Kala masih kuliah di Malang, sering saya mengikuti forum yang dihadiri Pak Malik Fadjar, baik Pak Malik sebagai pembicaranya, atau sekadar memberi sambutan. Pernah juga melakukan wawancara khusus, terutama karena beliau adalah sosok penting di UIN Malang. Big fathernya.
Salah satu forum yang dihadiri Pak Malik, yang begitu saya ingat adalah Seminar Pesantren di UMM, kala rektor UMM masih dijabat Prof. Muhadjir Effendy.
Kala itu hadir juga Gus Sholah, adik Gus Dur. UMM dan Tebuireng punya hubungan yang harmonis. Gus Dur sempat mau kuliah S2 di UMM, setelah ditolak IAIN karena administrasi tak terpenuhi. Namun, Pak Malik yang saat itu rektor, justru menawarinya jadi dosen S2.
Kata Gus Sholah, Pak Malik berkata: Gus Dur tidak perlu kuliah, langsung saja jadi dosen. Mungkin itu setengah guyonan Gus Sholah, namun menunjukkan betapa cairnya hubungan antar tokoh dua lembaga beda ormas tersebut.
Pak Malik juga salah satu tokoh penting dalam kemelut politik 1998. Beliau bersama beberapa orang antara lain Cak Nur, Cak Nun, Pak Quraish Shihab, adalah orang yang diundang khusus Pak Harto ke Istana untuk memberi semacam Advice.
Pak Malik bercerita, bahwa Pak Harto ingin membentuk dewan atau komite reformasi, dan meminta Cak Nur (Nurcholish Madjid) sebagai ketuanya. Pak Harto ingin mundur sepaket dengan wakilnya, B.J Habibie. Sementara mandat pengamanan penuh diberikan Jenderal Wiranto.
Namun Cak Nur tidak bersedia. Pak Habibie juga tidak ikut mundur. Setengah hati Pak Harto menyerahkan mandat itu ke Pak Habibie, yang akhirnya naik jadi Presiden.
Sejarah ini menarik, bahwa Pak Harto sebenarnya juga karib dengan tokoh-tokoh HMI. Andai Cak Nur menerima tawaran Pak Harto, bisa jadi Cak Nur lah yang akan jadi Presiden atau pemimpin transisi atas dasar delegation of power, karena Pak Wiranto juga tidak menunjukkan keinginan untuk menjadikan mandat itu–seperti Supersemar, misalnya.
Pak Malik termasuk tokoh teras KAHMI. Jangan keliru, Ia dekat dengan Gus Dur, namun dalam buku Menjerat Gus Dur, dituliskan bahwa pihak yang melengserkannya adalah HMI Connections.
Singkat cerita, Pak Habibie naik jadi Presiden. Pak Malik jadi Menteri Agama, menggantikan Prof. Quraish Shihab.
Ketika Gus Dur memenangkan polling di DPR dan akhirnya jadi Presiden, jabatan Menteri Agama digantikan KH. Tolchah Hasan. Pak Malik tidak mejabat apapun, namun posisi Menteri Pendidikan Nasional tetap dijabat tokoh dari Muhammadiyah yaitu Prof. Yahya Muhaimin, bukan dari HMI, melainkan IMM.
Sosok Pak Malik sangat unik, disamping dekat dengan Pesantren Tebuireng, juga punya hubungan baik dengan Bu Megawati. Saking dekatnya, jabatan Menko Kesra Ad-interim pun dipercayakan ke Pak Malik.
Kedekatannya dengan Bu Mega, tidak lain karena hubungan historis-ideologis. Bu Mega adalah keturunan tokoh Muhammadiyah.
Dalam suasana politik yang serba rumit, Pak Malik bisa menjalin relasi baik dengan Bu Mega dan Gus Dur sekaligus, serta posisinya sebagai tokoh HMI. Kita semua mungkin penasaran bagaimana respon beliau terkait HMI Connections yang disebut melengserkan Gus Dur.
Intinya, sikap luas dan luwes yang jadi motto hidupnya benar-benar dijalankan. Pergaulannya yang luas, sekaligus luwes menghadapi kondisi sosial politik yang ada, menjadikannya teladan pada banyak aspek. Selamat jalan, Pak Malik.