan kekagumannya pada Purwakarta.
Purwakarta di mata Pak Mumud adalah rumah ke-dua yang menyenangkan. Baginya Purwakarta sudah tidak berasa “lembur batur”2, melainkan tempat kembali yang tidak asing lagi. “Saya sok nguseup a unggal minggu di Jatiluhur, makana ka Purwakarta mah tos asa di lembur nyalira,” 3 ujarnya bersemangat.
Obrolan mengalir lancar. Nyaris tak disela jeda. Jatiluhur kadung menjadi ‘magnet’ bagi pribadi Pak Mumud. Mancing memang telah jadi hobi. Tapi, menurutnya, keindahan alam Jatiluhur membuat hobinya itu makin syahdu. “Enakeun. Kalem ari di Jatiluhur teh,” 4 tukasnya.
Mobil melaju kencang. Tak disangka sudah tiba di Citalang. Tak henti-henti Pak Mumud memuji kondisi jalan di Purwakarta yang bagus. “Leucir,” kata beliau. Secara harafiah berarti licin dan secara bisnis berarti kemudahan melayani jasa antaran. “Untar-anteur teh enakeun, a. Teu paur di jalanna,” 5 ungkapnya.
Tiba-lah kami di tujuan. Di daerah Ceulibadak, Kel. Tegal Munjul. Saatnya berpisah. Bersama-sama, saya dan Pak Mumud menurunkan motor yang diangkut di belakang.
Ada perbincangan lagi. Sedikit. Ia bilang, karena kesibukannya, maka belum sempat-lah dirinya mampir ke Taman Sri Baduga. Padahal, meski sekilas, Ia sering lewat. Kerap Ia terpaku. Pembangunan di Purwakarta bisa semantap itu. Keren. Ia berjanji akan melipir ke sana sekali waktu. Ia ingin menyaksikan sendiri air mancur yang kata orang banyak terlihat seperti menari.
Saya dan Istri menjabat tangannya. Kami selipkan lembaran uang sebagai tanda balas jasa baik beliau. Ia menolak. Berkali-kali, hingga Ia bilang, “Artos kenging ku seep. Kahadean mowal seep ku waktos. Ieu mah syareat urang duduluran,” 6 timpalnya tulus.
Kami terpaku. Speechless. Ia orang baik. Kemarin, sekarang dan seterusnya. Kami yakin.
Catatan kaki :
1. Percakapan : “ngga apa-apa, kita se-arah”
2. Istilah : kampung orang.
3. Percakapan : “saya suka mancing tiap minggu di Jati Luhur, makanya ke Purwakarta itu sudah kayak daerah sendiri.”
4. Percakapan : “Enak. Tenang di Jatiluhur itu.”
5. Percakapan : “Mengantar sesuatu jadi mudah. Ngga khawatir di jalan.”
6. Percakapan : “Uang bakal habis. Kebaikan ngga akan pernah habis. Anggap ini jalan menjadi saudara.”