Millenial kills everything, istilah – yang diperkenalkan oleh Yuswohadi lewat bukunya – yang beberpa tahun kemarin sempat populer. Bagaimana fenomena milenial mampu merubah banyak struktur dan pola lama terkait marketing serta perilaku bisnis yang kemudian berdampak pada ambruknya sejumlah bisnis konvensional, disrupsi.
Angkatan milenial menyentuh kisaran 34% dari seluruh populasi Indonesia. Menurut Susenas 2017, milenial di Indonesia berjumlah 88 juta jiwa (33,75%). Hal menjadi ceruk yang potensial untuk kekuatan ekonomi negara. Milenial dalam definisi Benesik, Csikos, dan Juhes (2016) adalah generasi yang lahir pada rentang 1980-1995. Sedangkan menurut United State Census Bureau, yaitu mereka yang lahir antara tahun 1982 hingga 2000.
Generasi yang sebagian besar akrab bahkan native dengan teknologi dan internet, fanatik terhadap media sosial, cara pada isu-isu sosial dan lingkungan serta berciri komunikasi terbuka tidak bisa dianggap sebelah mata. Gig-Economy sebuah karakter yang juga belakangan dan bahkan ke depan akan semakin digandrungi oleh milenial. Yaitu sebuah situasi pergeseran perekonomian atau aktifitas sebuah bisnis dimana tenaga kerja yang biasanya permanen menjadi bersifat kontrak sementara (short term-contract).
Bukan karena minimnya keterampilan atau kapasitas SDM tapi sebaliknya para milenial ini bersaing penuh skil dengan posisi tawar gaji yang tinggi dengan job bersifat by project. Dan mereka memeilih cara kerja demikian. Tujuannya agar menjadi independent worker, menentukan jam kerja sendiri, bebas dan fleksibel, punya banyak waktu untuk aktifitas yang lain. Istilah mutakhirnya self-employment isn’t a job, it‘s a lifestyle.
Ekonomi suatu negara tentu akan mengalami estafet kepemimpinan dengan segala SDM yang terlibat di dalamnya. Generasi milenial adalah tampuk pemegang estafet berikutnya yang saat inipun sudah mulai terlihat menduduki posisi-posisi strategis, baik di perusahan swasta (rintisan/star up) ataupun di pemerintah.
Termasuk ketika Presiden Jokowi menunjuk divisi khusus yang berisi kaum milenial. Identik dengan ide out of the box dan eksekusi yang cenderung ingin cepat. Mereka mampu menjadi harapan dengan segala terobosannya guna memangkas persoalan teknis sistem birokrasi dengan teknologi atau lainnya sehingga manajemen lebih efisien.
Milenial dipandang sebagai generasi yang lebih terdidik (well educated) daripada generasi sebelumnya. Namun disaat yang bersamaan, milenial juga menghadapi permasalahan lain yaitu tenaga kerja yang kurang terserap. Artinya banyak dari mereka yang tidak bekerja daripada yang bekerja.
Termasuk di Indonesia, Tingkat Pengangguran Terbuka (2017) mengukur 9,84% generasi milenial pengangguran. Dengan kata lain 1 dari 10 milenial masih belum terserap sebagai tenaga kerja. Dibandingkan generasi lainnya, milenial menempati porsi terbanyak dalam hal jumlah pengangguran. Mereka lebih memilih tidak bekerja daripada harus bekerja di sektor informal, mengingat pertimbangan pendidikan mereka yang lebih tinggi disbanding generasi sebelumnya. Artinya mereka lebih selektif dalam menentukan pekerjaan, tentu ini adalah sebuah dilema.
Milenial jika ditilik dari sisi produktiftas, mereka menempati usia paling produktif yaitu 16-37 tahun. Jika hal tersebut tidak dimanfaatkan oleh negara menjadi sebuah potensi kekuatan pembangunan ekonomi, maka sebaliknya bisa menjadi bencana di kemudian hari. Pada tahun 2017 tercatat partisipasi generasi “Y” ini dalam angkatan kerja mencapai 67,24% atau sekitar dua pertiga dari populasi mereka. Artinya masih ada kisaran 305 yang belum memasuki angkatan kerja.
Namun harus diakui pengetahuan generasi milenial terhadap cara memperlakukan uang untuk kepentingan jangka pendek, menengah dan panjang masih kurang, termasuk cara pandang mereka terhadap ekonomi itu sendiri.
Literasi ekonomi jika disederhanakan dapat disebut sebagai cara masyarakat membedakan penggunaan uang antara untuk kebutuhan dan keinginan secara bijak dan ekonomis. Mengingat pada tahun 2025 diprediksi lebih dari tiga per empat penduduk dunia adalah milenial. Yang artinya dominasi ekonomi dunia ada di tangan mereka. Cara pandang terhadap konsep ekonomi dan kebijakan yang menyertainya akan sangat mempengaruhi tatanan ekonomi global.
Untuk memenuhi harapan bahwa generasi milenial adalah fase paling produktif dan sebagai penopang fundamental pembangunan ekonomi, dibutuhkan langkah-langkah brilian. Indonesia sendiri pada tahun 2030 memasuki fase bonus demografi, ini adalah keunggulan sendiri bagi negeri kita. Mengandalkan kemampuan dan kapasitas milenial pada saat 2030 nanti maka membutuhkan percepatan edukasi untuk mengejar ketertinggalan terkait sejauh mana mereka melek ekonomi.
Diketahui bersama bahwa jika ditilik dari sisi penguasaan teknologi dan daya kreatifitas, generasi milenial adalah produk unggul daripada generasi lainnya. Maka jika tidak ada sinergi antara kemampuan literasi teknologi dan kreatifitas dengan pengetahuan ekonomi, maka akan ironis. Bahkan bisa menjadi kekuatan yang bisa mencelakakan bangsa ini sendiri.
Menjadi tugas bersama bagaimana mensosialisasikan dalam langkah-langkah edukasi ekonomi. Social awareness yang milienal miliki menjadi semacam daya dorong tambahan yang bermanfaat bagi pengentasan kemiskinan di Indonesia. Melalui proyek-proyek sosial dan filantropi yang mereka inisiasi mampu menjadi mitra pemerintah dalam penanggulangan masalah ekonomi dan kesejahteraan di masyarakat. Melek ekonomi artinya juga berkontribusi melalui instrumen-intrumen terkecil dalam pembangunan negeri. Bisa melalui investasi melalui negara dengan tujuan pemanfaatan dana menganggur agar lebih produktif untuk pembangunan negara.
Pengetahuan akan ekonomi juga akan berdampak bagi industri pertanian dan perdagangan serta pengelolaan hasil pangan dimana hal tersebut termasuk menjadi kekuatan Indonesia. Nuansa entrepreneurial yang digemari milenial mampu menjadi terobosan bagi penyediaan lapangan kerja yang lebih masif dan merata di Indonesia. Sektor pertanian dan perikanan yang menjadi dominasi geografis Indonesia mampu dimaksimalkan tentu dengan dibarengi dengan kesadaran milenial untuk mulai membangun negerinya berawal dari desanya.
Optimasi kesemua potensi tersebut – pendidikan yang baik, melek teknologi, social awareness, kreatif, mobilisasi yang lincah – dengan sinergi kedalaman pengetahuan pengelolaan keuangan dan ekonomi akan menjadi fundamental pembangunan ekonomi negara. Serta menjadi daya ledak yang positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penyediaan platform-platform digital edukasi keuangan dan ekonomi yang lebih mudah dipahami adalah salah satu strategi pendekatan literasi ekonomi di kalangan milenial.
Pemerintah dapat menelurkan kebijakan-kebijakan yang millenials friendly, semisal akses permodalan/pembiayaan dengan bunga yang rendah serta tawaran investasi yang simple (techno minded) dan low cost namun berdampak signifikan. Oleh karenanya menjadi harapan bersama Indonesia menjadi kekuatan ekonomi dunia dengan fundamen generasi milenial yang kokoh dan well-literate dalam hal ekonomi.