Tahapan pemilu di Indonesia sudah sampai pada fase debat kandidat Capres dan Cawapres. Adanya debat kandidat ini diharapkan mampu menguji kualitas dari para kandidat, dan visi dan misi Indonesia ke depan.
Dalam pemilu kali ini, debat kandidat dilakukan sebanyak lima kali dengan tema yang berbeda-beda, dan pada 17 Februari mendatang adalah debat kandidat ke dua yang bertema: Energi, Pangan, Infrastruktur, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tema di atas memang hanya segelintir saja yang membahas. Artinya, masyarakat dan pemerintah kita hari ini lebih bisa berbicara soal politik, agama, dan seperangkat persoalan yang menjadi isu seksi di mata publik. Sementara isu soal lingkungan hidup, sumber daya alam, energi dan semacamnya jauh dari bilik pembicaraan masyarakat dan pemerintah kita.
Isu seputar sumber daya alam, tentu saja tidak akan lepas dari kekayaan alam kita dari dulu hingga saat ini yang mengandung emas, minyak, gas, batu bara dan seterusnya. Kekayaan tersebut nyata dimiliki oleh Indonesia, tapi apakah masyarakat yang berada di sekitar pertambangan kekayaan alam itu juga ikut kaya? Atau justru sebaliknya?
Pertanyaan di atas nyaris tidak pernah terjawab sebelumnya, sebab pada kenyataannya kondisi masyarakat di sekitar pertambangan jauh dari pembahasan pemerintah, dan sangat disayangkan persoalan di atas juga tidak hadir dalam momentum debat pilpres khususnya yang bertema sumber daya alam dan sejenisnya.
Mengutip visi-misi dari kedua pasangan calon mengenai sumber daya alam, begini:
Paslon 01: pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) berbasis potensi setempat dan ramah lingkungan.
Paslon 02: menghentikan kebocoran kekayaan negara di bidang sumber daya alam dengan membangun industry pengolahan bahan mentah, smelter, penyulingan minyak dan seterusnya.
Dari sekelumit visi-misi keduanya, tampaknya ada kerancuan antara diksi yang dibangun begitu seksi dengan realitas yang ada. Bagaimana tidak, Paslon yang satu bermisi menciptakan EBT yang ramah lingkungan, sementara Paslon yang lain ingin menambal kebocoran kekayaan negara dengan menyulam industri dalam negeri.
Sementara kenyataannya, menurut laporan visual yang dikeluarkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang berjudul Oligarki Tambang di Balik Pilpres 2019; adanya perusahaan tambang di sejagad Indonesia, yang diharapkan mampu mengolah sumber daya alam Indonesia nyatanya juga berdampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat.
Misalnya dampak yang dilahirkan oleh PT Toba Bara Sejahtera Group (TBSG) asuhan Luhut Binsar Panjaitan, PT yang bergerak di bidang tambang, energi, pembangkit tenaga listrik, serta kehutanan dan kelapa sawit telah meninggalkan 36 lumbang bekas pertambangan. Selain itu, anak perusahaan PT TBSG yang bernama PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN) yang beroperasi dekat pemukiman telah menyebabkan ruas jalan Sanga-sanga – Muara Jawa putus, dan rumah-rumah warga amblas.
Siapa Luhut Binsar Panjaitan? Ya, beliau adalah Menko Maritim kabinet Jokowi-JK. Jika dilihat kembali sekelumit Visi Paslon 01 tentang sumber daya alam, diksi ramah lingkungan telah terbantahkan. Sebab adanya pertambangan selalu melahirkan masalah bagi masyarakat khususnya yang bermukim tidak jauh dari lokasi tambang. Sudah jelas, dalam hal ini, pemerintah dan pihak pemiliki perusahaan tambang harusn bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan, bukan malah hengkang begitu saja saat lahan sudah tidak dibutuhkan.
Kasus serupa juga terjadi pada pebisnis ulung yang masih muda, Sandiaga Salahudin Uno. Jejak Sandiaga muncul PT Adaro Energy, perusahaan batu bara terbesar di Indonesia saat ini. Perusahaan tersebut diduga menggusur desa Lamida Atas, kecamatan Paringin dan desa Wonorejo, kecamatan Juai tahun 2003.
Sandiaga juga terkait dengan PT Multi Harapan Utama di Kutaikartanegara, lubang belas tambang perusahaan tersebut dibiarkan begitu saja sehingga menyebabkan anak-anak tewan di lubang tambang karya perusahaan tersebut.
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perusahaan tambang tidak hanya pada kasus PT yang diasuh Luhut dan Sandiaga saja, melainkan hampir seluruh perusahaan tambang di Indonesia, seperti perusahaan milik Jusuf Kalla, Oesman Sapta Oedang, Yusuf Hamka, Abu Rizal Bakrie, Sandiaga Uno, Hashim Djojohadikusumo, Sandiaga Uno, Prabowo Subianto, Surya Paloh, Harry Tanoesoedibjo, dan seterusnya juga melahirkan kerusakan lingkungan. Bahka tidak hanya itu, sengketa lahan, dan kekerasan pun juga mengiringi proses pengerukan kekayaan alam oleh perusahaan tambang yang saat ini masih bercokol dan berjibun di Indonesia.
Kedua, soal mengatasi bocornya kekayaan negara di bidang sumber daya alam. Visi ini lagi-lagi kontradiktif dengan realitasnya, bahkan dapat disebut hanya khayalan atau imajinasi saja. Bagaimana tidak, menurut catatan visul JATAM, perusahaan yang diasuh oleh Prabowo Subianto, Nusantara Energy Resources, terlibat dalam kejahatan pajak, tercantum diatara 13,4 juta dokumen hasil investigasi International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) yang diberi judul Paradise Paper, yang isinya merinci orang kaya seluruh dunia yang melarikan diri dari pajak dengan menimbun uang di negara bebas pajak.
Tidak membayar pajak ke negara adalah salah satu tindakan merugikan negara dan tindakan tersebut bukan lagi membocorkan melainkan membawa lari dengan ambisi pribadi.
Atas persoalan sumber daya alam yang tentunya merembet ke sektor lingkungan dan masyarakat, tidak dapat diselesaikan dalam debat pilpres lima tahunan ini. Dampak perusahaan yang mengeruk kekayaan alam terhadap masyarakat butuh ditangani secara serius, dan tidak hanya selesai dalam debat saja.
Debat soal sumber daya alam, lingkungan dan seterusnya sudah seringkali disuguhkan disetiap momemtum Pemilu, tetapi adakah perubahan pasca debat atau pasca salah satu paslon terpilih? Berapa banyak jiwa melayang karena melawan korporasi yang merebut lahannya, hanya kepentingan pertambangan, berapa banyak lingkungan tercemari karena korporasi pertambangan, dan berapa banyak desa tergusur karena kepentingan korporasi pertambangan?
Negara yang seharusnya dalam UUD 1945 bertugas mengamankan, melindungi, dan mensejahterakan rakyatnya, seolah-olah telah menjadi imajinasi dan cita-cita utopis belaka.