Persoalan onani tidak membatalkan puasa menjadi polemik dan diskursus yang tidak berkesudahan. Menurut jumhur ulama, di dalam banyak kitab klasik, onani membatalkan puasa.
Menurut KBBI onani adalah pengeluaran air mani (sperma) tanpa melalui sanggama; masturbasi. Apapun bentuk dan caranya, perbuatan mengeluarkan sperma tanpa melalui sanggama (jimak) diartikan sebagai onani. Dan menjadi persoalan yang menjurus ke kegaduhan ketika ada yang berpendapat bahwa onani tidak membatalkan puasa. Meski seharusnya, kita harus menghormati perbedaan (ikhtilaf).
Di dalam kitab Syarah Fathul Qarib al-Mujib, karangan Syeh Muhammad bin Qasim al-Ghazy, —halaman 26— menjelaskan bahwa istimna’ (onani) termasuk hal-hal yang membatalkan puasa. Selama ini kita juga memahami dan mengetahui bahwa onani, masturbasi, dan mengeluarkan mani secara sengaja pada saat puasa dapat membatalkan puasa.
Lebih jauh juga dijelaskan di dalam kitab Al-Bajuri, karya Syeh Ibrahim Al-Bajuri dalam bab ahkamus shiyam (hukum puasa) bahwa dalam penjelasan yang lebih rinci onani juga membatalkan puasa.
Onani tidak membatalkan puasa apabila keluarnya mani disebabkan karena seseorang menggaruk kemaluannya, —karena gatal, misalnya— kemudian tanpa sengaja keluar mani, maka hal yang seperti ini tidak membatalkan puasa. Karena onani yang dimaksud adalah perbuatan yang disengaja untuk mengeluarkan sperma dengan cara apapun selain sanggama.
Polemik onani atau masturbasi menjadi diskusi, karena video viral Ustadz Yazid bin Abdul Qadar yang mengatakan bahwa onani tidak membatalkan puasa. Pernyataan yang membuat kegaduhan ini terjadi pada suatu acara di Kampus UGM pada 6 Mei 2018 lalu. Tetapi kemudian viral pada Ramadan tahun 2020 ini.
Dalam pernyataannya, “Istimna (Onani) ini kalau jumhur ulama berpendapat batal,” kata Yazid dalam video tersebut. “Tetapi Imam ibnu Hazam, Imam Assaukani, dan Syekh Albani berpendapat bahwa itu tidak membatalkan puasa.” Tambahnya.
Bermaksud memberikan tanggapan, tanpa ada niat untuk membenci apalagi menjatuhkan Ustadz Yazid, pengasuh Pesantren Ora Aji, Miftah Maulana Habiburrahman (Gus Miftah) memberikan pandangannya. Atas banyak pertanyaan dan permintaan kepada Beliau, berkenaan dengan video viral terkait onani. Akhirnya, Gus Miftah menjelaskan bahwa Beliau tidak sependapat dengan Ustadz Yazid. Artinya, onani (tetap) membatalkan puasa.
Gus Miftah beralasan bahwa secara jumhur ulama (ijmak ulama), onani membatalkan puasa. Di dalam perbuatan masturbasi ini memang terdapat perbedaan pendapat mengenai predikat dosa. Ada yang berpendapat bahwa onani adalah dosa besar. Yang lain lagi mengatakan dosa kecil. Bahkan ada juga ulama yang mengatakan bahwa onani adalah makruh.
Meski demikian, dalam kontra logika yang dijelaskan oleh Gus Miftah, Beliau sama sekali tidak benci dan apalagi berniat menjatuhkan Ustadz Yazid. Bagaimana pun, Gus Miftah tetap menghormari pendapat Ustadz Yazid meskipun hal tersebut berseberangan dengan pendapat kebanyakan ulama fiqih.
Meletakkan persoalan onani pada ikhtilaf ulama adalah jalan yang paling niscaya. Meskipun onani itu tidak membatalkan puasa (menurut pendapat Ustadz Yazid, dkk), tetapi Beliau menyatakan bahwa melakukan onani hukumnya berdosa (haram). Maka meninggalkan onani baik pada saat puasa atau di luar puasa adalah perkara wajib. Terlepas dari batal tidaknya onani, tetapi perbuatan tersebut dikenai sanksi (siksa) di akhirat kelak.
Melalui kajian logika syar’i, fiqih klasik, dan kajian ilmiah, maka melakukan onani akan berdampak buruk terhadap fisik dan fisikis. Oleh karenanya, meninggalkan perbuatan ini jauh lebih bermanfaat daripada melakukannya.
Terlebih lagi, di saat bulan Ramadan, bulan keagungan dan kemuliaan ini kita dituntut untuk semakin dekat (taqarrub) kepada Allah swt. Zikir, tafakur, dan tadabbur adalah bagian dari ikhtiar mendekatkan diri kepada al-Khalik. So, say no to onani.
Memandang persoalan khilaf adalah sebagai bentuk toleransi untuk saling menghormati. Setiap personal (dengan terapan ilmu yang dapat dipertanggung-jawabkan) mempunyai hak untuk berpendapat. Namun, pendapat yang lebih memiliki dimensi sosial adalah opini dengan pola pokir yang tidak menyebabkan kegaduhan.
Artinya, ketika terjadi beda pandangan dan perbedaan itu akan menimbulkan polemik dan keriuhan, maka sebaiknya pendapat itu disimpan untuk diri sendiri. Atau diungkapkan dalam kalangan terbatas untuk menghindari polemik yang semakin rumit.
Dalam sebuah kaidah fiqih dijelaskan, “Menolak keburukan (kegaduhan) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan.” Artinya, kita dituntut untuk mengeluarkan pernyataan yang tidak sampai membuat kecemburuan sosial. Wallahu alam!