Jumat, Oktober 4, 2024

Kerakusan Elite Politik Negeri Ini

ARIF BUDIMAN
ARIF BUDIMAN
Peneliti Muda, Penulis Lepas, Pemerhati Hukum, Sosial dan Agama Ketua III Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cab. DI.Yogyakarta. Kader Muda Nahdlatul Ulama.

Pembahasan RUU Pemilihan Umum, kini sudah beumur sepakan sejak disahkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna pada Jum’at, 21 Juni 2017. Di mana UU pemilu yang telah disahkan otomatis menjadi acuan pada Pemilu serentak tahun 2019. Prasayarat dari UU tersebut memuat beberapa point, diantaranya dalam paket A kemudian sebagai dasar hukum (legal standing) Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mempersiapkan tahapan Pemilu melalui pembuatan peraturan KPU.

Meskipun sudah disahkan dalam sidang paripurna, UU Pemilu ini masih menyimpan polemik berkelanjutan. Oleh karena itu, tahapan mekanisme Pansus, RUU Pemilu melahirkan pro dan kontra. Akibatnya, mekanisme persidangan yang digelar Pansus melahirkan pelbagai kepentingan dari multi partai. Seperti Walk Out-nya beberapa partai pada sidang paripurna sudah memberikan kesan bahwa sidang tersebut lebih mengedepankan kepentingan secara politis. Di sisi lain, kondisi ini pun mendongkrak reaksi dari para pakar hukum tata negara yang melontarkan kritik konstruktif.

Pro dan kontra UU Pemilu ini pada dasarnya bertumpuan pada ketentuan ambang batas pencalonan (presidential threshold ) 20%-25% dan perolehan suara partai politik untuk mengusung calon anggota di parlemen ((parliamatary threshold). Ketentuan ini dianggap oleh pelbagai pihak sebagai bentuk kekhawatiran pemerintah penguasa karena Partai yang memiliki suara minor 0% di parlemen berdasarkan hasil Pemilu 2014 dapat mengusung Calon Presiden. Pada gilirannya, UU ini hanya sebagai pertentangan absurd antara partai penguasa dengan partai oposisi.

Adanya pertentangan ini disinyalir akibat perbedaan pandangan politik yang memilih untuk mengedepankan kepentingan partai dari pada kebutuhan masyarakat secara umum. Dus, melihat peta politik nasional di masa mendatang, harusnya partai politik perlu mempertimbangkan hak konstitusional warga negara sebagaimana Hak tersebut sudah di jamin oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Menurut Fredric Bastiat, jika partai politik hanya mementingkan ego sektoral para rezim penguasa, maka konteks ini dinamakan perampasan yang legal dari negara. Maka dari itu, sewajarnya negara harus berkaca pada konstelasi politik tahun 2014, di mana partai tidak dirampas haknya. Namun dengan adanya presidential threshold, jelas hanya menguntungkan partai politik pengusung pemerintah yang saat ini sedang berkuasa, sehingga negara dapat dinyatakan sebagai bagian dari perampas hak konstitusional partai minor.

Berkaca pada realitas politik saat ini, semangat UU Pemilu justru mencederai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-X Agustus 2012 yang menyebutkan setiap partai wajib mengikuti verifikasi dan putusan nomor 14/PUU-XI/2013 terkait pelaksanaan pemilu serentak. Konsekuensi logis dari putusan ini secara otomatis menghapus ketentuan ambang batas pencalonan. Hal senada juga pernah disampaikan pakar Hukum Tata Negara Prof. Yusril Izha Mahendra, bahwa adanya ‘presidential threshold’ sudah tidak relevan. Pasalnya, dengan adanya putusan MK dikatakan sudah bersifat final dan mengikat, karena hal ini berdasarkan keputusan UU Pemilu yang sangat rentan mudah ditolak oleh MK (Baca: Kompas).

Menurut hemat penulis, ketentuan presidential threshold 20% juga bertentangan dengan semangat UUD 1945, pasal 6A ayat 2 yang menyebutkan bahwa calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelumnya. Sehingga, secara tidak langsung dapat menggunakan Threshold tahun lalu menjadi threshold pemilu serentak mendatang. Artinya partai yang masuk pemilu tahun lalu dapat mengusung calon sendiri. Selain itu, Pasal 28D ayat 3 pun menyebutkan, setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam pemerintahan. Secara konstitusi UU Pemilu ini patut dilakukan judical review (uji materi) di MK. Seperti yang sudah dijelaskan tadi, UU Pemilu bila tetap dilaksanakan akan tetap bertentang dengan keputusan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Bahkan bertentangan dengan UUD dan Pancasila pada sila-4 yang menyatakan “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.

Meskipun demikian, tetap dimungkinkan partai Threshold di parleman kurang dari 20% dapat tercukupi jika terjadi koalisi besar. Contohnya koalisi antara Gerindra, Demokrat, dan PKS, koalisi ini dapat di jadikan langkah untuk mengusung calon di luar dari partai pengusung pemerintah. Terlebih, sudah adanya pertemuan antara Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Prabowo Subianto. Selain itu, partai pemerintah atau pengusung Threshold tidak ada kemutlakan pada pemilu serentak mendatang koalisi akan tetap utuh. Karena, sangat di mungkinkan partai Golkar akan mengusung kader terbaik partainya. Sehingga, Threshold secara substansial sebagai bentuk pencegalan terhadap partai lain tidak bisa di benarkan sepenuhnya karena UU masih memberikan peluang melalui mekanisme Koalisi antar partai agar Threshold tercapai. Akan tetapi, adanya Threshold lebih banyak Mudharat dari pada manfaat.

Di akui atau tidak presidential threshold bila tetap telaksana bisa mengulang tragedi buruk sejarah bangsa ini. Tragedi buruk ini terjadi pada pembagian kursi jabatan (bagi-bagi kue) setelah diketahui calon yang diusung dinyatakan menang, sehingga sangat rentan bagi pemenang tampuk kekuasaan politik di negeri ini berbagi sama rasa sama rata dari masing-masing partai yang mengusung Presiden. Tak ayal, efek yang bisa terjadi adalah tawar-menawar kursi jabatan baik di parlemen maupun di jajaran kabinet kementerian terkait. Fenomena ‘bagi-bagi kursi empuk’ di tampuk kekuasaan ini bukan persoalan baru. Tentu saja, memori kolektif kita masih segar pada saat menyaksikan kemenangan rezim Presiden SBY dan Jokowi pada Pemilu yang dilakukan secara langsung.

Dari persingungan kasus presidential threshold dari antar partai politik ini semakin meyakinkan kita bahwa sistem yang akan dibangun dalam konteks ini, tak ubahnya sebuah pobia rezim penguasa saat ini. Di mana sistem demokrasi presidensial yang sudah berjalan dengan baik, masih diutak-atik karena ambisi dari para kroni penguasa masa lalu. Saling serang, saling hujat, saling cemooh, saling intimidasi, dan lain-lain menjadi sebuah keniscayaan dalam momentum pesta demokrasi di negeri ini. Kedewasaan elit politik negeri ini hanya mementingkan kepentingan golongan tertentu.

Tak ayal, bila cita-cita demokrasi yang diusung para foundhing father bangsa ini harus luput oleh kerasukan segelintir orang yang ambisius mempertahankan singgasana empuk di dalam roda pemerintahan. Berharap mewujudkan rasa aman, adil, makmur, dan sejahtera harus tertutupi oleh ambisi segelintir elit politik bangsa ini.

ARIF BUDIMAN
ARIF BUDIMAN
Peneliti Muda, Penulis Lepas, Pemerhati Hukum, Sosial dan Agama Ketua III Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cab. DI.Yogyakarta. Kader Muda Nahdlatul Ulama.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.