Rabu, Oktober 16, 2024

OTT Hakim dan Prinsip Independensi

Allan Fatchan Gani Wardhana
Allan Fatchan Gani Wardhana
Peneliti di LPBH NU DIY & Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fak. Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.

Operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap oknum hakim di Pengadilan Negeri Tangerang yang dilakukan pada Senin malam (12/03) kembali menyingkap praktik kotor yang terjadi dalam institusi pengadilan. Dalam OTT tersebut, mereka yang diamankan terdiri dari unsur hakim, panitera, penasihat hukum, dan swasta. Belum lama ini, hal yang sama juga terjadi OTT terhadap Ketua Pengadilan Tinggi Manado.

Kasus di atas menambah daftar panjang pejabat pengadilan yang terjerat kasus hukum. Dalam catatan Komisi Yudisial (KY), sepanjang 2016, terdapat 28 pejabat pengadilan yang kasusnya mencuat ke media. Lima di antaranya melibatkan nonhakim dan 23 hakim. Data tersebut belum termasuk dengan OTT Hakim sepanjang tahun 2017.

Sebastian Pompe pernah menulis “The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse” yang kemudian diterjemahkan dengan judul “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung”. Buku itu menguraikan salah satunya terkait kisah korupsi yang sangat parah di MA sehingga menyimpulkan bahwa institusi MA telah runtuh dan hancur. Memodifikasi bahasa Pompe, bahwa masifnya suap terhadap pengadilan bisa memunculkan kondisi : Runtuhnya Institusi Pengadilan.

Hakim Bermasalah

Penyebutan runtuhnya institusi pengadilan bukanlah hal yang berlebihan. Selama ini, tidak hanya kasus suap yang ternyata menjadi permasalahan. Bagir Manan (Ketua MA 2001-2008) dalam forum “Tantangan Independensi Hakim Dari Perspektif Kelembagaan Peradilan di Indonesia” yang digelar pada akhir September 2017 yang lalu di Yogyakarta, membeberkan sejumlah permasalahan yang sampai saat ini terjadi terkait hakim.

Beberapa masalah itu antara lain, ada hakim yang berani mengubah lamanya pidana badan yang sudah diputus majelis menjadi lebih ringan; petunjuk bukan bukti fakta; dan ada hakim yang gemar nongkrong di cafe atau restoran sampai larut malam. Kalau ke daerah lebih banyak di lapangan golf daripada berdiskusi dengan para hakim.

Data dan fakta di atas tentu sangat membahayakan bagi penegakan hukum di Indonesia. Betapa hakim sangat mudah memperdagangkan hukum sekaligus abai terhadap persoalan perilaku mereka di luar pengadilan. Hakim yang seharusnya bertugas menegakkan kebenaran dan keadilan justru terjangkit dan terbelit dalam kasus hukum itu sendiri. Independensi hakim dalam memutus perkara sudah ‘jarang’ tercermin lagi.

Prinsip Independensi

Padahal dalam negara hukum, prinsip independensi hakim harus dijunjung tinggi dan ditegakkan. Dalam teori pemisahan kekuasaan (separation of power) harus diketahui bahwa kekuasaan kekuasaan kehakiman (judiciary) merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri. Oleh karena itu John Alder mengatakan “the principle of separation of powers is particularly important for the judiciary”. Pentingnya diorganisasikan sendiri adalah agar hakim dapat bekerja secara independen dari pengaruh eksekutif dan legislatif.

Selain itu, dalam negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy), adanya hakim yang independen dan tidak berpihak merupakan salah satu unsur yang harus ada. Bahkan ditegaskan, bahwa apapun sistem hukum yang dipakai dan sistem pemerintahan yang dianut perwujudan hakim yang independen haruslah benar-benar dijamin (Asshiddiqie : 2011).

Terlebih dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct yang berisi kode etik dan pedoman perilaku hakim sedunia, prinsip independensi harus dijadikan pegangan oleh para hakim di dunia. Pentingnya prinsip independensi ini dapat mencegah runtuhnya institusi pengadilan mengingat bahwa independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum.

Tentu saja bahwa untuk mewujudkan hakim yang independen, ada beberapa upaya. Pertama, ada jaminan keuangan (financial security), yang dimaksudkan agar hakim terlindungi dari kemungkinan manipulasi oleh badan legislatif dan eksekutif (Manan : 2017). Contohnya dengan terus menaikkan kesejahteraan hakim.

Kedua, mewujudkan administrasi pengadilan yang independen, transparan, dan akuntabel. Ketiga, Mahkamah Agung (MA) harus mengevaluasi dan melakukan pembinaan terhadap hakim di lingkungan MA. Langkah nyata yang bisa dilakukan ialah menggandeng KPK dalam melakukan pendidikan antikorupsi secara berkesinambungan. Keempat, memaksimalkan peran civil society untuk melakukan pengawasan terhadap institusi pengadilan.

Independensi hakim harus sungguh-sungguh untuk diwujudkan baik dalam proses pemeriksaan maupun pengambilan keputusan atas setiap perkara. Dengan hakim yang independen, pengadilan  akan terangkat citranya sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya.

Allan Fatchan Gani Wardhana
Allan Fatchan Gani Wardhana
Peneliti di LPBH NU DIY & Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fak. Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.