Taufik Abdullah mengatakan, penguasaan terhadap organisasi profesional menjadi ukuran dari kemampuan suatu golongan untuk memaksakan keinginannya kepada golongan lain. Dengan kata lain, penguasaan organisasi ketentaraan merupakan salah satu ukuran bagi kemampuan dari kekuasaan politik (Seri Prisma, 1995).
Militer dalam sebuah negara memiliki pengaruh politik yang luas, dan menjadi kekuatan politik pada negara-negara di dunia ketiga pada umumnya. Dengan posisi sebagai salah satu kekuatan politik, militer memiliki kemampuan untuk mempengaruhi sebuah kebijakan, apakah mendorong pengesahan ataupun membatalkan. Militer juga menjadi lambang kedaulatan sebuah negara, dan komponen utama pertahanan negara dari kemungkinan ancaman militer, ancaman bersenjata, dan gerakan bersenjata yang bisa datang dari dalam maupun luar negeri.
Disisi lain, kekuatan politik militer juga bisa menjadikan tentara sebagai prajurit pretorial. Kondisi demikian terjadi apabila mereka mengancam atau menggunakan kekuasaan untuk mendominasi arena politik. Mereka terlibat dalam politik dengan mengandalkan kekuasaan mereka atas prajurit yang menggunakan senjata, tank, dan kapal terbang guna mempengaruhi keputusan pemerintah ataupun menguasai pemerintah itu sendiri (Erick A. Nordlinger, 1990).
Militer Profesional
Perubahan posisi militer dalam politik Indonesia tergolong signifikan. Semasa Orde Baru, militer tampil menjadi basis terkuat dalam perpolitikan melalui doktrin Dwi Fungsi ABRI. Berbeda hal dengan masa reformasi, Dwi Fungsi telah di hapus, dan militer dilarang terlibat dalam politik praktis. Tuntutan reformasi mengamanahkan demikian.
Keterlibatan militer di dalam ranah politik dianggap mengganggu profesionalitas prajurit TNI. Ketimbang menjalankan fungsi pertahanan, prajurit akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan politik praktis. Sehingga, penghapusan Dwi Fungsi ABRI dilakukan guna menciptakan militer yang profesional, tangguh, dan fokus pada fungsi utama pertahanan. Untuk menopang hal demikian, UU No.34 tahun 2004 tentang TNI, pasal 5 menjelaskan bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Penekan frasa TNI sebagai alat negara itu tampak pada pasal 3 UU No.34 tahun 2004 tentang TNI. Pada ayat (1) nya, mengatakan bahwa dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden. Dan pada ayat (2), dikatakan juga dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI berada dibawah koordinasi Departemen Pertahanan.
Orientasi TNI sebagai alat negara, dan bekerja untuk kepentingan negara dapat dilihat dalam tugas pokoknya. Dijelaskan pada pasal 7 ayat (1), bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Otonomi Militer
UU No.34 tahun 2004 tentang TNI secara eksplisit menyatakan bahwa TNI adalah alat negara, dengan keputusan politik negara sebagai lampu hijau pergerakannya. Penggunaan militer oleh pemerintahan yang sah perlu diperhatikan, agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan kelompok tertentu.
Memasuki era Demokrasi, supremasi sipil menjadikan militer harus tunduk kepada otoritas sipil. Filosofi demikian yang bisa dipahami mengapa militer bisa menjadi alat negara, dan berada dibawah kendali pemerintah sipil yang sah. Tetapi, pola relasi sipil-militer itu harus senantiasa diawasi, agar tidak mengarah kepada hal yang politis.
Dalam pola relasi sipil-militer, indikasi penyalahgunaan wewenang oleh penguasa terhadap penggunaan militer tetap ada. Menurut Samuel Huntington, ada dua relasi yang mencerminkan hubungan sipil-militer dalam suatu negara. Pertama, Subjective Civilian Control atau Civilianizing the Military, merupakan keadaan ketika salah satu dari sejumlah kekuatan yang berkompetisi dalam masyarakat berhasil mengontrol tentara dan menggunakannya untuk tujuan dan kepentingan mereka. Pola ini juga memungkinkan militer dikendalikan oleh korporasi, yang terjadi melalui perantara kelompok yang berkuasa.
Kontrol sipil yang demikian disisi lain bisa merusak internal militer, menimbulkan fraksi perwira didalam militer. Birokrasi militer tidak baik dicampuri sipil. Karena imbasnya adalah hutang budi dari pihak militer yang bersangkutan kepada sipil yang membantunya.
Dan yang kedua, Objective Civilian Control atau Militarizing the Military, yaitu pengendalian sipil objektif. Caranya dengan dengan memberikan semacam otonomi kepada militer. Pemberian otonomi kepada institusi militer ini penting, karena banyak hal didalam tubuh militer itu tidak diketahui sipil. Menyerahkan sepenuhnya kepada pihak militer adalah pilihan terbaik. Namun, kekuasaan kaum militer juga diminimkan, tetapi dengan tidak menghilangkan kekuasaan dan kekuatan militer itu sendiri. hal ini dilakukan dalam rangka memperbesar profesionalisme kaum militer. Suatu korps perwira yang profesional, seperti halnya di barat, selalu siap melaksanakan kehendak golongan sipil manapun yang merupakan kekuasaan atau pemerintahan yang sah di suatu negara (Nugroho Notosusanto, Seri Prisma:1995).
Ketika militer menjadi alat negara, perhatian serius harus diberikan kepada pemerintahan yang sah dalam penggunaan militer. penggunaan militer melalui relasi pertama tadi, berimplikasi kepada penarikan militer (khususnya perwira) kedalam ranah politik praktis. Penarikan militer ini untuk mendukung penguasa. Padahal, istilah “penguasa” frasanya cenderung politis, dan belum tentu mencerminkan kebutuhan politik negara.
Menurut Nugroho Notosusanto, dalam perjalanan sejarah dua model relasi ini pernah terjadi. Ketika Amir Sjarifuddin menjadi Perdana Menteri, pola Subjective Civilian Control pernah terjadi. Pembentukan Staf Pendidikan Politik (Pepolit), Reorganisasi Rasionalisasi (Rera), dan didiknya sejumlah opsir-opsir politik yang ditempatkan sebagai komisaris politik pada tentara dilakukan ketika itu. Muaranya, Amir menginginkan suatu angkatan perang yang dikuasai partainya, partai sosialis.
Sementara, pola Objective Civilian Control terjadi beberapa saat pasca turunnya Amir Sjarifuddin. Ketika kabinet Hatta melanjutkan, visi yang diusung adalah angkatan perang profesional yang non-politik, dan setia kepada negara melalui pemerintahan yang sah (Seri Prisma, 1995).
Dari catatan sejarah tersebut, bisa kita pahami bahwa kekuatan politik militer terlalu menggiurkan untuk tidak dimanfaatkan oleh penguasa. Kekuatan politik militer juga bisa dimanfaatkan sebagai pilar penopang kekuasaan. Sehingga, kalaupun militer tetap di posisikan sebagai alat negara dan bergerak sesuai keputusan politik negara, pengerahannya pun harus berhati-hati. Jangan sampai militer digerakkan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Baca juga