Bagi saya ospek adalah suatu kegiatan yang tidak perlu dilakukan oleh seorang mahasiswa baru. Bagaimana tidak, standar kegiatan ospek tidak jauh-jauh pada tindakan diskriminatif maupun inferioritas. Penggunaan embel-embel “senior” bagi mahasiswa lama, istilah “junior” untuk mahasiswa baru jelas menunjukan tingkatan kekuasaan.
Hal tersebut cenderung mengacu pada sistem feodalisme, bahwa jabatan tinggilah yang punya kuasa. Siapa yang berkuasa atas siapa, sesuatu ini bahkan telah dianggap wajar oleh mahasiswa baru. Bahkan ketika ada tindakan disipliner oleh mahasiswa lama yang mendekati perilaku kekerasan, itu sudah menjadi hal biasa.
Kekerasan secara pengertian tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikis maupun secara verbal. Praktik-praktik tersebut seperti halnya telah terjadi dalam kegiatan saat ospek. Dalam pengalaman saya yang pernah mengalami ospek selama dua kali, karena sempat pindah kampus. Kampus pertama saya merupakan kampus swasta, yang sistem ospeknya tidak terlalu ribet.
Di kampus kedua saya yang kebetulan negeri, jika dibandingkan dengan ospek di kampus pertama saya terdapat ketimpangan. Lebih banyak menguras waktu untuk rangkaian kegiatan ospek ini-itu saat ospek di kampus kedua, tentu saja dengan memakai kata “wajib” yang dipaksakan. Bisa dibilang selama satu bulan saya menjalani seluruh kegiatan ospek di kampus kedua saya, itupun belum termasuk ospek jurusan.
Jadi apakah ospek itu wajib diikuti oleh mahasiswa baru? Harusnya tidak. Namun kenyataannya kata “wajib” yang digaungkan untuk menakut-nakuti mahasiswa baru menjadi alat lestarinya tradisi ospek itu sendiri.
Tindakan menakut-nakuti dan mengancam sederhananya tergambar dalam aksi bullying atau perundungan. Mirisnya antar kedua belah pihak mahasiswa lama maupun baru menganggap hal tersebut sudah biasa. Praktiknya tidak secara langsung mengarah pada bullying, namun dikemas agar ospek terlihat humanis guna pembenaran atas aksi tersebut.
Sistem peraturan-peraturan dan sanksi yang menyertainya, mereka tak pernah lepas dari ospek. Dalam suatu masa ospek tidak juga lepas dari bentakan atau teguran yang tidak perlu yang mengatas namakan tindakan disipliner.
Pada hari kedua saat ospek di kampus kedua saya, saya pribadi mengalami dan melihat mereka para senior sudah jago melakoni perannya. Waktu ospek mulai tepat pada pukul 06.30 WIB, peluit panjang tandanya mahasiswa baru harus berkumpul di depan gedung fakultas.
Pada saat itu kami diberi waktu sarapan dan ketika usai kami berbaris lagi, suasana menjadi tegang. Senior melakukan inspeksi terhadap para mahasiswa baru yang sudah membangkang dengan tidak memakai atribut seragam yang ditentukan. Mereka mengumpulkan para mahasiswa tersebut di depan barisan menghadap ke teman-temannya, para senior lalu menjadi seperti senior.
Mereka membentak-bentak kepada mahasiswa yang dinilai telah melanggar peraturan ospek tersebut. Pergeseran makna mulai terasa di sini, mungkin maksud dari senior untuk melatih mental mahasiswa baru. Tetapi kenapa harus dengan cara lama? Dengan kekerasan.
Pemakaian atribut-atribut ospek yang tidak penting. Kartu identitas yang terbuat dari karton berukuran sekian kali sekian cm, untuk apa? Jika tujuannya hanya untuk tanda pengenal diri mahasiswa baru, untuk apa membuang-buang material dan tenaga demi membuat kartu identitas saja.
Penyeragaman dan penggunaan atribut lainnya tak lebih dari sekedar penumpulan daya kritis; itu adalah pembodohan! Kita sebagai mahasiswa baru dituntut harus manut terhadap kata-kata senior, bahwa seniorlah yang paling benar dan junior hanya alat kekuasaan semata.
Tidakkah ospek yang berwajah pada pendidikan, penalaran maupun kepedulian terhadap lingkungan, telah berganti dengan praktik diskriminasi dan berujung pada perampasan hak sebagai manusia yang bebas.
Sebagai manusia merdeka saya lebih memilih untuk tidak mengikuti ospek jurusan pada saat itu. Karena saya sudah lelah sudah menjadi budak pemuas senior selama ospek universitas satu bulan ditambah dengan ospek jurusan. Saya mengerti akan konsekuensinya dan melihat apa yang senior lakukan terhadap saya pada saat itu, masih membuat saya marah ketika mengingatnya.
Dengan tidak sengajanya saya membuat tersinggung salah satu senior, berakhir pada saya digunjingkan dua angkatan sekaligus. Bahkan mereka juga mengorek informasi pribadi saya. Tidak mengikuti ospek jurusan menjadi masalah besar, nama saya digunjingkan, diberi tatapan sinis oleh mbak senior dan berakhir dengan diberi sanksi. Apakah memilih menjadi manusia yang bebas adalah suatu kesalahan?
Di saat seperti ini sistem harus dibenahi, cara pendang harus diganti. Birokrasi kampus sepertinya masih asyik dengan sistem seperti ini, menilai bahwa cara ini adalah cara yang paling efektif dilakukan. Senior yang hanya sebagai pesuruh di depan junior, pengecut jika berurusan dengan birokrasi kampus.
Lagipula regulasi birokrat juga ikut mencetuskan terlaksananya ospek tersebut. Tahu atau tidaknya bagi mereka mengenai isu kemanusiaan yang terenggut dalam kegiatan ospek. Ospek tetaplah ospek, yang sudah tercatat menjadi agenda tahunan kampus.
Saya pikir waktu itu dengan tidak mengikuti ospek jurusan adalah pilihan yang tepat. Karena dengan itu saya semakin sadar bahwa lingkungan kampus disekitar saya masih berpola senioritas yang lumayan tinggi.
Tetapi harus saya katakan, menentang ospek menjadi penting demi berproses pada mahasiswa yang lebih ideal. “Lebih baik diasingkan, daripada menyerah pada kemunafikan!” Lagi-lagi kata-kata legendaris dari Soe Hok Gie tersebut menemukan relevensinya di sini.