Selasa, April 16, 2024

Pak Jokowi, Lockdown atau Tidak?

Dwiki Agung Pebrianda
Dwiki Agung Pebrianda
Penulis menyukai kebijakan publik, ekonomi, dan tidur.

Belakangan kata lockdown menjadi kata yang seringkali mampir di beranda media sosial kita. Entah kata itu mewujud dalam nada pro atau kontra, lockdown menjadi kata yang seakan tak terpisahkan dengan pandemi yang sedang mewabah ini.

Seiringan dengan pemberitaan terkait virus Corona, berbagai pernyataan yang menuntut pemerintah untuk segera memberlakukan lockdown muncul. Di sisi lain, muncul sikap keberatan sebagian masyarakat yang menganggap lockdown akan mematikan penghidupan orang banyak, terutama mereka yang bekerja di sektor informal dan tidak memiliki safety net semisal tabungan darurat.

Jika kita tarik lagi ke inti masalah, isu lockdown muncul sebagai alat untuk menahan laju penyebaran virus Corona yang terbilang begitu cepat. Lockdown yang merupakan pembatasan gerak masyarakat diyakini dapat menahan laju penyebaran virus. Lalu, apakah lockdown ini sesuatu yang harus diberlakukan? Mengingat jutaan warga Indonesia bisa saja berakhir tanpa penghasilan dalam kurun waktu yang tidak sebentar.

Korea Selatan merupakan salah satu negara yang terpapar pandemik ini dengan skala yang cukup parah. Sampai detik tulisan ini ditulis, sudah ada sekitar delapan ribu kasus dan sembilan puluh satu di antaranya berakhir dengan kematian. Tapi, walaupun jumlah kasusnya terbilang masif, kegiatan ekonomi sehari-hari di Korea Selatan berjalan normal.

Alih-alih lockdown, pemerintah di sana menerapkan sikap preventif dengan menyelenggarakan tes massal dan menyediakan fasilitas kesehatan yang cukup untuk mengisolasi pasien positif Corona. Sampai sekarang, Korea Selatan berhasil menekan laju penyebaran virus Corona, baik dalam jumlah kasus baru maupun total kasus.

Tindakan berkebalikan terjadi di Wuhan, Cina. Pada 23 Januari, Wuhan ditutup dan lockdown pun berlangsung. Warga dikarantina di dalam rumah dan semua pergerakan dibatasi. Semua tindakan sangat ditentukan dan terpusat dari pemerintah. Tindakan ini, walau berbeda 180° dengan Korea Selatan, pun dapat juga menekan kurva penyebaran virus Corona.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari dua kasus berbeda ini?

Titik kuncinya ialah: penyebaran. Terlepas dari diberlakukannya lockdown atau tidak, semua bergantung pada sistem pengendalian penyebaran virus. Selama sistem yang dipakai dapat menekan laju penyebaran, maka kita dapat bernafas lega. Masalah yang muncul ialah tipe kebijakan mana yang harusnya kita, Indonesia, terapkan?

Dalam kasus Korea Selatan, lockdown tidak diperlukan karena aksi preventif mereka terbukti ampuh. Walau masyarakat tetap beraktivitas seperti biasa, fasilitas medis siap melaksanakan tes massal hingga belasan ribu dalam sehari sehingga mereka yang terjangkit lebih mungkin diketahui keberadaannya dan dapat segera dikarantina guna mencegah penyebaran lebih lanjut.

Komunikasi terbuka juga dilancarkan dengan gencar mulai dari pemberitahuan kasus baru beserta keterangan lokasinya, update tata cara penanganan, hingga sistem yang melacak mereka yang terinfeksi. Hal ini diperkuat dengan birokrasi pengadaan fasilitas kesehatan yang cepat dan terdesentralisasi sehingga penanganan dapat dilakukan dengan cepat.

Jika Indonesia ingin meniru gaya penanganan ala Korea Selatan, maka keberadaan fasilitas kesehatan kita juga harus mencukupi. Tes dengan skala masif harus ada guna mendeteksi siapa saja yang terinfeksi Covid-19 ini.

Dengan kapasitas tes kita yang sekarang saja, jumlah suspect sampai sekarang sudah bertambah empat kali lipat lebih dibandingkan minggu sebelumnya. Kasus yang terlewat sama saja dengan bom waktu. Pengetahuan akan keadaan riil di lapangan akan mempermudah pemerintah dalam perencanaan strategi ke depannya.

Solusi lainnya ialah lockdown yang tentu saja berpotensi menekan aktivitas ekonomi kita yang sebenarnya juga sudah tertekan bahkan sejak awal tahun ini. Lockdown berarti pembatasan aktivitas yang berujung pada berkurangnya transaksi ekonomi. Kafe, restoran, pusat perbelanjaan, tempat hiburan, dan semua usaha lainnya akan mengalami guncangan karena konsumen mereka akan jauh berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali dikarenakan penutupan total.

Hal ini dilematis sekali karena ada jutaan masyarakat Indonesia yang akan terdampak. Parahnya lagi, kebanyakan dari mereka yang terdampak ialah mereka yang tidak punya pilihan, seperti para petugas kebersihan atau driver ojek online yang jika tidak bekerja maka mereka tidak akan mendapat penghasilan.

Terkait pekerja yang akan kehilangan sebagian atau bahkan seluruh pendapatannya akibat lockdown, maka harus ada intervensi untuk memastikan mereka tetap bisa bertahan sampai wabah ini berakhir. Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan menteri jajarannya untuk meng-hold anggaran dan program yang ada dan mengalihkannya untuk menolong masyarakat. Pemerintah sendiri sudah punya program bantuan sosial yang cukup banyak, mulai dari BPJS Kesehatan, Program Keluarga Harapan, sampai bentuk subdisi lainnya.

Progaram-program ini vital keberadaannya dalam menciptakan jaring pengaman bagi mereka yang berada dalam kondisi paling rentan. Jangan sampai ketika wabah ini berakhir, terdapat golongan masyarakat kita yang kesulitan melanjutkan hidup karena seluruh aset dan kekayaan mereka habis dijual untuk melewati hari-hari tanpa penghasilan. Kehilangan aset dan kekayaan dapat menjadi titik balik kehidupan seseorang, apalagi jika penghidupannya disandarkan sepenuhnya pada aset tersebut.

Tapi, bukan cuma pekerja saja yang akan menderita dampaknya. Pengusaha juga pasti terpukul jika lockdown diberlakukan . Penerapan lockdown, mau tidak mau, pasti akan mempengaruhi produktivitas perusahaan.

Walaupun terdapat sistem work from home (WFH), tetap saja ada banyak elemen pekerjaan yang tidak bisa dilakukan lewat dunia maya. Ini belum menghitung faktor konsumen yang pasti jauh berkurang akibat penerapan lockdown. Keadaan ekonomi yang melemah tentunya berimbas pada komset yang terjun bebas. Hal ini dikombinasikan dengan produktivitas pegawai yang menurun merupakan pukulan telak bagi perusahaan. Jangan kaget jika nantinya sektor swasta akan banyak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat kesulitan keuangan.

Likuiditas ialah tantangan terbesar perusahaan dalam kondisi ini. Rekanan bisnis perusahaan kemungkinan besar juga mengalami kesulitan yang sama sehingga pembayaran tagihan mungkin akan terlambat. Selain itu, perusahaan mungkin memiliki utang bank yang harus dicicil beserta bunganya.

Belum lagi menghadapi gaji karyawan dan biaya rutin lainnya. Masalah likuiditas ini berujung dilematis tatkala dihadapkan pada pilihan survive dan memotong biaya operasional dengan melakukan PHK atau tetap memberikan gaji kepada karyawan dengan resiko gulung tikar.

Solusi apapun yang nantinya diambil, tentu tidak akan mudah. Masalah sekompleks ini kemungkinan besar akan berujung pada sebagian pihak yang merasa kurang puas. Hal ini wajar. Tapi, hal yang pasti ialah virus ini merupakan masalah bersama. Diperlukan kerjasama kita semua untuk mengatasinya. Maka dari itu, mari kita lakukan hal-hal kecil yang bisa kita lakukan. Apapun itu, sekecil apapun itu.

Dwiki Agung Pebrianda
Dwiki Agung Pebrianda
Penulis menyukai kebijakan publik, ekonomi, dan tidur.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.