Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nusa Tenggara Timur merilis angka pertumbuhan ekonomi triwulan II. Tercatat, ekonomi Provinsi NTT mengalami kontraksi sebesar 1,96 persen dibanding periode yang sama pada tahun 2019 (yoy).
Secara historis, angka pertumbuhan ekonomi flobamora selalu bergerak positif sejak reformasi. Dalam suasana pandemi, angka pertumbuhan yang negatif ini dianggap lumrah. Jika dibandingkan dengan angka nasional, performa perekonomian NTT masih lebih baik. Fenomena bulan puasa dan Idulfitri pada triwulan II nyatanya tidak mampu menolong geliat ekonomi NTT di tengah pagebluk. Meskipun begitu, ekonomi NTT masih tumbuh 0,96 persen dibanding triwulan I tahun 2020.
Tidak bisa mengelak
Amblasnya perekonomian NTT triwulan II ini tak ubahnya sebuah takdir. Wabah Covid-19 yang merebah di seluruh penjuru tanah air seolah menghentikan urat nadi perekonomian. Berbagai himbauan pemerintah untuk menghentikan aktivitas di luar rumah seolah menjadi biang keladi.
Jika dirinci lebih lanjut, terdapat 6 (enam) sektor yang selamat dari amukan Covid-19. Yaitu, sektor jasa kesehatan; Administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib; Pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang; Jasa keuangan dan asuransi; Pengadaan listrik dan gas; Serta sektor informasi dan komunikasi yang masih mencatat pertumbuhan positif secara year-on-year.
Infokom menjadi salah satu sektor ekonomi yang mencatat pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 15,36 persen (yoy). Hal ini disebabkan pada 3 (tiga) bulan terakhir, pemberlakuan kebijakan WFH dan sekolah daring membuat konsumsi pada sektor ini meningkat. Sebaliknya, terdapat 3 (tiga) sektor yang mengalami pukulan telak karena pandemi.
Yaitu, sektor jasa perusahaan; Penyediaan akomodasi dan makan minum; Serta sektor transportasi dan pergudangan yang mengalami kontraksi di atas 20 persen (yoy). Sektor pertanian juga tak luput dari pandemi ini. Menyumbang 30,01 persen PDRB Provinsi NTT pada triwulan II ini, sektor pertanian mengalami kontraksi sebesar 0,34 persen dibanding periode yang sama tahun 2019.
Jika ditelisik, penyebab utama dari “kegagalan” ini adalah terhentinya transportasi udara di Provinsi NTT. Sektor transportasi dan pergudangan menyumbang sumber kontraksi terbesar pada perekonomian NTT di triwulan II ini yaitu sebesar 1,24 persen (yoy). Sebagai provinsi yang berbasis kepulauan, transportasi udara tak ubahnya urat nadi bagi perekonomian masyarakat sekitar.
Sejak bulan April lalu, pemerintah perlahan menghentikan aktivitas penerbangan. Bahkan, BPS mencatat hanya terdapat 832 orang yang lalu-lalang di 14 bandar udara yang dimiliki Bumi Flobamora pada bulan Mei sebelum akhirnya perlahan dibuka pada pertengahan Juni yang lalu. Imbasnya, seluruh sektor ekonomi nyaris lumpuh. Terlebih sektor penyediaan akomodasi dan makan minum yang sangat tergantung dengan lalu lintas udara. Sampai-sampai, beberapa hotel berbintang di Kota Kupang pun tidak beroperasi sementara untuk mengurangi beban biaya operasional.
Dalam 3 (tiga) bulan terakhir, Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel bintang selalu dibawah 20 persen. Terhentinya transportasi udara juga memengaruhi arus lalu lintas barang yang ditandai dengan terkontraksinya ekspor barang dan jasa sebesar 51,10 persen (yoy). Akibatnya, daya beli masyarakat selama triwulan II juga menurun jika menilik angka inflasi yang cukup rendah.
Padahal, momen puasa, Idulfitri, dan tahun ajaran baru biasanya menggairahkan konsumsi masyarakat. Berbicara mengenai konsumsi, pertumbuhan ekonomi dari segi konsumsi rumah tangga mengalami kontraksi sebesar 4,4 persen (yoy). Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang 70,86 persen perekonomian NTT pada triwulan II tahun 2020 ini. Menurunnya konsumsi masyarakat dapat mengindikasikan menurunnya pendapatan masyarakat.
Salah satu indikator yang menggambarkannya adalah Nilai Tukar Petani (NTP) yang masih belum sehat sejak Januari 2020, yaitu selalu dibawah 100. Tingginya Indeks yang dibayarkan membuat petani belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dan proses produksinya.
Padahal, pertanian merupakan mata pencaharian 800 ribu lebih rumah tangga di Provinsi NTT (sumber: BPS, 2018). Akibatnya, tingkat kemiskinan masyarakat meningkat. Pada bulan Maret tahun 2020, terjadi penambahan 24,3 ribu orang miskin baru dibanding september 2019. Dimana 19,5 ribu diantaranya berasal dari perdesaan yang notabene basis dari petani.
Ada Harapan
Transportasi udara yang mulai berangsur normal seolah menjadi secercah harapan bagi perekonomian NTT. Di tengah Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), roda ekonomi diharapkan berputar. Dibukanya transportasi udara juga menjadi kesempatan pemerintah daerah untuk mulai berbenah. Bantuan-bantuan sosial yang disalurkan harus benar-benar tepat sasaran. Meskipun tingkat kemiskinan diprediksi meningkat, pemulihan sektor-sektor ekonomi penting juga harus menjadi prioritas.
Pemerintah harus mulai memikirkan stimulus bagi sektor yang berbasis padat karya agar dapat pulih kembali karena dapat menjadi solusi penyerap tenaga kerja. Terutama sektor konstruksi yang menjadi sumber kontraksi tertinggi ke dua. Sektor ini mengalami kontraksi yoy sebesar 9,8 persen namun menyumbang 1,02 persen terhadap kontraksi perekonomian NTT triwulan II ini.
Selain itu, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus memperhatikan sektor pariwisata. Pada masa AKB ini, penyediaan pariwisata yang aman dan sehat sangat dibutuhkan agar wisatawan kembali datang ke NTT. Jangan lupakan juga soal petani, masalah yang dihadapi oleh petani di triwulan III adalah pemulihan ekonomi dan musim kemarau.
Jika petani tidak mampu bangkit, bukan tidak mungkin NTT jatuh ke jurang resesi karena mengalami pertumbuhan negatif dalam 2 (dua) triwulan berturut-turut yang akan berimbas pada sosial-ekonomi yang lebih buruk. Jika kemiskinan dan pengangguran meningkat, kriminalitas berpotensi meningkat dan dapat menyebabkan berkurangnya rasa aman masyarakat. Jika sudah demikian, wisatawan juga urung datang, investor pun pergi. Akhirnya, harapan tinggallah harapan.