Di banyak kesempatan Presiden Jokowi telah menegaskan bahwa ia menghendaki adanya perbaikan iklim usaha di Indonesia. Tujuannya jelas, yaitu peningkatan investasi yang diharapkan menggerakkan roda perekonomian, sehingga pada akhirnya akan menyediakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Inilah logika pembangunan ekonomi yang saat ini nampaknya diyakini kebenarannya oleh pemimpin nomor wahid Indonesia.
Salah satu aspek utama dalam upaya untuk memperbaiki iklim usaha adalah melalui reformasi perizinan. Hal ini penting mengingat perizinan berusaha di Indonesia masih dihinggapi banyak persoalan. Mulai dari proses yang memakan waktu lama, hingga persoalan korupsi. Wajar jika KPK pada 2018 menyampaikan bahwa 80% Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK adalah terkait dengan urusan perizinan.
Ikhtiar presiden Jokowi untuk memperbaiki persoalan perizinan sesungguhnya telah nampak sejak awal kepemimpinannya di 2014. Hanya beberapa hari setelah dirinya dilantik, ia langsung menyambangi Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan menanyakan soal-soal terkait investasi.
Segala macam formulasi kebijakan juga dikeluarkan untuk menarik meningkatkan penanaman modal. Tidak tangung-tanggung, Presiden Jokowi melemparkan “umpan” yang bernama Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) untuk menarik investor.
Ada beragam rumusan PKE yang jumlahnya ada 16 paket, mulai dari deregulasi, mekanisme insentif bagi daerah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), hingga memperluas Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (Tax Holiday), dan relaksasi daftar investasi negatif.
Tidak sampai di situ, Presiden Jokowi kemudian menerbitkan Peraturan Presiden No. 91/ 2017 tentang Percepatan Berusaha. Setelah beberapa bulan berselang, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 24/ 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik. Peraturan inilah yang kemudian menjadi pijakan pelaksanaan Online Single Submission (OSS) yang secara resmi diluncurkan oleh Kementerian Kordinator Perekonomian pada 9 Juli 2018.
OSS diharapkan menjadi solusi untuk membongkar persoalan perizinan di Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karenanya, Pemerintah mengklaim bahwa OSS memiliki kelebihan proses perizinan yang cepat, praktis, dan bisa dipantau langsung. Meski demikian, prakteknya hingga saat ini masih kontroversial. Tidak sedikit pihak yang mengeluhkan sistem pelayanan perizinan lewat OSS yang belum optimal.
Serangkaian “jurus” kebijakan untuk memperbaiki iklim usaha tersebut berbuah hasil positif. Tingkat kemudahan berusaha di Indonesia mengalami perbaikan cukup signifikan. Peringkat Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia boleh dikatakan meroket dari 120 di 2014 menjadi 72 di 2018. Meskipun, jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN Indonesia masih terpuruk di peringkat ketiga dari bawah. Jauh tertinggal dari Singapura di peringkat kedua, dan Malaysia di peringkat 24.
Di saat ikhtiar penyempurnaan OSS, Kementerian/ Lembaga pengampu izin saat ini juga tengah melakukan standardisasi Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) perizinannya. Menurut Kemenko Perekonomian, ada lima ketentuan yang harus dimuat dalam sebuah NSPK perizinan. Pertama, pemetaan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang terkait dengan perizinan. Kedua, klasifikasi jenis perizinan berusaha ke dalam a) Izin Usaha, atau b) Izin Operasional/ Komenrsial.
Ketiga, menetapkan unit organisasi mana yang berwenang melakukan proses izin. Ketiga, mengatur persayaratan yang harus dipenuhi serta durasi waktu proses perizinan. Keempat, menentukan pengelompokan klasifikasi persyaratan. Dan kelima, menentukan siapa yang berwenang menerbitkan izin. Apakah pemerintah pusat, provinsi, atau pemerintah kabupaten/ kota?
Berdasarkan pengalaman mendampingi dua Kementerian melakukan standardisasi NSPK tersebut, penulis menemukan sejumlah persoalan yang kerap menjadi pertanyaan para pemangku izin, di antaranya adalah mekanisme validasi data yang diunggah oleh pelaku usaha. Hal ini penting karena dokumen persyaratan tersebut menjadi dasar untuk mengabulkan atau menolak permohonan izin.
Dokumen yang tidak valid tentu akan menghasilkan keputusan yang cacat dan merugikan negara. Kosongnya mekanisme pengecekan validasi dokumen ini membuka peluang pada terjadinya perbuatan melawan hukum.
Tidak hanya itu, dokumen izin yang diterbitkan OSS juga berpotensi untuk dipalsukan. Hal ini karena pelaku usaha hanya menerima izin dalam bentuk soft copy dan mencetak sendiri dokumen tersebut. Tidak ada tanda khusus seperti hologram atau tinta emas yang menunjukan keaslian sebuah sertifikat izin. Keaslian dokumen dapat diketahui jika dilakukan pemeriksaan barcode yang tertera di lembar izin.
Berdasarkan penuturan seorang petugas perizinan di salah satu Kementerian, ia telah menemukan delapan kasus penipuan yang menggunakan OSS dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Salah satu kasus pemalsuan izin diketahui setelah pelaku usaha membawa dokumen izinnya ke kementerian untuk mengurus izin berikutnya.
Petugas perizinan kemudian mengetahui bahwa tanda tangan dalam dokumen tersebut adalah bukan yang sebenarnya alias palsu. Belum yakin sampai disitu, petugas tersebut kemudian melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mengecek nomor izin. Hasilnya diketahui bahwa nomor izin tersebut adalah untuk izin yang lain. Kasus seperti ini tentu tidak boleh terjadi lagi.
Oleh karenanya, OSS saja tidak cukup. Sebuah sistem untuk memastikan validasi keaslian dokumen harus dibangun secara komprehensif di saat yang bersamaan dengan upaya mengoptimalisasi fungsi OSS dalam mendorong reformasi perizinan berusaha di Indonesia. Tidak boleh ada pemalsuan atau penipuan izin yang berkedok OSS karena jelas akan merugikan negara.
Tim Stranas Pencegahan Korupsi yang di antaranya terdiri dari Kemenko Perekonomian, KPK, dan Kemenkoninfo perlu mendeteksi sejak dini modus-modus yang mungkin dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Dialog dengan para pengampu izin bisa dilakukan tanpa melulu bicara tentang standaridisasi NSPK. Semoga Indonesia Maju!