Jumat, Maret 29, 2024

Optimisme Potensial atas Covid-19

Akhmad Sundoyo
Akhmad Sundoyo
Penulis lepas. Guru honorer. Peziarah Ki Ageng Suryomentaram. Lahir di Pati, mukim di Bantul.

Melalui Sapiens (Yuval Noah Harari, 2014) manusia mencatatkan diri sebagai species puncak dari rantai sejarah. Sejak dua juta tahun lampau, makhluk ini tumbuh berevolusi dari ‘tak diperhitungkan’ menjadi penentu kelangsungan species, genus, dan famili organisme di seluruh bumi. Mereka mendiami sudut-sudut bumi paling ekstrim sampai paling surgawi. Beradaptasi adalah jalan hidupnya. Gurun, perbukitan, pinggiran pantai, pedalaman hutan, berisi koloni-koloni manusia. Sejak api disembah, sampai api digunakan menyepuh perkakas-perkakas, manusia telah mengembangkan peradabannya.

Dunia memang sedang tidak ramah, tetapi manusia masihlah sapiens (sang bijak) yang Tuhan memandatinya sebagai pengelola bumi. Yang janggal adalah ketika tiba-tiba membanjir mental-mental kalah, sebagai budaya baru. Keladi dari semua itu adalah Covid-19 yang dilansir dari publikasi WHO (CNNIndonesia.com, 22/06) telah bermutasi menjadi Alpha, Beta, Gamma, Delta, Kappa, Epsilon, Zeta, Eta, Theta, Lota. Dan belum diketahui sampai kapan mutasi itu berhenti.

Gegar Psike

Lonjakan berita kematian yang rutin (hampir) tiap hari di lingkungan terdekat kita, serta terjangkitnya teman-saudara yang semakin mendekat ke tubuh kita, terlanjur menjatuhkan mental kita. Sedikit sepoi isu—yang tak jelas juntrungannya—berhembus, pecah kepanikan: susu steril “beruang” ludes dari pasaran, vitamin C botolan 1000 mg diburu para gerilyawan middle class.

Lantas kenapa harus ‘susu beruang’ dan vitamin C yang itu? Nampaknya untuk satu hajat yang disinyalir urgen pun, kita masih pilih-pilih.

Jika kita mau sedikit menyetel lidah kita, untuk kebutuhan imun, khususnya vitamin C, di dekat rumah kita mudah ditemui jambu biji dan jeruk nipis. Jambu biji bisa diblender, jeruk bisa diperas dibuat wedangan. Memang kandungan per bijinya tidak serakus “botol kemasan” yang 1000 mg, tetapi apakah dosis lambung kita benar 1000 mg?

Selain itu, menyoal imun tubuh, justru yang paling menentukan adalah pengelolaan pola pikir dan pola aktivitas. Mengkondisikan pikiran adem dan menambah porsi gerak berkeringat—sambil berjemur matahari pagi—tidak kalah penting dari menimbun botol-botol nutrisi.

Mental yang sedang merosot, kepercayaan kepada penyelenggara kebijakan publik yang lesu, ditambah kesimpang-siuran informasi (khususnya di grup-grup WA), serta mode konsumsi yang pilih-pilih tadi, menjadikan martabat kedaulatan kita sebagai manusia terjun bebas. Kita nampak rentan dan rapuh. Virus apapun sangat menyukai kondisi ini.

Regulasi dan Ingatan

Ketika gelombang ledakan Covid-19 meningkat (Mei-Juni), berbilang opini muncul mempersalahkan pemudik lebaran. “Tuh, sekarang lihat hasilnya. Hai, para pemudik bandel!”. Banyak orang membatin gerundelan semacam itu. Tapi, iyakah?

Pemudik yang ndusel ngotot tetap mudik pada lebaran kemarin, hanyalah potongan ujung kuku dari tubuh sejarah dan kultur kita. Ketidak patuhan terhadap regulasi ‘pelarangan mudik lebaran’, adalah bagian dari ingatan keberadaban sosial kita.

Saya masih ingat, besaran receh yang diminta petugas pemproses SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) di dalam ruangan yang di dinding luarnya terpampang “ANDA DI AREA BEBAS KORUPSI”. Buesarr sekali font tulisannya, dengan lebar-panjang spanduk yang tentu melebihi dari ukuran tulisan. Atau saat mencetak e-KTP di Kecamatan yang, teman barengan saya—saat itu mau menikah—dimintai biaya percepatan kalau ingin cepat jadi. Atau saat Pak Carik raib dari Kantor Desa di jam kerja karena sibuk badminton-an, padahal saya sedang butuh ia di kantor.

Ingatan itu tentu hanya kasuistik dengan batas tempo, karena ketika saya sering keluar-masuk kantor pemerintahan di Bantul—mulai RT, sampai kabupaten—tidak ada cerita yang sama. Mungkin juga cerita sudah berbeda, karena itu kejadian bertahun-tahun silam. Tetapi memori sudah terlanjur merekamnya sebagai pengalaman personal yang, bagi saya mempengaruhi saturasi trust dan respek kepada regulasi pemerintah.

Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Kepala memberi teladan, pamong bekerja, jelata patuh. Seberapa balance bandul tata hubungan kemasyarakatan kita, terkait wasiat kuna itu?

Optimisme

Gelaran lonjakan kasus Covid-19 akhir-akhir ini harus di-sengkuyung bersama. Saya menghadirkan wibawa Sapiens di awal tulisan adalah untuk membesarkan mental kita. Tidaklah elok bila dalam menghadapi krisis ini kita jatuh mental. Pada hakikatnya—baik secara fisik, psikis dan ontologis—virus lebih kecil dari manusia. Atau boleh dibalik: manusia lebih besar dari virus. Struktur Covid-19 adalah struktur purba dengan bawaan mata kuda: makhluk yang hanya hidup untuk berbiak. Sedangkan manusia jauh melebihi itu. Sejak dua juta tahun lalu, kita sudah melewati fase itu.

Konsumsi energi untuk asupan otak kita, menyedot 25% dari total seluruh energi diri (Yuval Noah Harari, 2014). Inilah manusia yang otaknya hanya 2-3 % saja dari berat tubuhnya, tetapi meminta alokasi energi sebegitu besar. Apakah hanya akan digunakan untuk ngenes dan sempoyongan menghadapi virus yang tak berotak? Struktur tubuh kita memiliki ‘ruang jiwa’ yang menurut William James (1842-1910) umumnya baru diaktifkan kira-kira 10% saja dari seluruh potensi yang ada (Frank G. Goble, 1987). Ke mana sisanya?

Kita memiliki kultur adaptasi yang khas. Di samping peradaban fisik berupa teknologi informasi yang mulai terserap secara eksistensial oleh generasi milennial, terdapat peradaban spiritual yang jauh lebih teruji (lintas generasi) sebagai pakem hidup. Masalahnya adalah kepanikan sudah terlanjur membiak, sehingga kita terhuyung-huyung kehilangan gravitasi budaya ibu, itu.

Lalu? Jika kondisi di luar sudah sedemikian mencekam, serta banyak perkara yang tak mungkin semua bisa diurusi, saatnya sumeleh. Prokes 5 M, jelas. Disamping itu, kita perlu mengakrabi asupan buah dan wedang jeruk sebagai hak tubuh, membangun habbit membaca karena dapat mengurangi stress sampai 68% (halodoc.com, 25/08/2020) sebagai hak pikiran, mendekatkan diri kepada “Yang Spiritual” melalui dzikir atau meditasi sebagai gerbang penentuan kita benar manusia atau sebatas organisme profan.

Walhasil, yang jauh didoakan semoga cepat membaik, yang (ter-) dekat diopeni sepenuh diri. Optimis, kita lebih besar dari Covid-19 dan seluruh varian-varian mutasinya.

Akhmad Sundoyo
Akhmad Sundoyo
Penulis lepas. Guru honorer. Peziarah Ki Ageng Suryomentaram. Lahir di Pati, mukim di Bantul.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.