Jumat, Maret 29, 2024

Omong Kosong Orba dan Politisasi Swasembada

Zufi Misbahus Surur
Zufi Misbahus Surur
Peminat Kajian Humanisme dan Postkolonialisme.

Apa yang paling menyakitkan dari pada ditinggal pas lagi sayang-sayangnya? Iya, anda betul. Utopia jargon-jargon Orba.

Mari kita bicara, mari kita berdiskusi. Anda sekalian pasti pernah paling tidak satu kali dalam seumur hidup menyaksikan salah satu narasi visual Orba yakni film Penghiatanan G30S/PKI. Sebuah karya seni yang hampir tidak pernah terlewatkan dalam akomodasi waktu rezim Orde Baru.

Film yang hampir diputar empat kali dalam sebulan di TV nasional dan tentu dalam siaran-siaran radio. Bahkan melampaui jatah bermain dan liburan kami sebagai kanak-kanak yang hanya sekedar bermain layang-layang di belakang rumah, sawah, dan memancing belut di daerah aliran sungai Brantas. Saya ingat, waktu itu saya masih kelas empat Madrasah Ibtidaiyah yang berhaluan kanan-nasionalis.

Adalah Nugroho Notosusanto sang Movie maker, seorang yang lahir di pertengahan tahun 1931 yang sangat terobsesi dengan militerisme. Pada usia 14 tahun ia bergabung kedalam Tentara Pelajar yang dikenal juga sebagai Barikade ke-17 Tentara Nasional . Kalaupun pada waktu itu Golden Globe menjadi ajang bergengsi di negeri ini, mungkin beliau pasti mendapatkan penghargaan kategori sutradara terbaik yang anti produk menye-menye khas anak indie milenial dan menyingkirkan kolega-kolega-nya. Tapi tidak, ini Indonesia dan ini Orde Baru, bung!

Apa pesan moral yang mampu anda ingat sampai detik ini dari film itu? Kalau saya sendiri alih-alih bahagia dan tertawa justru saya dipertontonkan dengan kebejatan dan kekejian. Secara simbolis saya dituntut untuk jangan pernah sekali-kali mengenal apa itu hantu komunisme, ideologi, dan tentu tujuan-tujuan politiknya. Mereka biadab, psikopat, pemerkosa, anti-modernisme, anti-barat, anti-kemajuan dan ya, pembunuh kyai-kyai desa.

Saya tidak paham betul kenapa di usia yang masih pentil itu, harus menonton Tragic-Scene hitam putih dan terkesan merah darah. Iya, Orde Baru putih dan Komunisme hitam legam. Merah darah adalah ongkos peradaban. Culik-menculik sebagai cara untuk membungkam yang pada akhirnya memproduksi pamali kebudayaan dengan istilah dulitan agar anak-anak tak membangkang untuk pulang terlalu sore selesai bermain-main dan bergembira. Tembak-menembak sebagai ritual keseharian bak cowboy pemabuk di bar-bar pinggir jalan menenteng botol minuman cum senapan. Dan suara adzan magrib sebagai penutup cerita hari yang sungguh melelahkan.

Mungkin anda sekalian boleh untuk tidak setuju dengan cerita kanak-kanak saya. Anda boleh tidak sepakat, tapi juga anda tidak boleh untuk tidak adil terhadap diri sendiri. Anda boleh bertanya pada kakek-kakek anda, pada saudara kakek-kakek anda atau bahkan modin desa yang berusia semenjana di pelosok-pelosok nusantara. Bahwa Orde Baru itu ada, membabi buta, dan berlipat ganda.

Di beberapa media arus utama belakangan ini kita bisa menyaksikan para politisi kita yang sedang merasakan kembali sensasi Orba, utopia-utopianya dan cara-cara mereka untuk lahir kembali. Mereka seakan kembali terobsesi untuk hidup dengan cara Orba, dengan menggolrifikasi Swasembada yang menjadi senjata utama rezim totalitarian itu. Apa yang paling menyakitkan dari pernyataan-pernyataan mereka?

Saya sebagai generasi pasca-reformasi yang dituntut untuk menjadi beradab seakan lunglai dan lemas seketika. Bapak-bapak bangsa kita menyuruh anak-anak peradaban untuk tidak melupakan sejarah, seperti yang Soekarno gaungkan dengan Jasmerah-nya. Atau adagium keberadaban suatu bangsa itu diukur dari tingkat manusianya yang menghargai betul sejarah bangsanya.

Tapi, lagi-lagi politisi kita pandai bersilat lidah. Pandai untuk memainkan rumus-rumus kekuasaan bahwa tidak ada yang abadi dalam politik dan kehidupan, yang abadi adalah kepentingan. Alih-alih para politisi kita mengajari majikannya tentang keberadaba, justru mereka mempertontonkan belatung-belatung dalam comberan peradaban.

Upaya kelahiran dan hegemoni Orde Baru lantas coba dihidupkan kembali lewat jargon-jargon. Lewat platform-platform yang berbeda. Kalau dulu kita mungkin bisa menelisik sejarah dengan hati-hati dan bertanggung jawab. Lewat berlama-lama membaca tumpukan literasi basi dan berkumpul dengan sejawat “kanan-kiri” untuk sekedar membicarakan dikotomi hitam-putih dan bagiamana cara menikmati kopi yang baik. Saat ini, hal itu sudah usang dan bukan lagi menjadi komoditi politik paling goldy.

Dulu karya sastra dan juga sinema perak mungkin adalah salah satu medium paling handal untuk menyebarkan infomasi berskala besar tanpa perlu bercapek-capek ria untuk sekedar berdebat kusir dan menunggangi kuda.

Lewat media itu, glorifikasi keberhasilan rezim Orba dengan segala pencapaian keberhasilaannya mampu sekaligus disampaikan. Tidak ada yang mampu dari kita sekalian untuk hanya sekedar berkomentar dan acapkali membuang muka karena tidak setuju dengan segala kebohongan dan tipu daya. Lewat medium itu pula ideologi, politik, dan segala macam pengetahuan dapat sesegera disampaikan dan dilegitimasi.

Galtung dalam Peace by Peacufull Means: Peace and Conflict, Development and Civilization (1996), ada satu esai yang berjudul “Cultural Violence” menjelaskan bagaimana produk-produk budaya seperti ideologi, bahasa, agama, seni dan pengetahuan dapat digunakan untuk melegitimasi praktik  kekerasan baik yang dilakukan secara langsung (fisik) maupun struktural (sistem sosial).

Semua jenis represi dan eksploitasi yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap kelompok lainnya dikategorikan sebagai kekerasan struktural, yakni kekerasan yang tidak mencelakai atau membunuh melalui senjata atau bom, melainkan melalui struktur sosial yang menyebabkan kemiskinan, ketidakseimbangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial dan politik .

Apa yang dikatakan Galtung adalah sebuah isyarat kepada kita, bahwa kekerasan dan tipu daya Orde Baru tidak hanya dilakukan melalui medium sepatu lars dan senapan-senapan semi otomatis usang khas militer dunia ketiga. Namun melalui doktrinasi, fragmentasi utopis informasi, isu sara,  dan kicauan-kicauan twitter.

Lihat langsung : https://twitter.com/TitiekSoeharto/status/1062590488820109312
https://twitter.com/TitiekSoeharto/status/1062590488820109312

Saya percaya dengan konsepsi Swasembada, tapi saya tidak akan pernah sekalipun percaya pada narasi tipu-daya. Lantas, apakah anda sekalian akan kembali pada romantisme sejarah manipulatif penuh darah saudara kita dan dengan gagah mengatakan kita bangsa Swasembada? Anda pasti gila.

PS : Visualiasi Gambar buatan sendiri.

Daftar Pustaka

Galtung, Johan. Cultural and Violence. Journal of Peace Reasearch, Vo, 27, No. 3, 1990.

___, ________. 1996. Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization. London: Sage.

Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Yogyakarta: Marjin Kiri

McGregor, Katherine. Nugroho Notosusanto: The Legacy of a Historian in the Service of an Authoritarian Regime” dalam Mary S Zurbuchen, (ed.), Beginning to Remember: The Past in the Indonesian Present (Singapore University Press, 2005).

Zufi Misbahus Surur
Zufi Misbahus Surur
Peminat Kajian Humanisme dan Postkolonialisme.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.