Sabtu, April 27, 2024

Original Sin Redux Pada Penerbitan Obligasi Pemerintah

Muchamad Irham Fathoni
Muchamad Irham Fathoni
Saya adalah PNS Kementerian Keuangan yang saat ini menjadi mahasiswa tugas belajar di Politeknik Keungan Negara STAN. Hobi saya membaca, menulis dan travelling. Saya sangat tertarik dengan pembahasan seputar Makroekonomi dan Pajak.

Pemerintah sangat serius dalam melakukan penanganan COVID-19 di Indonesia. Total pendanaan yang digelontorkan Indonesia tidak main-main, yakni sebesar 2,5% dari total PDB Indonesia.

Pendanaan COVID-19 di Indonesia berasal dari beberapa pos seperti sisa Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp160 Triliun, dana yang disimpan di badan layanan umum (BLU) dan dana yang sebelumnya dialokasikan untuk penyertaan modal negara (PMN), realokasi dan refocusing anggaran yang diperkirakan jumlahnya mencapai Rp 54,6 triliun dan penerbitan obligasi pemerintah (Pandemic Bonds).

Ada hal yang cukup menarik dari penerbitan bonds yang dilakukan pemerintah, karena dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 disebutkan bahwa surat utang pemerintah tersebut memiliki klausul khusus, yaitu bisa dibeli langsung oleh Bank Indonesia (BI) di pasar perdana. Sehingga, pembiayaan atau utang pemerintah diberikan langsung oleh BI. Apakah langkah tersebut tepat?

Menurut saya pribadi tepat, karena apabila obligasi pemerintah hanya dijual ke pasar sekunder, kemungkinan pasar tidak akan menyerap seluruh obligasi yang ditawarkan dan suku bunga obligasi justru akan melonjak sangat tinggi.

Opsi lainnya tetap dijual ke pasar sekunder dengan segmentasi investor asing. Namun di kondisi yang sangat tidak stabil ini justru akan berisiko untuk menjual obligasi pemerintah ke pihak asing, karena instabilitas ekonomi dapat dengan mudah menyebabkan capital outflow dan menyebabkan adanya shock dalam perekonomian Indonesia.

Terlebih ada tekanan eksternal melalui berbagai kebijakan yang diterapkan negara lain yang akan menyulitkan pembayaran di masa yang akan dating jika harus ditawarkan ke investor asing. Sehingga memperluas kepemilikan asing pada surat utang negara bukan opsi yang tepat saat ini, dan sudah seharusnya mulai untuk dikurangi dan harus menumbuhkan kepercayaan investor dalam negeri agar mau berinvestasi pada obligasi pemerintah.

Beberapa dekade lalu, dikenal istilah “Original Sin Redux” yakni negara berkembang menerbitkan obligasi pemerintah dalam mata uang non-domestik seperti obligasi dalam bentuk US Dollar. Memang kebijakan tersebut sangat menarik investor asing dalam melakukan pembelian obligasi dalam denominasi dolar.

Namun saat krisis ekonomi tahun 1997-1998, investor asing menjual seluruh kepemilikannya dan mata uang domestik anjlok dan beban utang negara juga melonjak tajam karena depresiasi nilai mata uangnya. IMF di tahun tersebut telah mendesak negara berkembang untuk menerbitkan obligasi pemerintah dalam mata uang domestik, dengan harapan hal ini akan mengurangi kerentanan mereka terhadap perubahan pasar global yang saat itu dalam kondisi krisis.

Sejak saat itu, banyak negara berkembang yang mengikuti arahan IMF. Namun dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara seperti Brazil, Cina, Turki, India, dan Afrika Selatan telah memangkas ketergantungan mereka pada obligasi mata uang asing, namun faktanya hal tersebut tidak membuat negara-negara ini terhindar dari volatilitas.

Sebaliknya, ketika spekulasi tentang pengetatan moneter Amerika digaungkan, harga surat utang turun tajam. Kenapa hal tersebut bisa terjadi meskipun penjualan obligasi pemerintah telah dilakukan menggunakan mata uang domestik?

Ketika IMF pertama kali mendesak negara-negara berkembang untuk menjual obligasi pemerintah menggunakan mata uang domestik, secara luas diasumsikan bahwa mereka akan menarik sebagian besar investor dalam negeri.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, investor asing juga sangat berminat dengan obligasi negara berkembang karena Yield yang ditawarkan begitu menarik. Mengacu pada data Asian bonds online, yield SUN Indonesia dengan tenor 10 tahun sebesar 7,89%.

Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan yield sederet surat utang tenor yang sama milik negara lain seperti Filipina 6,26%, Vietnam 4,86%, Malaysia 4,07%, Tiongkok 3,15%, Thailand 2,37%, Singapura 2,15%, Korea Selatan 1,98%, Hong Kong 1,83% dan Jepang -0,01%.

Sehingga tidak mengherankan jika porsi asing di SBN Indonesia diproyeksikan membesar menjadi 40% dan saat ini porsi asing di SBN masih di kisaran 38,77%. Angka tersebut sangat tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara seperti Malaysia dengan porsi kepemilikan asing sebesar 23,4% pada Agustus 2018, Thailand 18,29% per November 2018, dan Korsel 12,02% pada akhir Juni 2018.

Relatif tingginya porsi kepemilikan asing membuat pasar SBN Indonesia masih sangat rentan dengan guncangan asing seperti tidak seimbangnya demand dan supply valas domestik dalam aktivitas ekspor-impor, kenaikan bunga acuan Amerika dan Fed Fund Rate. Sudah saatnya, Indonesia mengurangi jumlah kepemilikan asing dan lebih fokus untuk menguatkan kepercayaan masyarakat Indonesia agar mau berinvestasi di obligasi pemerintah.

Berdasarkan Hong Kong Monetary Authority (HKMA) (2019) dalam “The double-edged sword of foreign participation in local currency government bond markets” Research Memorandum 14/2019, dijelaskan konsekuensi dari ketergantungan pada modal eksternal asing mengarah pada kerentanan yang lebih besar terhadap guncangan keuangan global, karena modal seperti itu bisa mempengaruhi stabilitas pasar di masa resesi keuangan.

Depresiasi yang terjadi pada nilai mata uang negara berkembang yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor ekonomi, selanjutnya menurunkan nilai aset dalam mata uang lokal investor asing. Ketika kapasitas risiko terbatas, depresiasi mata uang negara berkembang dapat memicu penjualan atau lindung nilai dan mendorong spread obligasi pemerintah karena keluarnya investor asing.

Hal tersebut yang dapat dipertimbangkan, mengapa kebijakan BI saat ini untuk dapat membeli obligasi pemerintah di pasar primer sangat tepat. Karena saat ini seluruh dunia sedang mengalami masa-masa yang sulit sehingga perlu merumuskan kebijakan yang luar biasa untuk tetap menjaga perekonomian tetap stabil ditengah COVID-19 yang melanda dunia.

Muchamad Irham Fathoni
Muchamad Irham Fathoni
Saya adalah PNS Kementerian Keuangan yang saat ini menjadi mahasiswa tugas belajar di Politeknik Keungan Negara STAN. Hobi saya membaca, menulis dan travelling. Saya sangat tertarik dengan pembahasan seputar Makroekonomi dan Pajak.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.