Tan Ta Sen, dalam karya ini Cheng Ho, Penyebar Islam dari China ke Nusantara, menjelaskan dengan detail sosok Cheng Ho: dari profile hingga peran dan sepak terjangnya dalam menyebarkan Islam ke Asia Tenggara dan secara khusus ke Nusantara.
Karya ini punya bobot lebih dari karya-karya lain dalam tema yang sama karena mendasarkan pada naskah-naskah kuno dan sumber-sumber sejarah penting lain yang ada di daratan China; juga memberikan beberapa informasi baru yang selama ini menjadi rujukan banyak penulis seperti jumlah pasukan yang dikirim Kubilai Khan untuk menyerang Singhasari dari 20.000 yang direncanakan ternyata dikurangi drastis menjadi 5.000 (h. 262).
Tan Ta Sen pun memberikan tafsiran baru yang berani mengenai tidak adanya pembantaian 200 pasukan Mongol yang mengawal Wijaya menuju Majapahit. (h. 264). Tak hanya itu, Tan Ta Sen menginformasikan dan meyakinkan bahwa pasukan penyerang ke Singasari itu banyak yang beragama muslim dan dipimpin para komandan muslim seperti Shih-pi dan Ike Messe, yang berasal dari Uighur, yang kelak memberikan basis kemudahan operasi Cheng Ho. “Jika ada serdadu Mongol di antara pasukan penyerbu, itu pasti berjumlah sedikit dan lebih bersifat simbolis.”(h.261).
Begitulah Tan Ta Sen, dengan kurang lebih 406 halaman berusaha meyakinkan para pembaca, bahwa pengislaman di Nusantara tidak berjalan dalam arus tunggal sebagaimana juga banyak diyakini hanya berasal dari unsur Arab atau yang sering disampaikan juga dari para pedagang Gujarat secara amatiran.
Justru pengislaman arus China yaitu Mazhab Hanafi yang dibawa Cheng Ho lebih sistematis, terukur dan berdaya kuat sebagai bagian dari operasi menyeluruh Kekaisaran Tiongkok di bawah Dinasti Ming untuk menundukkan dan menjamin “perdamaian dan keseimbangan” di antara para penguasa di kawasasan Asia Tenggara.
Misi Cheng Ho jelas berbenturan dengan Majapahit yang menjadi calon penguasa atau berpotensi menyatukan kawasan Asia Tenggara yang selama ini terpecah-belah. Penyatuan Asia Tenggara di bawah kuasa Majapahit tentu membahayakan Kekaisaran Tiongkok yang selama itu juga telah menjadi negara kesatuan: tidak seperti Asia Tenggara atau Nusantara yang sering terpecah belah.
Karena itu barangkali bisa disimpulkan bahwa sejarah Asia Tenggara sebenarnya adalah sejarah usaha persatuan yang selalu gagal berhadapan dengan feodalisme kesatuan Tiongkok. Misi Cheng Ho dalam kerangka ini tidak menginginkan adanya persatuan Asia Tenggara di bawah Majapahit.
Dengan lihai, Cheng Ho menggunakan diplomasi politik dan budaya yang didukung kekuatan militer besar dan tangguh untuk menjalankan misi tersebut seperti misalnya memberikan jaminan keamanan atas Kesultanan Malaka (h.246).
Dalam buku Tuanku Rao, karya Mangaradja Onggang Parlindungan, terbitan LKIS, 2007, halaman 580 dicatatkan: “Pada tahun 1409, offensive power dari Kerajaan Majapahit dimusnahkan di Samudera / Pasai oleh Angkatan Laut Tiongkok/Ming Dynasty di bawah commando Laksamana Hadji Sam Po Bo jang beragama Islam/Mazhab Hanafi.
Akibatnya: Agama Islam di dalam periode wali2 songo, dapat berkembang dari Kesultanan Samudera/Pasai liwat Kesultanan Malaka, di wilayah Kerajaan Majapahit, jang sudah impotent. Hal mana tidak mungkin di Kerajaan Majapahit, jang masih maha kuat di bawah Perdana Menteri Gadjah Mada.”
Barangkali Kekaisaran Tiongkok sudah belajar bagaimana penaklukan langsung melalui kekuatan militer ke jantung Majapahit justru gagal sebagaimana Dyah Wijaya di tahun 1294 berhasil mengusir tentara yang dikirim Kubilai Khan. Kematian ratusan pasukan Cheng Ho di Majapahit Timur pun dalam masa paregreg tidak juga menggerakkan Cheng Ho untuk menyerbu Majapahit Barat.
Majapahit barangkali di mata Cheng Ho dinilai masih punya harga diri yang kuat sebagaimana telah ditunjukkan Majapahit dalam mempertahankan supremasi Majapahit atas Nusantara sebagai kelanjutan dari politik luar negeri Singhasari di bawah Raja Kertanagara bahkan di tahun 1410, tiga tahun sebelum kedatangan armada Cheng Ho di Malaka dan menobatkan Parameswara sebagai raja Malaka, dalam konflik melawan Malaka,.
Kekaisaran Tiongkok dengan resmi mengakui Kedaulatan Majapahit atas Palembang atau Sriwijaya yang sudah disengketakan sejak ekspedisi Pamalayu tahun 1275, walau secara de facto Majapahit sudah tak berdaya atas Palembang dan penaklukan bajak laut Chen Zu Yi yang bermarkas di Palembang ditumpas sendiri oleh Cheng Ho.
Kondisi ini menegaskan bahwa pelemahan Majapahit sehingga tidak menjadi ancaman perdamaian di Asia Tenggara sebagaimana misi yang diemban Cheng Ho berhasil dan sukses.
Tan Ta Sen menulis: ”Selain pergulatan kekuasaan di istana, kewenangan Majapahit untuk mengatur negara-negara yang tunduk kepadanya di Jawa dan Sumatera mulai digerus oleh faktor Cheng Ho.
Cheng Ho mendorong dan mendukung para pemimpin lokal negara-negara vassal Majapahit seperti Samudra-Pasai, Palembang, Aru dan lain-lain, untuk mengukuhkan hubungan langsung dengan China. Dengan demikian, status negara-negara bekas bawahan Majapahit itu praktis diangkat sejajar dengan Majapahit. Itu adalah lanskap politik di Jawa era Pasca-Cheng Ho. (h. 295)
Pada tahap sejarah berikutnya, kita pun mengerti semua rencana Kekaisaran Tiongkok ini pun gagal total dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugal di tahun 1511, yang mengubah jalur perdagangan tak lagi mengutamakan Selat Malaka tetapi Selat Sunda. Ini tentu saja cerita lain; hanya saja kini pendatang baru tak lagi mengibarkan bendera Perdamaian dan Islam Mazhab Hanafi tetapi Gold, Glory dan Gospel.
Buku ini, harus dibaca oleh para pecinta negeri ini, termasuk para politisi nasionalis agar punya gambaran bagaimana kekuatan asing berusaha masuk dan mengendalikan jalannya politik di Nusantara dan bagaimana Nusantara menerima segala sesuatu yang datang itu dengan caranya sendiri.