Para golput ini emang nggak mikir kalau mereka semua harusnya menjalankan kewajiban dengan menjadi apa yang dimau para elite lewat undang-undang yang dibikin elite. Kalau disuruh elite milih, ya harus milih. Kalau jebul pilihannya sama-sama busuk, ya tetap kudu milih. Rakyat kok ngatur-ngatur, siapa elu?”.
Kurang lebih begitulah kutipan artikel bernada satir disusun oleh Ahmad Khadafi dalam Mojok.co. visualisasi ini nampaknya memang relevan dengan alasan beberapa orang yang pada akhirnya memilih untuk Golput pada Pemilu serentak 2019.
Rilis pers #SayaGolput yang dimuat dalam platform Medium juga menyatakan substansi yang sebenarnya kurang lebih sama; menyesali peranan dominan oligarki (yang sebetulnya memiliki pengertian berbeda dengan elite) dalam penciptaan kandidat Capres dan Cawapres yang akan bertarung dalam kontestasi esok hari.
Oligarki memiliki peranan dalam menciptakan pilihan yang ternyata dianggap tidak memiliki kualitas yang lebih unggul dibanding yang lain, atau dengan kata lain semua kandidat dianggap berkualitas buruk. Melalui tulisan ini, saya tidak akan memperdebatkan mengenai kualitas masing-masing kandidat yang dianggap sama buruknya, tulisan ini akan membahas mengenai kedudukan oligarki di Indonesia.
Boleh jadi, banyak orang yang menyayangkan peran dominan oligarki dalam kontestasi politik elektoral. Mereka dianggap memiliki pengaruh yang cukup besar untuk menciptakan kandidat pemimpin yang dapat mengakomodasi kepentingan mereka.
Namun, di sisi lain, dengan segala kritik tajam masyarakat seperti yang telah dipaparkan dalam paragraf sebelumnya, penulis harus mengakui bahwa kenyataanya peran oligarki dalam kontestasi politik elektoral tetap dibutuhkan hingga waktu yang tak dapat diprediksi. Ongkos politik yang terlalu tinggi menjadi penyebabnya.
Banyak sekali politisi yang pada akhirnya terjebak dalam perangkap oligarki karena mereka membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk melaju dalam kontestasi. Mengutip disertasi yang disusun oleh Pramono Anung yang dimuat dalam buku ‘Pembiayaan Pemilu di Indonesia’ oleh Bawaslu, dijelaskan bahwa setidaknya dibutuhkan dana 300 juta hingga 22 miliar rupiah untuk terlibat dalam proses pemilihan.
Bahkan, terdapat caleg yang rela merogoh kocek hingga 18 miliar hanya untuk membayar konsultan politik. Pertanyaan berikutnya yang muncul, apakah pada akhirnya fenomena ini hanya terjadi pada konteks pemilihan anggota legislatif?
Tentu masih hangat dalam benak kita mengenai Pilkada DKI 2012. Meskipun sudah 7 tahun berlalu, Pilkada DKI 2012 ternyata berhasil menyita perhatian publik karena muncul sosok penantang baru dengan citra sebagai sosok yang sederhana dan berasal dari kalangan akar rumput, Joko Widodo.
Citra sebagai sosok yang merakyat dan sederhana ternyata tidak serta merta membuat dirinya berhasil lolos dari cengkraman oligarki pada masa Pilkada DKI. Dalam jurnal yang disusun oleh Winters dengan judul ‘Oligarchy and Democracy in Indonesia’, dirinya mengutip pernyataan yang dimuat oleh TEMPO bahwa Jokowi mendapatkan dukungan yang berasal dari Hashim Djojohadikusumo serta saudaranya, Prabowo Subianto.
Melalui visualisasi di atas, dapat dipahami bahwa memang pada kenyataannya ongkos politik yang harus dikeluarkan oleh seseorang terlampau besar. Tidak jarang, meskipun calon-calon politisi ini telah mengumpulkan dana dengan menjual aset-aset pribadi mereka, ongkos politik yang mereka butuhkan tidak kunjung terpenuhi.
Ongkos politik tinggi yang diturunkan menjadi tanggung jawab penuh bagi partai serta kandidat terkait untuk memenuhi kebutuhannya tentu menjadi beban tersendiri. Oligarki sebagai pemegang modal besar pastinya memiliki peranan strategis bagi calon politisi ini untuk dapat memberikan sokongan dana.
Tentu saja, tidak ada makan siang yang gratis. Oligarki bukanlah filantropi yang secara dermawan rela menyisihkan sebagian kecil kekayaannya untuk mendanai calon-calon tertentu. Harus terdapat imbal balik yang menguntungkan oligarki entah dari segi produk legislasi atau keterlibatan mereka dalam proyek pemerintah.
Lantas, apakah dengan peranan oligarki yang bersifat dominan dalam memanipulasi penciptaan pilihan kandidat membuat hal tersebut sebagai justifikasi yang sah untuk tidak menyumbangkan suara dalam Pemilu nanti?
Tentu saja hal ini tidak dapat dibenarkan. Kita tidak bisa serta merta menganggap bahwa seluruh kandidat pada akhirnya tidak akan memperjuangkan sekecil apapun kepentingan rakyat ‘hanya’ karena mereka memperoleh sokongan dana dan bantuan lain dari oligarki.
Jika memang pada akhirnya asusmsi bahwa presiden dan wakil presiden yang terpilih hanya akan bekerja untuk kepentingan oligarki adalah sebuah keniscayaan, maka sama saja kita tidak mengakui peranan pemerintah hasil Pilpres dalam era reformasi selama ini, seperti keberhasilan SBY untuk menekan angka kemiskinan menjadi 16,66% dan membuat kenaikan angka pekerja formal menjadi 29,38%, atau kita juga menafikkan fakta keberhasilan pemerintahan Joko Widodo dalam mengembangkan sektor perikanan.
Pada akhirnya, meskipun pemimpin memiliki hutang budi pada para oligarki selaku sponsor utama, pemimpin tidak akan pernah sama sekali meninggalkan kepentingan rakyat. Pemimpin terpilih memiliki beban untuk harus mempertahankan kekuasaanya pada masa yang akan datang dan satu-satunya cara ialah dengan mengimplementasikan janji politik (meskipun tidak semua dipenuhi) pada masa kampanye.
Artinya, kita selaku pemilih tidak perlu risau. Pemimpin terpilih akan selalu bekerja dalam dua kaki: memastikan kepentingan oligarki tetap terpenuhi namun tidak meninggalkan kepentingan masyarakat.
Sumber:
Buku:
Bawaslu. (2018). Pembiayaan Pemilu di Indonesia. Jakarta.
Jurnal:
Jeffrey A. Winters. (2013). Oligarchy and Democracy in Indonesia. Indonesia, (96), 11-33.
Artikel:
Dinisari, M. C. (2018, Oktober 31). Sinergi Dunia Usaha Tingkatkan Ekspor Ikan dan Hasil Laut. diakses melalui Bisnis.com: https://ekonomi.bisnis.com/read/20181031/99/855144/sinergi-dunia-usaha-tingkatkan-ekspor-ikan-dan-hasil-laut pada 12 April 2019.
Khadafi, Ahmad. (2019, 1 April). Iya bu Megawati, Golput Emang Pengecut dan Tak Layak jadi Warga Negara Indonesia. diakses melalui: https://mojok.co/daf/ulasan/pojokan/iya-bu-megawati-golput-emang-pengecut-dan-tak-layak-jadi-warga-negara-indonesia/
Tamara, N. H. (2018, Juli 28). Realitas di Balik Keberhasilan Menekan Angka Kemiskinan. Diakses melalui Katadata.co.id: https://katadata.co.id/analisisdata/2018/07/28/realitas-di-balik-keberhasilan-menekan-angka-kemiskinan pada 12 April 2019.