Menurut Badan Perencanan Pembangunan Nasional (Bappenas)/Kementerian PPN, sasaran pembangunan jangka menengah Indonesia tahun 2020-2024 adalah terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif melalui SDM berdaya saing.
Di bawah pemerintahan Jokowi jilid 2 ini pemerintah berusaha menjaga stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Pada periode pertama pertumbuhan ekonomi yang disosialisasikan oleh Jokowi adalah diatas 5 %, namun faktanya selama 5 tahun tersebut angkanya stagnan.
Di tengah situasi ketidakpastian (uncertainty) di masyarakat dan isu perang dagang AS dan Cina, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sulit mencapai targetnya.
Pada periode pertama tersebut ada beberapa aspek yang menjadi main problem yaitu stagnanya pertumbuhan ekonomi negara. Salah satunya adalah rendahnya investasi yang masuk di Indonesia. Menurut laporan Ease of Doing Businesses tahun 2019 peringkat Indonesia berada di 73 dari 160 negara.
Peringkat Indonesia ini jauh dibandingkan dengan negara tetangga Thailand yang menduduki peringkat 27 dan Vietnam peringkat 69. Berikutnya, untuk memulai dan mengurus administrasi perizinan usaha seorang membutuhkan waktu kurang lebih satu bulan. Hal itu bisa kita lihat dari aspek starting a business.
Saat ini rata-rata pengurusan izinnya harus melalui 11 prosedur, dengan waktu sekitar 24 hari dan biaya Rp 2, 78 juta. Target yang baru, pemerintah akan memangkas prosedur hingga menjadi 9 prosedur, dengan lama pengurusan 9 hari dan biaya menjadi Rp1,58 juta.
Dengan target tersebut tentu pemerintah mempunyai berbagai stretagi, salah satunya adalah Omnibus Law. Apakah Omnibus Law? Apa dampak Omnibus Law? Tepat atau tidak wacana Omnibus Law? Kira-kira itulah beberapa pertanyaan yang muncul di kalangan akademisi dan masyarakat secara umum.
Omnibus Law adalah upaya mengganti, mencabut dan atau megubah beberapa norma dan nilai hukum menjadi satu UU (Mirza dan Andi, 2019). Setidaknya dalam Omnibus Law ini mempunyai tiga pola yaitu peninjauan terhadap UU, pengaturan materi baru dan mencabut peraturan terkait, dan pengaturan kebijakan perkonomian (Satriya, 2017; Monika & Shanti, 2019). Berikutnya tujuan Omnibus Law ini adalah meminimalkan permasalah hukum karena konflik regulasi yang seringkali tumpang tindih.
Akan tetapi pertanyaannya selanjutnya muncul, seberapa efektif kah Omnibus Law? Untuk menjawab itu kita perlu melihat apa saja yang dicakup oleh Omnibus Law. Ada 3 hal yang akan menjadi fokus yaitu mengenai perpajakan, cipta lapangan kerja (cilaka), dan usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM).
Dari tiga fokus tersebut, Omnibus Law ini akan memudahkan investor masuk di Indonesia. Tentu masayarakat akan berpikir bagaimana nasib dan masa depanya jika memang benar beberapa peraturan perundang-undangan Omnibus Law disahkan.
Jangan Lupa Substansi
Omnibus Law sejatinya bisa digunakan sebagai upaya untuk mengatasi tumpang tindih peraturan. Namun itu tidak berlaku mutlak. Memang benar isu-isu besar di negeri ini tidak lepas dari rule of law yang melekat.
Dalam Omnibus Law ada sekitar 1.244 pasal pada 79 undang-undang yang mencakup 11 klaster mencakup penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi; ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan dan perlindungan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi pemerintahan; pengenaan sanksi; pengadaan lahan; investasi dan proyek pemerintah; kawasan ekonomi, baik itu kawasan industri (Prabowo, 2020).
Omnibus Law yang draftnya disusun oleh pemerintah perlu menganalisis hal-hal apa saja yang secara susbtansi ingin diperbaiki. Jangan sampai nanti Omnibus Law yang ingin memecahkan permasalahan regulasi justru menjadi masalah baru di bidang regulasui. Omnibus Law harus mencakup semua substansi isu yang menjadi fokus oleh pemerintah. Karena peraturan perundang-undangan ini akan mengeliminir regulasi lain.
Sehingga mau tidak mau harus dibahas dengan penuh hati-hati. Detail dan komprehensif perlu diperhatikan betul oleh stakeholders. Dengan kata lain proses pembuatan ini perlu melibatkan banyak pihak baik sebagai pihak pengusul, pembuat dan penerima kebijakan.
Mengedepankan Kepentingan Publik
Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia selalu terjadi tarik ulur kepentingan. Adanya Omnibus Law sekali lagi karena alasan tumpang tindih regulasi yang jumlahnya terlalu banyak. Selanjutnya, hal itu dianggap menghambat proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Percepatan ekonomi yang menjadi prioritas pemerintah dianggap bisa tercapai dengan langkah pertama adalah melakukan revolusi bidang regulasi.
Akan tetapi kita perlu cermati bersama bahwa pembuatan regulasi dan kebijakan harus murni karena kepentingan publik. Meskipun hal ini agaknya akan sangat sukar melihat Omnibus Law secara objektif.
Faktanya, Omnibus Law ini merupakan langkah untuk mempermudah masuknya investor untuk mengembangkan usahanya. Meskipun dalam konsep Adam Smith menyatakan bahwa negara itu tidak akan pernah maju jika tidak membuka investasi dari luar. Artinya secara tidak langsung akan lebih banyak menguntungkan kelompok investor dan para pengusaha.
Kemudian pertanyaan muncul, bagaimana posisi masyarakat umum dalam mekanisme regulasi ini? Jika memang investor yang membangun usahanya tersebut banyak melibatkan masyarakat tentu bisa diikatakan masyarakat memperoleh keuntungan. Misalnya melalui terbukanya lapangan pekerjaan baru.
Namun apakah hanya berhenti disitu?. Jika nanti ternyata Omnibus Law banyak terdapat pasal-pasal yang memberatkan masyarakat terutama peraturan yang mendiskreditkan dan diskriminalisasi hak. Maka Omnibus Law tidak jauh beda dengan regulasi-regulasi yang selama ini dianggap menjadi masalah.