Beberapa waktu yang lalu, media-media di Banten menurunkan berita yang menyatakan bahwa masyarakat Banten kurang bahagia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), meskipun pada 2017 mengalami kenaikan (69,83 persen) dibandingkan pada 2014 (68,24%), namun secara nasional indeks kebahagiaan orang Banten berada di bawah rata-rata. Adapun dimensi yang dijadikan penilaian di antaranya kepuasan hidup, perasaan dan makna hidup.
Saya tidak berminat untuk menerangkan data-data yang njelimet sebagaimana telah disajikan oleh BPS. Saya lebih tertarik untuk menelisik mengapa orang Banten kurang bahagia dalam kehidupannya. Beberapa hal yang akan saya kemukakan selanjutnya merupakan intisari dari diskusi panjang saya, melalui media daring, dengan Ade Jaya Suryani (AJS) yang saat ini tengah menyelesaikan program Ph.D-nya di Leiden, Belanda.
Orang Banten tidak bahagia, karena:
Pertama, orang Banten masih terjebak di masa lalu. Dalam bahasa generasi milenial, gagal move on. Atau dalam bahasa saya yang lebih frontal, orang Banten enggan atau tidak siap melihat realita Banten hari ini, sehingga menarik dirinya untuk hidup dalam nostalgia, dalam masa lalu. Kekurangbahagiaan itu dinyatakan melalui dua hal: glorifikasi masa lalu dan ungkapan (bahkan umpatan) kemarahan akan kondisi hari ini.
Orang Banten memang tidak bahagia dengan kondisi hari ini. Kemiskinan, kerusakan infrastruktur yang ngesot dalam pembenahan, serta keruwetan politik membuat orang Banten berlari dan mengobati dirinya dengan kembali ke masa lalu, terutama ke era kejayaan Kesultanan Banten, Sultan Tirtayasa. Tengoklah beragam diskusi tentang Banten. Isunya tak pernah jauh dari kejayaan Banten di masa silam seraya menyesalkan kondisi hari ini.
Glorifikasi dan ungkapan kemarahan itu bisa kita saksikan pada konteks politik maupun sosial-budaya. Dalam konteks politik, kita bisa menjadikan Pilgub Banten 2017 sebagai sebuah contoh. Tidak lama setelah pasangan RK-Embay dinyatakan kalah dari pasangan WH-Andika, Haji Embay dan rekan-rekannya menyelenggarakan sebuah diskusi di suatu tempat di Banten. Tema diskusinya berpusing di antara: sulit dan ruwetnya kondisi politik hari ini (ungkapan kemarahan pada masa kini) yang tidak sama dengan masa Kesultanan Banten (glorifikasi masa lalu).
Dalam konteks sosio-historis, orang Banten tidak bahagia melihat ulama saat ini yang berada dalam kondisi tidak berdaya. Ketidakberdayaa kelompok ini dicirikan oleh dua hal: pertama, korupsi makin merajalela yang mengindikasikan tak lagi saktinya mereka, dan yang kedua kelompok ini cenderung merapat ke kekuasaan. Orang Banten hari ini gagal mempertemukan kondisi kelompok yang dihormati itu dengan apa yang mereka jumpai pada literatur-literatur yang ada. Kelompok ulama pada masa lalu merupakan kelompok yang begitu teguh dan gigih dalam memperjuangkan kebenaran. Kekecewaan orang Banten terhadap ulama masa kini, menurut AJS, menunjukkan betapa mereka menempatkan kelompok tersebut pada level yang tinggi. Kekecewaan (kondisi tak bahagia) memang kerap lahir dari terlalu membubungnya harapan.
Kedua, ketidakbahagiaan itu bisa jadi karena orang Banten belum rampung menetapkan identitas diri yang sejati. Maksud saya, orang Banten mengalami gegar identitas.
Dalam beberapa literatur, sebagian telah saya singgung di atas, bahwa orang Banten dengan sangat kuat menyatakan akar sejarah mereka adalah Kesultanan Banten dan bukan Kerajaan Pajajaran. Orang Banten tidak sama dengan orang Jawa Barat. Hal itu dipertegas dengan adanya penguat identitas seperti kiai, jawara, golok, dan lain-lain. Itu kemudian menjadi salah satu alasan pendirian Provinsi Banten, terpisah dari Provinsi Jawa Barat. Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan, orang Banten juga kerap menjadikan Baduy sebagai identitas mereka. Menurut AJS, hal itu sungguh sesuatu yang kontradiktif dengan pengakuan orang Banten bahwa mereka berakar dari Kesultanan Banten. Karena Baduy merupakan kelompok lain yang memiliki akar sejarah bahkan agama yang berbeda.
Intinya, hari ini orang Banten memang kurang bahagia. Jawaraisme dan ilmu kebatinan yang melekat dengan Banten, menurut AJS, hanyalah sebuah pelarian. Pelarian dari ketidakmampuan orang Banten dalam menyelesaikan aneka-masalah yang mendera: ekonomi, politik dan sosial. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi pemangku kebijakan di Banten.
Mudah-mudahan, setelah membaca artikel ini, kita sebagai orang Banten semakin menyadari akar kekurangbahagiaan kita. Karena saya percaya, mengetahui akar masalah merupakan setengah dari solusi.
Nah, jangan lupa bahagia!*