Pembahasan RUU Pemilu kembali dibuka tanggal 10 Juli 2017 dan diusahakan selesai 20 Juli 2017. Begitulah berita terkait RUU Pemilu yang saya dapatkan. Sebenarnya hati sudah tidak bisa percaya lagi. Tapi apalah daya, kita harus mengakui bahwa janji yang boleh diingkari adalah janjinya politisi. Janji menyelesaikan Kitab UU Pemilu pada bulan april 2017, sampai sekarang tinggal janji.
Bila dirunut dilema pembahasan RUU Pemilu, dari semua pembahasan, hanya paket-paket termasuk ambang batas pencalonan presiden yang membuat ribut. Paket ini terdiri dari Presidential Threshold, Konversi Suara ke Kursi, dan Sistem Pemilu khusus pembahasan ambang batas pencalonan presiden, habis sudah energi politik yang tidak tejas muaranya.
Bukannya mempercepat pembahasan, ambang batas bukan sekedar ambang batas. Melainkan ambang batas koalisi partai. Karena partai penguasa tidak siap untuk dewasa dan menumbuhkan kontestasi politik. Banyak calon dibenturkan dengan calon tunggal. Lalu muncul pernyataan lucu “kalau Presidentia Threshold sudah 20%, kenapa harus turun menjadi 0%”. Lalu maunya apa? Apakah pihak yang mengeluarkan pernyataan tidak fokus? Seperti iklam minuman kemasan “anda butuh aqua”.
Voting
Dalam mengambil keputusan termasuk pengesahan RUU menjadi UU, ada beberapa tahapan untuk menetapkan kesepakatan. Jalan pertama dikenal dengan musyawarah untuk mufakat. Kedua voting, apabila jalan pertama tidak bisa menyepakati apapun. Musyawarah biasanya membutuhkan waktu yang lama dengan asumsi setiap peserta rapat mengungkapkan pandangan dan pilihan untuk disepakati.
Musyawarah membutuhkan kesiapan untuk saling mengakomodasi pandangan demi menemukan kesepakatan terbaik. Saat semua kesepakatan dianggap memenuhi keinginan dari sebahagian peserta. Maka diraihlah mufakat atas setiap musyawarah.
Akan tetapi, apabila setiap pandangan beradu pendapat berujung pertikaian baik secara lisan maupun fisik. Maka peserta musyawarah bisa mengambil pilihan lain, yakni voting. Umum diketahui bahwa voting adalah pengumpulan suara dengan mekanisme terbuka dan tertutup.
Voting terbuka dipahami bahwa setiap peserta bisa memilih secara langsung dan diketahui oleh peserta lain. Sedangkan voing tertutup diartikan pemberian suara dan pilihannya tidak diketahui oleh siapapun. Seandainya voting dijadikan sebagai solusi, itu pertanda kesepakatan telah tiada untuk kebersamaan. Kepada yang mendengar berita terjadinya voting harap memahami bahwa perbedaan telah membuka luka dan tidak bisa disembuhkan.
Pilihan Pahit
Jika pembahasan menemui jalan buntu (deadlock). Menurut hemat saya, lebih baik RUU Pemilu dibawa ke paripurna dan menggunakan voting, satu anggota DPR satu suara. Walaupun voting merupakan pilihan terakhir, tetapi demi kemaslahatan voting bisa dipilih sebagai solusi. Saran saya, voting terbuka sebagai pilihan berani. Pubik bisa melihat siapa yang mendukung satu paket dan siapa yang menolak.
Pilihan voting merupakan kenyataan pahit bahwa musyawarah mufakat sudah mengarah kepada deal-deal politik. Musyawarah (pembahasan) RUU Pemilu tidak mengedepankan ketepatan waktu pembahasan dan penetapan janji. Perih.
Pelajaran yang bisa diambil hikmahnya oleh rekayat adalah tidak berdosa secara politik apabila kita mengingkari janji. Dalilnya sudah jelas bahwa rakyat sudah diajari untuk ingkar janji dari para wakil rakyat dengan omong kosong ambang batas pencalonan Presiden. Sudahi perdebatan, selesaikan lah tugasmu wahai wakil rakyat.
Di lain sisi, paskapenetapan UU Pemilu, rakyat tahu langkah apa yang diambil untuk mengevaluasi UU Pemilu. Apakah Judicial Review atau menerima dengan pasrah tapi tidak rela. JR dilaksanakan apabila ada kepastian bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) memberikan jaminan dapat mengeluarkan putusan dengan tempo singkat.
Sebaliknya, bila MKRI menunda-nunda putusan layaknya JR ketentuan Pasal 9A UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Rakyat cukup menerima Kitab UU Pemilu dan mengganti para pembentuk UU dengan calon legislatif lainnya saat hari pemungutan suara.
Sebagai cacatan akhir, disaat pemilu serentak bagaikan mimpi buruk tanpa kepastian regulasi. Disaat itu lah demokrasi indonesia runtuh oleh hasil pemilu 2014. Apakah kami masih bisa percaya setelah tiga kali ingkar janji? Silahkan mengambil hikmah sendiri.