Kamis, April 25, 2024

Optimalisasi Modal Simbolik dalam Pilkada 2020

Wira
Wira
Pengajar Sosiologi/Alumnus Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta

Saat ini Indonesia masih dilanda pandemi COVID-19 dan hampir semua elemen bangsa sedang fokus dalam penanganan krisis kesehatan serta potensi krisis ekonomi dan sosial. Meskipun begitu, semarak dan gegap gempita guna menyambut pesta demokrasi masih tetap dapat terdengar di tengah-tengah masyarakat.

Namun, tentu berbeda dengan pesta demokrasi di episode-episode sebelumnya seperti pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden serta wakil presiden, dimana terdapat antusiasme yang sangat kuat, baik diantara para aktor politik maupun masyarakat sebagai pemegang suara. Pada episode kali ini antusiasme serupa bisa jadi tidak terulang ataupun berganti dengan corak antusiasme yang baru menyesuaikan kondisi yang ada—yaitu pandemi COVID-19.

Pada bulan September nanti akan dilakukan proses pengisian jabatan politik di tingkat daerah, baik itu provinsi maupun kabupaten dan kota. Mesin partai politik yang mungkin sudah menyala di awal tahun 2020, mulai dinyalakan ulang mengingat terjadinya pandemi COVID-19 di Indonesia.

Strategi-strategi dini yang sempat direncanakan oleh para aktor politik dengan cukup matang harus kembali disusun guna menyesuaikan dengan situasi yang ada. Penyusunan strategi tersebut harus dilakukan secepat mungkin mengingat waktu semakin dekat serta peta politik mulai terlihat, potensi koalisi mulai terbentuk, dan terdapat beberapa rekomendasi pencalonan mulai dikeluarkan oleh partai politik.

Arena Pertarungan

Mengadopsi konsep field (ranah) dalam teori sosial milik Sosiolog asal Prancis, yaitu Pierre Bourdieu, pilkada 2020 sebagai perwujudan dari ranah politik merupakan sebuah arena pertarungan (arenas of struggle), yang tujuannya tentu memenangkan pertarungan atau dalam istilah Bourdieu memperoleh social position (posisi sosial). Posisi sosial tersebut berupa menjadi kepala daerah di wilayahnya masing-masing, baik provinsi, kabupaten, maupun kota.

Tentu pertarungan yang diharapkan oleh masyarakat adalah pertarungan gagasan dan program-program unggulan, apalagi Menteri Dalam Negeri secara implisit pernah memberikan semacam kisi-kisi kepada para aktor politik—khususnya petahana—untuk dapat menjadikan keberhasilan pengendalian penanganan COVID-19 sebagai sebuah pencapaian yang dapat menarik hati masyarakat.

Terobosan-terobosan guna merespon kehidupan pasca pandemi seperti membumikan “Adaptasi Kebiasaan Baru” juga dapat menjadi konten kampanye yang menarik. Aspek-aspek destruktif seperti black campaign maupun penyebaran hoax diupayakan tidak ikut berkelindan saat pertarungan berlangsung.

Optimalisasi Modal Simbolik

Untuk memenangkan pertarungan dalam field—dalam hal ini pilkada 2020, Bourdieu juga mengkonsepsikan seperangkat bekal yang dapat dioptimalisasi oleh aktor, yaitu capital (modal). Terdapat empat jenis modal yang dirumuskan oleh Bourdieu.

Pertama, economic capital (modal ekonomi), berupa kekayaan yang dimiliki aktor. Kedua, cultural capital (modal budaya), berupa keahlian, keterampilan, maupun pengakuan akademik. Ketiga, social capital (modal sosial), berupa jaringan sosial. Keempat, symbolic capital (modal simbolik), berupa gelar tertentu maupun afiliasi terhadap tokoh tertentu.

Jika kita mengadopsi konsep tersebut, maka keberhasilan aktor politik dalam pertarungan pilkada 2020 ditentukan oleh kepemilikan atas jenis-jenis modal tersebut. Tidak hanya kepemilikan dalam penjelasan kuantitatif, namun juga berkaitan dengan optimalisasi penggunaan modal-modal tertentu sehingga bisa terkonversi ke dalam jenis modal yang lain.

Dalam beberapa kesempatan mengenai persiapan menuju pertarungan pilkada 2020, terdapat strategi-strategi menarik yang dilakukan oleh beberapa aktor politik, seperti yang dilakukan oleh putra dan menantu Presiden Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution yang akan berlaga di pilwalkot Solo dan Medan, serta putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, yaitu Siti Nur Azizah yang akan berlaga di pilwalkot Tangerang Selatan.

Ketiganya terlihat mengoptimasilasi modal simbolik yang mereka miliki. Simbol yang paling sederhana yang tersemat sehingga menjadi sebuah modal adalah relasi ketiganya dengan dua tokoh nasional yang menempati hierarki tertinggi dalam konstruksi politik di Indonesia, yaitu presiden dan wakil presiden.

Meskipun mereka terlihat tidak begitu fokus pada kepemilikan modal simbolik, di mana mereka tetap mengikuti prosedur politik yang ada, seperti menjadi kader partai politik maupun mengintensifkan safari politik guna membangun koalisi, keputusan mereka untuk maju bertarung dalam arena pilkada 2020 tidak dapat dipungkiri merupakan sebuah strategi memanfaatkan kepemilikan modal simbolik.

Apalagi style kampanye akan disesuaikan dengan situasi pandemi COVID-19 yang melarang adanya kerumunan maupun konsentrasi massa, membuat jenis modal yang lain, misalnya modal ekonomi yang seringkali digunakan untuk membuat kampanye akbar maupun blusukan intensif akan lebih ditekan pengunaannya, sehingga jenis modal yang lain—seperti modal budaya, sosial, dan simbolik—akan lebih efektif penggunaannya.

Optimalisasi atas modal simbolik yang dimiliki putra dan menantu Presiden serta putri Wakil Presiden dapat pula dikonversi menjadi jenis modal yang lain, misalnya modal ekonomi berupa bantuan finansial yang digunakan untuk membuat alat peraga kampanye maupun modal ekonomi berupa jaringan sosial yang dapat menambah jumlah suara pada saat pemilihan nanti.

Meskipun menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan, baik para pengamat maupun sesama aktor politik, tidak dapat disangkal bahwa kepemilikan atas modal simbolik secara sosiologis merupakan bagian dari strategi guna memenangkan pertarungan dalam pilkada 2020.

Tentu hal tersebut merupakan keistimewaan tersendiri bagi sang pemilik modal simbolik. Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa optimalisasi modal simbolik semacam ini perlu dikawal agar tidak melahirkan budaya politik dinasti maupun feodal yang hanya menguntungkan aktor-aktor tertentu yang memiliki kekuasaan simbolik. Pengawalan atas optimalisasi modal simbolik merupakan salah satu upaya guna merawat demokrasi di Indonesia.

Wira
Wira
Pengajar Sosiologi/Alumnus Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.